2. Bantal Kapuk
Berdiri di bingkai jendela dengan pikiran
terbang ke mana-mana (hanya ke Sambung Hidup dan ke Durai bilang ke mana-mana)
membuat kakiku pegal. Aku segera membuka lemari pakaian dan mengambil handuk
untuk mandi.
Setelah segar, tak bisa kutahan diri
untuk rebah di kasur yang dibungkus rapi dengan seprai motif kembang matahari. Empuk. Seperti kata Cik Hafsah, ini
kasur baru menggantikan tilam kapuk milikku yang dulu.
Baba memang lebih perhatian setelah
menikah dengan Cik Hafsah. Atau, mungkin ini ide Cik Hafsah? Pikiranku jadi
terbang lagi. mengingat bagaimana Cik Hafsah yang cantik dan banyak penggemar
(terlihat dari kedainya yang selalu ramai) mula-mula datang ke rumah ini
setelah dipersunting Baba.
Cik Hafsah bangun pagi-pagi sekali untuk
menyiapkan sarapan. Dia tentu tak bisa meninggalkan kebiasaan paginya semasa
mengelola kedai; menyembelih perut tongkol dan mengeluarkan kotoran-kotoran
dari dalamnya demi sebuah olahan lezat; laksa bertabur suwiran tongkol.
Di meja makan kami yang biasanya hanya
terhidang nasi lemak hasil beli atau mi instan rebus hasil karya Baba saat
sarapan, pagi itu sudah terhidang macam-macam jenis makanan yang bisa kami
pilih. Cik Hafsah menyihir Baba melalui tangannya, tapi aku tahu itu bukan
salahnya. Melainkan salahku, mengapa lidahku tak dapat merasakan sihir dari
tangannya lagi?
Aku mengingat itu sambil satu tanganku
bergerak tak henti merayapi bantal kapuk. Oh ya, aku punya kebiasaan mencari
dan memecahkan biji kapuk yang ada di dalam bantal. Kebiasaan dari kecil. Aku
bahkan tak bisa tidur sebelum lelah memecahkan biji-biji kecil dan keras itu.
Rasanya, hatiku menjadi senang bila berhasil memecahkan satu biji. Lalu
bergerilya mencari biji lain lagi, lagi dan lagi. Bila kudapati biji yang
terlalu keras dan jariku tak berhasil menaklukkannya, maka aku akan mengambil
alih pekerjaan jari dengan gigiku.
Jorok? Itu penilaian kalian yang terlahir
pada dekade ini. Untukku yang lahir pada dekade lalu, dan sekali lagi ingat
betapa aku harus tabah tinggal di sebuah pulau kecil yang parabola kerap
terjungkal mencari siaran, maka, bisa memecahkan biji kapuk merupakan prestasi
membanggakan yang menimbulkan perasaan senang tak terkira. Puas sekaligus
membuat ketagihan. Maka, bantal kapuk adalah teman terbaik saat-saat aku
kehilangan Mama.
Aku lima tahun kala itu. Mama sudah
sering sakit sejak dua tahun sebelumnya. Aku belum mengerti jenis sakit yang
diderita Mama. Yang kuingat, Baba selalu marah bila Mama kerap mengulur waktu
makannya. Barangkali, ada maag akut pada mulanya. Aku hanya tahu, pada tahun
kedua sakitnya, separuh tubuh Mama lumpuh pada bagian kanannya.
Cik Hafsah sering berkunjung ke rumah
untuk menjenguk Mama. Dan selalu, ada saja makanan yang ia bawa. Malam sebelum
keesokan harinya Mama meninggal, Mama sempat minta didorongkan kursi rodanya ke
teras depan. Beberapa saat Mama hanya diam sambil melihat satu dua orang lewat
dengan sepeda motor atau berjalan kaki. Jangan tanya mobil. Itu benda langka
dan keramat, hanya satu orang yang memiliki kendaraan roda empat di Tarempa
pada masa itu.
Aku berdiri di sebelah Mama sementara
Baba berjongkok di sisi lainnya. Baba mengatakan angin malam tak bagus untuk
Mama dan sebaiknya Mama kembali ke kamar. Tapi Mama menggeleng. Tangan kirinya
terangkat. Gerakannya seperti menunjuk ke arah kedai Sambung Hidup.
“Kau ingin makan sesuatu buatan Hafsah?”
tanya Baba.
