Laman

Sabtu, 05 Oktober 2019

[Surat Ibu] Apakah Ibu Ingin Aku ke sana?


Ibu, sedang musim apa di sana?

Di sini, meski terang meski hujan, musimnya tetap sendu, Ibu.

Orang-orang tumbang terlalu banyak menelan asap racun.
Orang-orang tergelimpang dicincang-cincang kebengisan pisau politik.
Yang lucu, entah ini benar atau hoax (izinkan sekali ini aku berbagi kabar gossip), di Senayan sana, seorang anggota DPR RI yang baru dilantik dan berfoto dengan tiga istrinya yang kinyis-kinyis sekaligus, dia, bapak berdasi itu justru tertidur di sidang pertamanya. Aku selalu takjub dengan mata kamera yang dapaaat saja pemandangan bagus dan membuat lambe netijen nyinyir, “Beliau terlalu lelah dengan tiga istrinya.”

Ah. Di sini, sungguh musim hanya sendu serupa itu, Ibu. Saling hujat, saling hajar, saling menebalkan hati yang semestinya digunakan untuk memahami.


Lalu, demi apa aku mengabarkan hal-hal yang tak penting bagimu itu?

Entah ya. barangkali karena hanya dengan ibu aku bisa mengatakan ini. Di ruang lain bersama orang lain, aku tak sanggup menuliskan soal-soal itu. Ngeri. Nanti aku jadi ratu gossip pula. Aku kasihan ibu, malu punya anak macam aku. Haha.

Jadi, Bu, aku mimpi aneh malam kemarin.

Terlempar aku di rumah berdinding gedeg milik Bulik Yus yang dulu bersebelahan dengan rumah Puskesmas kita. Bulik Yus masih sama mudanya saat terakhir kali aku melihatnya ketika SD dulu.

“Si Mbah apakah sudah meninggal?” Aku menanyakan si Mbah kurus yang rambutnya putih rata dan jalannya membungkuk disanggah tongkat. Lupa aku namanya.

“Masih, Mbah masih. Itu…”

Pandanganku dituntun oleh tangan Bulik Yus. Di pojok ruang, ada si mbah yang berbaring membelakangi kami, badannya mencakung. Dalam hatiku, oh, panjang sekali umur si mbah.

Lalu aku tak tahan untuk tidak bertanya soal rumah kita.

“Rumahmu sudah diratakan, hanya tinggal Puskesmas di depan sana.”

Diratakan? Kenapa diratakan?

Bulik Yus mengajakku ke luar. Kami berjalan melewati si Mbah. Anehnya, Bulik Yus menginjak –tepat di bagian- perut si Mbah namun pijakannya tembus. Maksudku, Bulik seperti tak menginjak apa-apa. Malah si Mbah tidak menjerit, merintih pun tidak. Aneh sekali.

Lalu kami melewati dapurnya yang berjelaga, pengap, bersawang. Perkakas masak yang bergelantungan juga berjelaga. Dapur kayu menyisakan abu tebal. Lantai tanah yang dingin. Dinding gedeg yang bolong-bolong. Itu pemandangan kusam dari yang paling kusam, Ibu.

Oh, hatiku terhimpit melihatnya. Dan aku merasa bersalah tak sekalipun pernah bersilaturahmi ke sana selepas kepergian Ibu.

Apakah ibu menginginkan aku pergi ke sana? Apakah ada sesuatu yang harus kukatakan pada Bulik Yus atau mungkin Bulik Yus ingin mengatakan sesuatu padaku? Oh, maafkan aku yang tak bisa menjaga hubungan baikmu dengan orang-orang yang dulu dekat denganmu, Ibu.

Uh, aku belum selesai menuliskan seluruh adegan mimpiku. Tiba-tiba jadi begitu sulit karena sesak oleh bayangan bahwa mimpi itu adalah isyarat Ibu menginginkan aku ke sana sementara aku belum tahu kapan bisa ke sana. Tolong jangan marah padaku, Ibu.

Allahummaghfirlaha warhamha wa’afiha wa’fu anha…

Bagian akhir mimpiku adalah, kami sampai di tanah bekas rumah kita. Memang tak ada apa-apa lagi kecuali bangunan Puskesmas di depannya. Kami masuk ke Puskesmas yang lama tidak digunakan. Aroma obat dan ibu jadi satu. Terbayang ketika ibu bekerja di sana menolong pasien. Tapi tak ada lagi. Puskesmas itu benar-benar serupa rumah duka. Barang-barang kita menumpuk di sana. Yang kulihat pertama kali dan begitu jelas adalah gulungan tilam kapuk. Itu tilam kita dahulu. Aku ingat betul, juga ranjang besi berwarna biru. Itu, itu ranjang kita.

Bu, kenapa tiba-tiba aku sampai ke sana di dalam mimpi? Apakah Ibu sungguh ingin aku ke sana?


...dari mimpi hari kemarin (04/10/19)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.