Laman

Senin, 19 Maret 2018

[Cerpen Magelang Ekspress] ISTANA IMPIAN

Tersiar, Sabtu 30 Desember 2017


ISTANA IMPIAN
Oleh: Wiwik Waluyo

Suara-suara gaduh. Palu beradu batu. Dinding-dinding rubuh. Batu bata luruh terjungkal-jungkal menerbangkan abu. Hanum terusik kegaduhan itu. Ia segera menepis lelah, lekas kakinya menuju jendela. Padahal baru saja ia merebahkan tubuh ke kasur setelah seharian bekerja.  

"Ya, Tuhan,” lirih Hanum dalam hati. Pandangannya tertumbuk ke bangunan rumah di seberang. Sebuah rumah tua yang sedang direnovasi itu, bakal rumah masa depannya dengan Wisnu dan keluarga kecil mereka, kenapa tiba-tiba dirubuhkan kembali?

***
"PINDAH?" Hanum bertanya gelisah. Kabar yang disampaikan Wisnu bahwa mereka ‘diminta’ Bapak untuk kembali ke kota asal sangat membuatnya kaget. Tak peduli walau Bapak sudah menyiapkan rumah untuk mereka sekalipun. Bagaimanapun, sebelas tahun tinggal di kota perantauan sudah membuatnya nyaman. Walau rumah mereka sekarang belumlah rumah impian, tetap saja ada setumpuk kisah yang walau hanya dibayangkan saja, akan sangat pedih bila ditinggalkan. Lagipula, pindah akan membuat mereka kembali ke titik nol.

"Kita pulang ke tanah asal, bukan pindah, Hanum." Urai Wisnu coba menurunkan ketegangan.
 
"Apapun yang membuat kita pergi dari kota ini, artinya sama dengan meninggalkan karir yang sudah pelan-pelan kubangun. Lagipula kenapa Mas memutuskan sepihak tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu?"     

Dalam benak Hanum, agak mengerikan jika kembali ke kota asal dan tinggal dekat mertua dan apalagi ipar-iparnya. Belum lagi sikap Bapak yang keras kepala dalam banyak hal. Wisnu dan adik-adiknya seringkali repot menghadapi Bapak. Di rantau saja kadang Wisnu adu pendapat sampai ngotot melalui telepon, apalagi kalau mereka dekat. Tak bisa Hanum bayangkan ketidaknyamanan itu.

"Hanum, kau percaya takdir, kan? Ingat dulu sebelum menikah kita punya impian yang sama? Kelak jika orang tua kita lanjut usia, kita akan senang hati merawat mereka. Tak peduli itu orang tuaku ataupun orang tuamu. Kupikir sekarang saat yang tepat untuk mengambil takdir itu.”

Kalau ada embun yang menetesi tandusnya padang hati Hanum, itu adalah sebuah kesadaran atas apa yang diucapkan Wisnu.
***
Seorang perempuan tua sedang membongkar isi tong sampah di halaman samping. Memilah-milah isinya. Mana yang bisa dibakar, mana yang harus diangkut oleh tukang sampah keliling esok pagi.

Sebuah mobil memasuki pekarangan dan perempuan itu tetap bergeming. Suasana seketika ramai ketika dua bocah anak-anak Wisnu dan Hanum berlomba menuruni mobil dan berebut menyalami perempuan tua yang mereka panggil Nenek itu.

Ya, setelah empat bulan perdebatan Wisnu dan Hanum, akhirnya mereka pulang. Meninggalkan rumah yang membungkus kenang keluarga kecil mereka selama sebelas tahun. Hanum memahami Bapak sudah tua dan lelah untuk mengurus perusahaan. Bapak meminta mereka pulang karena memang sudah benar-benar ingin mundur dari mengurusi usaha konstruksi. Kantor cabang di kota rantau biar diurus anggota kepercayaan. Di kota asal sebagai pusatnya biar dipegang Wisnu, begitu perintah Bapak. Dan Hanum menurut ikhlas untuk pulang.

"Kotor, tangan Nenek kotor. Ayo masuk, Nenek sudah buatkan rendang kesukaan kalian."

Hanum menghampiri dan mencium kedua pipi Ibu mertuanya, "Ibu mestinya istirahat dan banyak-banyak mengaji. Kenapa masih terus mengorek-ngorek sampah?"    

Ibu tertawa dan berkilah. Selalu bilang daripada melamun, lebih baik mengerjakan apapun yang bisa dikerjakan. Memilah isi tong sampah memang sudah jadi kegiatan rutin bagi Ibu. Bahkan Hanum sudah melihatnya sejak kali pertama diboyong Wisnu setelah menikah. Awalnya Hanum berpikir asisten rumah yang kurang terampil. Ternyata bukan. Ternyata asisten rumah juga merasa tak enak hati. Seolah-olah tak peka pada pekerjaan. Nyatanya, Ibu sendirilah yang sulit dilarang.