Mama menggeleng. Bibirnya menggumam tak
jelas dan tangannya terus menunjuk-nunjuk ke kedai kopi itu. Baba berjanji esok
pagi-pagi sekali akan memanggilkan Cik Hafsah bila Mama akan mengatakan sesuatu
padanya. Memang benar, esok paginya, Baba menggedor-gedor pintu Sambung Hidup.
Bukan untuk memanggil Cik Hafsah tapi untuk mengabarkan kalau Mama sudah
mengembuskan napas terakhirnya.
Cik Hafsah adalah pelayat pertama. Dalam
kekalutan Baba mengurus jenazah Mama, maka sepenuhnya kebutuhanku hari itu
hingga beberapa hari berikutnya diurus oleh Cik Hafsah. Itulah awal Cik Hafsah
tahu aku tak bisa tidur tanpa bantal kapuk.
***
“Cik Hafsah dah buatkan laksa.
Mungkin di Jakarta banyak juga orang jual laksa macam ini, ya? Tapi laksa
Tarempa pasti beda, kan? Ayolah coba.”
Aku bangun kesiangan pada hari liburan
pertamaku. Bukan liburan, lebih tepat, aku pulang karena Baba mengancam tak
akan mengirimkan uang jika aku tak pergunakan libur semesterku untuk pulang
barang sebentar. Karena tentu saja aku masih butuh makan di tanah orang, maka
kuturuti Baba untuk pulang. Dan kukelukan lidah untuk mencoba segala apa yang
dihidangkan oleh Cik Hafsah.
“Makasi, Cik. Ini pasti sedap,” jawabku
singkat sambil menyuapkan sesendok ke dalam mulut. Mungkin benar enak di lidah
orang lain, tapi di lidahku ini menjadi hambar.
“Oya, besok kalau balek Jakarta, kalau
Nana nak bawa bantal kapuknya biar Cik Hafsah kemas rapi.”
Aku berhenti mengunyah. Tersentuh dengan
perhatian Cik Hafsah. Oh, sesungguhnya, aku telah tertawan oleh kebaikannya
sejak aku belum bisa membaca dan Cik Hafsah –disela sibuk mengurus kedai-
dengan sabar mengajariku huruf dan angka. Aku juga tertawan oleh kebiasaan
mengaji Cik Hafsah saat kedai sedang sepi, dan aku memaksanya untuk mengajariku
bagaimana cara membaca huruf-huruf Arab itu.
“Tak lucukah pergi jauh bawa-bawa bantal?
Macam budak kecik je lah.”
“Aih, kenapa pula lucu? Cik Hafsah bisa
kemaskan rapi macam kemas kado.”
Aku menggeleng, “Taklah, Nana dah
bisa lepas dari candu pecahkan biji kapuk sekarang.”
Wajah Cik Hafsah yang tadi semangat
terlihat mengendur. Mata teduhnya menerawang sebelum akhirnya bertanya serius.
“Jadi, semalam dah tak sibuk cari biji-biji kapuk itu lagi, ya?”
“Kalau ada bantalnya jadi refleks pula,
malah tak bisa tidur sebelum jari kebas,” kuacungkan dua jari yang semalam
sibuk bekerja entah sampai jam berapa. Cik Hafsah menggangguk tanda mengerti.
“Syukurlah kalau macam tu. Nanti
lepas Nana balek Jakarta, Cik simpankan lagi bantalnya.”
“Bantal busuk, buang juga tak masalah.”
“Tak lah. Itu kan model bantal kesayangan
Nana dari kecik dulu. Tak payah simpankan buat kenang-kenangan. Kalau kapan
waktu Nana dah menikah, Cik Hafsah bisa ceritakan ke anak-anak Nana,
kalau itu bantal sejarah Mama Nana.”
Ada seringai tawa yang terserta dalam kalimat
panjang Cik Hafsah. Tapi buatku ini sama sekali tidak lucu. Apa pentingnya
menyimpan bantal kapuk? Lagi pula, sebelum Cik Hafsah datang ke rumah ini,
semua bantal adalah bantal kapuk. Aku tak memiliki satu bantal istimewa. Asal
ada bantal kapuk, yang manapun, tenanglah malamku sebelum tidur. Yang istimewa
justru perhatian Cik Hafsah yang ingat untuk menyisakan satu bantal kapuk untukku
saat yang lain sudah dipensiunkan.
