Laman

Sabtu, 16 November 2019

Perahu Kertas Dimakan Api


Sebelum dia kirimkan dua screenshot tentang al-isyq kepadamu, dia mengirimkan kepada temannya dua hari lalu. Temannya itu pernah ditinggal oleh N (teman bicaranya).  N itu mabuk cinta pada temannya.  Beberapa kali N mengatakan, dia takut dilupakan oleh temannya.  Tapi pada akhirnya N pergi,  memblokir semua sosmed dan akses percakapan-percakapan mereka.  Suatu hari  saat temannya ingin menyapa N, barulah diketahui semua pintu sudah terkunci.  

"Betapa egois, dia yang takut dilupakan,  malah melupakan lebih dahulu." Begitu kata temannya. Dan  agaknya, sang teman sedang menyindirnya. 


Iya sih,  dia sempat terenyuh,  dan merasa semestinya segala sesuatu akan berjalan baik jika memiliki seluas-luasnya hati. Tapi dua screenshot yang tadi pagi dia kirimkan kepadamu menyadarkannya; ini bukan tentang bisa atau tak bisa seseorang meluas-luaskan hati,  namun tentang mengobati hati yang sakit. Yang mabuk.  Yang gila. 

"Lakukan apapun yang terbaik menurutmu,  aku tak akan lagi mengatakan egois." Itu kata temannya kemarin.   

Jika akhirnya pagi ini dia berpamitan (untuk kesekian kalinya) padamu, ini bukan sebab apa kata temannya.  Dia memiliki pemikiran dan sikapnya sendiri.  Malam sebelumnya sudah dia tuliskan sepotong surat cinta untuk Tuhan di selembar kertas berwarna biru. Itu adalah kertas sisa kerja kelompok dan dia juara satu pada pekerjaan itu. Satu halaman penuh dia tulisi kisah kasmaran ruh-ruh yang saling mengenali bersama airmata yang menggenang lalu berleleran di pipi. Kesudahannya dia melipat kertas itu menjadi perahu.

Ada bendar (sungai kecil) tak jauh dari rumahnya. Tapi itu sudah malam. Sudah hampir pukul 22.00. Meski ia ingin menghanyutkan perahu kertas itu, kakinya justru terlangkah ke dapur. Ia nyalakan kompor, meletakkan moncong perahu di atas api dan membiarkan huruf demi huruf mulai dilahap api. Ia melempar sisa perahu ke bak cuci piring dan memandang separuh perasaannya yang terbakar.

Dia menatap nanar abu sisa pembakaran sembari berbicara pada pemilik semesta.

"Kumohon palingkan aku, pikiran-perasaanku,  dari segala hal yang tak pernah Kamu takdirkan untukku,  Duhai Allah. Telah kurelakan yang terbaik dari sisiku. Kumohon tukarlah dengan keridaanMu." 

Airmatanya menggenang lalu menetes satu-satu. Tapi dia lekas menghapusnya.

Membayang kau dalam benaknya. Dan dia berbisik, “Seperti temanku yang ditinggal teman bicaranya dan bisa tabah, aku yakin kau juga.  Kau pasti akan baik-baik saja.”  


Pagi di jalan penyembuhan, 161119


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.