Laman

Minggu, 30 September 2012

[lomba Ultah] Ultah di Usia yang Konon Angka Sial

Beberapa hari ini saya selalu membaca jurnal tentang perayaan dan makna ultah. Yang disetiap membaca itu, saya selalu mencium aroma bahagia, atau melihat segumpalan makna indah dari pertambahan usia. Dan tentu saja membuat saya iri. Sebab ultah bagi saya, ya begitu-begitu saja. Ya perayaan sederhananya, ya sikap dan pemaknaan atasnya. Selalu biasa.
Hingga sore kemaren saya teringat satu moment, perayaan ultah tak biasa di angka yang tak sedikit orang berkeyakinan sial; 13 tahun.

Sekolah di DPR
*Saya pengen cerita prolognya dulu boleh, ya...

Lepas SD saya ingin sekali bersekolah di pesantren. Bukan karena ingin mendalami ilmu agama, tetapi pengen suasana mondoknya. Alih-alih masih imut, proposal ditolak. Bapak kemudian memberikan alternative SMPN atau MTs milik sebuah organisasi masyarakat di pinggiran kota Lubukpakam.

Dan tanpa berniat mengikuti tes terlebih dahulu di SMPN, saya langsung minta didaftarkan pada MTs dimaksud.

MTs tersebut adalah sebuah sekolah kecil dengan 1 ruang kelas bagi tiap kelasnya, ditengah-tengan perkampungan padat dan kumuh serta bau amis yang menyengat sebab mayoritas penduduk adalah pengusaha sate kerang. Dan yang paling penting adalah, sekolah MTs saya itu di seberang stasiun KA Lubukpakam yang begitu bising.

Betapa kerennya sekolah saya.


Setiap pagi jika ada kereta penumpang berhenti, maka saya harus menyeberangi kereta penumpang tersebut. Lalu pada rel berikutnya yang terdapat kereta barang mogok, saya harus jadi tukang panjat professional yang jika telah turun telapak tangan saya akan berwarna keemasan terkena karat pada besi kereta mogok tersebut.

Lalu jika kami senam pagi, layaknya kami pemeran filem yang ditonton oleh semua yang sedang berkeperluan di peron. Dan entah bagaimana, saya merasa harus senam dengan sikap dan gerakan sempurna agar terlihat menawan.

Lantas jangan tanyakan bagaimana suasana belajar kami di kelas. Klakson kereta api yang memekakkan itu rasanya seperti teman akrab yang kalau gak kedengeran 1 jam saja, rasanya kangeeen betul. Dan nanti setelah kereta lewat, guru kami akan bertanya, “sampai dimana pelajaran kita tadi?” 

Itulah tempat saya bersekolah. Sebuah sekolah biasa, pada kompleks DPR alias Daerah Pinggiran Rel. Di sekolah DPR  inilah, sepanjang pembagian raport tiap caturwulan, saya mendapatkan peringkat terbaik. Ranking satu. Sebuah peringkat yang sungguh membuat saya heran, “kayaknya gurunya salah kasi nilai, deh!”

HUT Kabupaten Deli Serdang
*cerita ultahnya mana seeeh? sabar napa

Murid-murid berprestasi di sekolah kami mendapat undangan pada acara hari jadi Kabupaten kami, Deli Serdang. Sebelum hari H, Kepala Sekolah sudah memberikan undangan itu pada saya. Katanya, tahun ini memang giliran sekolah kami yang diundang ke acara resmi itu.

Maka pada hari H, 1 Juli 1996 , yang kalau tidak salah itu sebenernya hari libur kenaikan kelas, saya bersama seorang teman dan beberapa guru menuju Balairung Pemkab Deli Serdang. Banyak elemen yang menjadi tamu undangan pada acara tersebut. Petani teladan, nelayan panutan, guru idaman, banyak deh.

Saya? Senang dong.