"Kami sudah pulang dan Ibu tak akan bengong lagi sambil mengorek sampah, ya?"

Lagi-lagi, hanya senyuman Ibu yang tersungging. Hanum lega. Bahwa Ibu banyak tersenyum menyambut mereka. Ya, semua akan baik-baik saja. Sekali lagi Hanum merapal, baik-baik saja.
***
"Untuk apa renovasi total?! Rumah itu sudah besar. Tinggal ditinggikan dinding dan atapnya. Pasangkan baja ringan dan ganti plafonnya dengan yang anti air dan api. Ganti lantainya dengan marmer. Begitu sudah bagus nggak perlu renovasi total. Buang-buang uang!"

Buang-buang uang?

Hanum meringkuk di kamar. Menajamkan telinga demi mendengar obrolan Wisnu dengan Bapak. Sudah diduga, perselisihan dengan Bapak soal rumah yang akan mereka tempati pasti terjadi. Apa tadi kata Bapak? Buang-buang uang?

Buang uang bagaimana?

Ketika masih di rantau dan Hanum menyetujui untuk pulang pada akhirnya, ia dan Wisnu sudah sepakat untuk menjual rumah. Dananya itu yang akan dipergunakan untuk merenovasi total rumah tua itu. Tetapi Bapak menghadang. Ngotot mempertahankan rumah sebagai aset.

Tak pelak lagi, Wisnu dan Bapak berperang dalam sambungan telepon. Hanum masih ingat benar perkataan Wisnu yang agak kasar di ujung telepon, "Ya, ya, Wisnu ikut Bapak. Cuma Wisnu minta, rumah calon tempat tinggal kami nanti jangan Bapak renovasi macam-macam sebelum kami datang. Bapak boleh bersihkan dan cat temboknya. Sementara kami tinggal di situ tak masalah sampai rezeki kami cukup untuk merenovasinya."

Jika Wisnu dan Hanum rela menempati rumah tua apa adanya, lantas kenapa Bapak sibuk mengurusi ini? Bahkan, saat kedatangan mereka kemarin, Wisnu dan Hanum harus menelan ludah menyaksikan betapa material sudah menumpuk di halaman.

"Bapak sudah buatkan anggarannya. Besok tukang sudah mulai bekerja!"

Wisnu geming. Rasa-rasanya, selihai apapun diplomasi yang akan terluncur dari bibirnya, bakal tertolak.

Wisnu kembali ke kamar dan mendapati Hanum tengah membuka jendela lebar-lebar, menatap rumah tua di seberang, bakal istana impian mereka. Oh, akankah ada istana impian untuk mereka?
***
"Ayolah Mbak. Mbak Hanum harus hadapi Bapak sebelum semuanya terlanjur," bujuk salah satu adik Wisnu beberapa hari setelah perselisihan Bapak dengan Wisnu. "Mungkin kalau Mbak yang ngomong langsung, Bapak akan dengar. Bapak memang payah. Tapi kita masih bisa coba sebelum semua terlambat."

Adakah belum terlambat? Di seberang, Hanum sudah melihat atap rumah sudah diturunkan. Batu bata mulai disusun naik untuk meninggikan dinding. Adakah itu belum terlambat?

"Sekarang!"

Dan Hanum merasakan cengekaraman tangan adik Wisnu di lengannya. Menyeretnya ke hadapan Bapak yang santai di atas kursi goyang. Lalu tanpa kesopanan seorang anak terhadap Bapak yang memiliki riwayat penyakit jantung, adik Wisnu langsung mengeluarkan berentet-rentet alasan agar Bapak mau sedikit saja mendengar keinginan anaknya.

Bahwa Wisnulah yang akan tinggal di sana. Bahwa budget Bapak yang mencapai lima ratus juta untuk sekedar menambah ini dan mengganti itu sangat berlebihan. Bahwa seharusnya Bapak lebih arif agar setidaknya memasrahkan Wisnu untuk mengurus rumahnya sendiri.

Dan di antara rentet perlawanan adik Wisnu, sesekali Ibu menimpali dan membenarkan. Membuat wajah Hanum kian tertunduk. Menggigit bibir menahan matanya yang mudah sekali berair. Apalagi, saat semua yang adik dan Ibu katakan menjadi mentah hanya dengan dua baris kalimat Bapak, "Wisnu sudah sibuk urusan kantor, kapan lagi dia sempat mengurusi rumah. Sudah Bapak urus baik-baik begini, nggak usah diutak-atik lagi!"

Dan semua diam enggan berkata-kata lagi.  
***
Sebuah gambar rumah. Dengan ruang keluarga yang tak terlalu luas tapi cukup lapang untuk keluarga kecil. Jendelanya besar dan tinggi-tinggi. Ada empat buah kamar. Kamar pertama paling besar bertuliskan 'kamar Ayah-Ibu'. Yang kedua menghadap ruang keluarga 'kamar Kakak Zytta'. Berseberangan dengan kamar kedua yang juga mengarah ruang keluarga adalah 'kamar Adik Farhan'.