Dan tadi Cik Hafsah menyinggung apa?
Pernikahan? Wow, apa Cik Hafsah mengerti
aku bahkan belum bisa move on dari Hazri?
Nah, aku jadi kelepasan cerita. Ya,
benar. Hazri. Aku jatuh cinta pada bujang kurus adik Cik Hafsah. Cinta yang
dalam, diam-diam dan teramat berarti buatku. Jika kalian mengerti betapa
sulitnya memilih adakah lebih baik memiliki ibu sambung sebaik Cik Hafsah atau
memiliki kekasih sekeren Hazri, kalian pasti mengerti dari mana asal kekeluan
lidahku tiap kali menyantap hasil olahan tangan Cik Hafsah. Sebab aku tak bisa
lekas menentukan takdirku secepat Baba melakukannya.
Selepas kepergian Mama, Baba begitu
percaya pada Cik Hafsah hingga aku dilepas begitu saja bila ingin main ke
Sambung Hidup. Saat Baba pada akhirnya mengizinkanku ikut ke Durai pertama
kalinya, sebelum itu aku sempat melihat Baba memberikan secarik kertas untuk
Cik Hafsah. Begitu pun keesokannya kulihat Cik Hafsah memberi kertas yang lain
lagi untuk Baba.
Saat kutanya pada Baba, jawabnya itu
hanya kertas berisi catatan biaya jajan yang kuhabiskan di Sambung Hidup dan
catatan biaya rantang makan siang-malam kami yang selalu dikirim Cik Hafsah dan
Baba harus membayarnya. Kuperhatikan, surat itu tak memiliki periode waktu
tertentu untuk saling ditukar. Kadang seminggu sekali, kadang sampai sebulan
sekali. Mulanya aku percaya apa kata Baba. Namun kepercayaan itu lenyap ketika tak sengaja kutemukan sepucuk surat
milik Cik Hafsah di meja Baba dan isinya sangat aneh, kira-kira begini, ‘kalau
Koh Andi Halim nak belajar agama, pergilah ke guru mengaji di Masjid Jamik.
Mengaji dengan niat dapat petunjuk, bukan yang lain-lain.’
Aku SMP saat itu. Dan agaknya aku
mengerti kekuatan apa yang membuat Baba ingin mengaji. Bisa kumengerti
bagaimana rasanya hidup sendiri selama sembilan tahun. Kalau aku merasa
terhibur dengan keberadaan Cik Hafsah, barangkali Baba pun sama. Kalau aku
kadung nyaman bersama Cik Hafsah, mungkin Baba juga ketularan nyaman.
Berbagi Cik Hafsah dengan Baba? Tak
masalah. Kupikir, kami dua orang yang memang butuh Cik Hafsah. Masalahnya, saat
itu, aku yang sedang beralih dari masa kanak ke masa remaja, dari budak menjadi
dayang, sedang merasakan sensasi perasaan yang berbunga-bunga bila bertemu dan
dekat dengan Hazri. Entah, mungkin ini yang namanya cinta. Eaaa, aku
jadi senyum sendiri mengingatnya.
“Na…, Nana… “ Tahu-tahu, Cik Hafsah yang
tadi duduk di seberang meja sudah pindah ke sampingku. Tangannya menepuk halus
pundakku dan meluluhlantakkan gambaran cinta pertamaku dari kepala. “Ngapalah
melamun sampai tersenyum sendiri. Sudah punya kekasihkah di Jakarta? Bolehlah
cerita sikit dengan Cik Hafsah.”
Eh?
“Ingat dulu kita setiap hari bertukar
cerita. Nana datang ke kedai trus kita cerita-cerita. Cik Hafsah rindu betul
cerita-cerita Nana.”
“Tak ada yang istimewa untuk
diceritakan,” kilahku segera. “Pun tak ada kekasih, tak ada orang spesial yang
penting Nana ceritakan.”
Barangkali, wajahku lebih datar dari
papan setrika saat mengatakan itu. Tangan Cik Hafsah kembali terangkat dan
mengelus puncak kepalaku dengan lembut. “Tak masalah, kapanpun seorang spesial
itu datang, Cik Hafsah siap dengar.”
Oh, tentu itu tak akan pernah terjadi.