Makan-makan uenak sepuasnya, lalu diberi bingkisan, diberi amplop, dikasi selamat sama Bapak Bupati.

Sampai rumah berasa jadi artis. Tapi  bapak kemudian mengingatkan, “tadi Wiwik gak bilang sama Bapak Bupati, kalau hari ini ulang tahun?”

Oh, iya lupaaa.

Mestinya kan bilang ya, jadi hadiahnya nambah…

Kado Manis Lainnya

Belum hilang sumringah akibat dapet kado special dari Bapak Bupati, satu bulan berikutnya saya dapet kado lebih dahsyat lagi.

Waktu itu siang-siang panas jam 2, baru sampe rumah telepon bunyi.

“Bisa disambungkan dengan saudari Dwi?”

Dapet telepon dari orang tua yang bernada berat rasanya ogah banget deh.

“Kami panitia lomba mengarang Hari Pangan Sedunia, mau konfirmasi kalau karangan saudari Dwi menang.”

Linglung.

“Pengumuman resminya sudah kami kirim, hanya saja ada kesalahan ketik untuk judul karangan yang saudari Dwi kirimkan. Makanya kami konfirmasikan terlebih dahulu, walau judulnya tidak sinkron, tetapi saudari pemenangnya. Ini kekeliruan kami.”

Telepon mati.

Waktu bilang sama ibu tentang berita telepon tadi, reaksinya standar banget khas ibu-ibu yang sering ditipu, “jangan seneng dulu, buktinya belum ada!”

Waktu sore hari bapak pulang kerja, nada-nadanya sama saja dengan sedikit bunga-bunga, “Bapak akan cek ke kantor pos besok pagi!”

2 hari berikutnya surat bersampul resmi dari Deptan sampai di sekolah. Barangkali bapak sudah woro-woro sama pihak sekolah, kalau ada surat buat saya, bisa langsung di cek. Akibat perbuatan itu, betapa malunya saya mendapat panggilan berkali-kali dari pengeras suara sekolah yang gemanya keseluruh area DPR.

Dan, inilah kado berikutnya buat saya diusia 13 tahun;

- Diundang ke Jakarta dalam rangka pemberian hadiah oleh Bapak Presiden, bersamaan peringatan Hari Pangan Nasional ke 16 di gedung Sasono Langen Budoyo TMII.

- Diundang jalan-jalan ke Roma bersamaan diadakannya World Food Summit.

- Plesir ke Negara-negara yang bertetangga dengan Italy, dan belakangan di cancel sebab rombongan muslim lebih memilih mengajak saya untuk Umrah ke Baitullah.

Dan sebab kemenangan atas karangan sederhana saya tentang pertanian, secara otomatis Gubernur berkenan menyalami saya, memberi sangu yang Alhamdulillah. 

Lalu saat usia saya 13 tahun 3 bulan, rasanya benar-benar seperti mimpi, saya yang orang kampung, bersekolah di kompleks DPR, berkesempatan disalami Bapak Presiden. Lantas terbang belasan jam ke benua yang tak pernah saya bayangkan, lalu bersujud di Baitullah.

Sebuah kado manis di usia yang konon katanya, sial!

Sekarang ini, sebagai manifestasi dari apa yang telah saya dapat di usia 13 tahun, adalah terus bersyukur dengan cara  tetap belajar dalam apa adanya saya sekarang.

Ngempi, bukan hanya ajang ngerumpi. Ada makna-makna tersembunyi yang terpatri sejak usia 13 menyambangi. Makna kesyukuran menikmati kehidupan, makna pembelajaran dalam tiap langkah yang saya ayunkan.

Karenanya saya ada disini, menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari perigi para ahli yang tak pernah kering tinta emasnya.

Dan barangkali memang usia 13 saya  akan benar-benar sial, tentu saja jika saya tak pandai menarik makna dikemudian harinya...

*naskah ini jadi jawara n masuk dalam ebook Anugerah Bulan Kelahiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.