Ada sebuah ruang kosong di sebelah pintu beranda samping yang ditulisi dengan 'Pojok Pintar'. Sebuah gambar lemari buku menguasai satu sisi dinding. Di sebelahnya ada sebuah meja dengan seperangkat laptop di atasnya.

Di belakang ruang keluarga, ada pembatas dari kaca berikut pintu gesernya. Dari depan terlihat, di balik kaca itu ada sebuah taman dengan kolam kecil dan air mancur. Ada mushola pada sayap kiri taman. Persis di samping mushola itulah terletak kamar keempat. Dengan tinta hijau Hanum memberi keterangan: 'KAMAR KAKEK NENEK'.

"Lho, kenapa kamar Kakek-Nenek di belakang?" Begitu tanya Wisnu ketika Hanum membuat gambar istana impian mereka. Sebuah gambar yang langsung Hanum rancang begitu ia memutuskan untuk pulang ke kota asal, dulu. Gambar yang keluar dari lubuk hati terdalamnya.

"Karena, biar Kakek dan Nenek mudah salatnya. Jadi langsung akses ke mushola. Biar khusyuk dan sejuk didekatkanlah ke taman. Ntar Kakek bisa bawa kursi goyangnya ke taman. Bisa baca-baca sambil dengar gemercik air."

"Bagus. Simpan baik-baik gambarnya. Nanti kita renovasi total biar jadi rumah impian."

Seperti anjuran Wisnu, Hanum menyimpan sepotong gambar rumah idaman itu dengan sangat baik. Tak hanya di laci meja kamarnya, tetapi juga di satu laci terindah hatinya. Tetapi itu dulu. Dulu dan kemarin. Sebab pagi ini Hanum sudah mengikhlaskan dengan sebenar-benarnya rasa ikhlas.

Hanum tak ingin lagi mendengar Wisnu atau adiknya, apalagi Ibu ikut-ikutan berdebat dengan Bapak soal rumah idamannya. Sudah cukup sekarang. Hanum meremas selembar kertas bergambar rumah impian berhalaman luas dengan banyak pepohonan di pekarangan. Ia melempar remasan kertas itu ke tong sampah pagi tadi, sesaat sebelum berangkat ke kantor.
***
Masuk kamar sepulang kerja, Hanum sangat kaget ketika melongok ke luar jendela. Rumah tua di seberang yang sedang direnovasi itu menimbulkan kegaduhan tak biasa. Hanum sangsi dengan penglihatannya. Apakah benar batu bata yang sudah dinaikkan untuk meninggikan dinding dibongkar kembali?

Hanum tergesa ke luar kamar dan mencari siapa saja. Ada Ibu di dapur, tapi ia jadi kikuk untuk bertanya. Bertanya kenapa rumah yang sudah bertambah tinggi mendadak dirubuhkan kembali. Adakah kesalahan yang lain lagi?

"Syukurlah, Bapak mau mendengar doamu, Hanum."

Ibu seperti bisa membaca kekikukan Hanum. Karenanya Ibu segera melanjutkan ucapannya. Tentang Bapak dan Ibu yang sudah tua. Hanya berdua tinggal di rumah sebesar ini. Sementara adik-adik sudah tinggal masing-masing. Bapak dan Ibu belum terpikir untuk mengikut siapa nantinya. Tapi begitu melihat gambar rumah yang Hanum rancang, Bapak langsung berubah pikiran.

"Gambar rumahmu memang nggak sebesar rumah tua itu, Hanum. Tapi semua ruang ada fungsinya. Bapak tersentuh ketika membaca kau membuatkan kamar untuk kami. Jadi... "

"Jadi?" Tanya Hanum bingung.

"Nggak ada jadi-jadi!" Terdengar suara Bapak menimpali. "Semua dibongkar, kita buat yang baru persis gambarmu!" Tegas Bapak membuat Hanum merinding karena terlalu kaget. Bukannya gambar rumah idaman itu sudah ia buang ke tong sampah pagi tadi. Bagaimana bisa?

Pelan Ibu mengelus pundak Hanum. Perempuan tua itu bergumam, "Wisnu dan adik-adikmu selalu bilang Ibu kurang kerjaan karena masih terus mengorek tong sampah. Tapi sekali ini Wisnu keliru. Karena Ibu menemukan kertas gambar rumahmu di sana."

Refleks, Hanum memeluk Ibu mertuanya seerat yang ia bisa.[]

Catatan; Cerpen ini saya tulis tiga tahun silam. Ide dasarnya karena sering melihat ibu mertua mengorek-ngorek tong sampah dan memilah jenis-jenis sampah. Dibumbui macam-macam, jadilah seperti ini. Setelah 'dicomblangin' ke sana- ke mari, akhirnya berjodoh dengan rubrik Menoreh Magelang Ekspress. Alhamdulillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.