Bagaimana mungkin aku menceritakan perihal bujang yang menawan hatiku bila itu adik
Cik Hafsah sendiri. Memang pahit benar urusan ini. Sepahit laksa yang kuhadapi
dan tak kunjung berhasil ku tandaskan walau hanya beberapa suapan.
***
“Nana boleh main ke Durai, Ba?”
Selesai acara makan laksa yang menyiksa,
aku mendatangi Baba ke depan. Ia baru saja melayani pembayaran spanduk
seseorang. Jelang pilkada seperti ini, pesanan kaos, spanduk, brosur dan segala
pelengkap kampanye naik drastis. Seharian Baba sibuk. Kalau tak diingatkan
istirahat untuk makan siang oleh Cik Hafsah, Baba tak akan berhenti melayani
pelanggan dan mengawasi pekerja.
Baba membenarkan posisi kacamatanya yang
melorot ke puncak hidung sambil menatapku intens, “Kapan?”
“Berangkat sore ini, boleh?”
“Sekarang dah musim angin Utara,
ombak kuat betul, Nana.”
“Tapi hari ini cerah, Ba.”
Baba berpikir dan menimbang entah apa.
“Nana rindu tengok penyu bertelur.” Tambahku
dengan sedikit improvisasi. Utamanya adalah aku kangen pada Hazri, itulah yang
sebenarnya. Oh, kudoakan kalian jangan sampai mengalami apa yang kurasakan.
Menekan-nekan perasaan rindu, membenam-benamkan perasaan sayang. Aku harus
senantiasa berdoa pada Tuhan yang meninggikan langit tanpa tiang agar berkenan
merubuhkan perasaanku yang tanpa harapan.
“Ajak Mama kau.”
“Wa bisa berangkat sendiri.”
Baba beralih dari menatapku. Ia mengambil
secarik kertas dan menuliskan sesuatu di atasnya. Ia lantas memanggil Ahong dan
menginstruksikan kepada operator mesin offset itu untuk menyampaikan kertas itu
kepada Pak Ngah.
“Kau siap-siaplah, pergi ke Durai diantar
Pak Ngah.” Kata Baba akhirnya.
Aku mengerling tanda terima kasih kepada
Baba.
***
“Nana ingat tak, dulu terakhir ke Durai
sebelum berangkat ke Jawa, Nana bawa satu bantal kapuk ke sana dan tinggalkan
bantal itu di sana?”
Tanganku berhenti dari mengemasi dua
lembar pakaian yang akan kubawa ke Durai. Kuperhatikan wajah Cik Hafsah yang
masih tampak sangat jelita (kalau kalian pernah lihat Maudy Koesnaedi di
televisi, Cik Hafsah lebih jelita dari artis lawas itu). Sayang wanita jelita ini
punya masa lalu yang kelam.
Cerita Cik Hafsah, dulu selepas SMP ia
berangkat ke Batam menjadi buruh PT[1].
Tiga tahun di Batam Cik Hafsah terbujuk ajakan temannya untuk menjadi TKW ke
negeri seberang. Malang ia terjerat PJTKI ilegal dan hampir menjadi korban
perdagangan manusia setelah disekap sebulan lamanya.
Selolosnya dari sindikat human
trafficking, Cik Hafsah lantas kembali ke Tarempa dan membangun usaha kedai
kopi dari tabungan selama bekerja di Batam. Mungkin trauma dengan cukong
(manusia berhati binatang), Cik Hafsah rela melajang hingga akhirnya ketulusan
Baba sanggup memenangkan hatinya.
“Betul. Bantal kapuk itu dulu tertinggal
di Durai. Apa soal bantal itu, Cik?”
“Itulah bantal yang Cik Hafsah sisakan
untuk Nana.” Ujar Cik Hafsah sambil menunjuk ke arah bantal kapuk yang semalam
kurayapi demi mendapatkan biji-biji. “Hazri yang bawa balek ke sini. Dia
pesankan Cik Hafsah untuk baik-baik jaga bantal itu. Tak boleh hilang dan
dibuang. Itu milik Nana dan harus selalu bersama Nana.”
Aku menelan ludah dengan susah payah.
Dari radio yang disetel Ahong di ruang cetak kudengar Ari Lasso menyanyi.
Tuhan, mengapa Kau anugerahkan.
Cinta yang tak mungkin tuk bersatu?
Aaaaa jadi kangen bantal kapuk
BalasHapus