Medan, 1 November 2016.
Kepada Yth, Bapak Basuki Tjahaja Purnama
Di,
Tempat.
Salam Sejahtera, Pak Basuki. Sebelumnya perkenalkan, saya
Wiwik Waluyo, seorang Ibu Rumah Tangga yang berdomisili di Medan, Sumatera
Utara. Terkait pilihan sikap Bapak yang menukil sepenggal ayat dalam kitab suci
saya, sesungguhnya saya tidak memiliki kompetensi apapun untuk ikut berkomentar
kecuali sebersit ingatan pada sebuah kisah di masa lalu.
Pak Basuki, dua puluh tahun lalu ketika saya masih
bersekolah di Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) di kota kecil Lubukpakam,
sungguh saya tidak menyukai pelajaran Pendidikan Kewarga negaraan terkhusus bab
Toleransi dan Kerukunan Antar Umat Beragama. Perasaan ini muncul secara alamiah
dalam hati remaja saya. Pasalnya sederhana, setiap kali saya naik sudako (nama
angkutan lokal di kota kami), maka saya sebagai Pujakesuma (Putri Jawa
Kelahiran Sumatera) selalu saja merasa inferior, kecil, tersingkir bila berdampingan dengan anak-anak sekolah warga keturunan Tionghoa.
Di dalam sudako, teman-teman warga keturunan akan menguasai
‘forum’ dengan obrolan bersuara keras, tak putus-putus, dan itu dalam bahasa
Hokkian. Mereka seperti luput, bahwa mereka sedang berbagi ruang dengan orang
lain. Walau ingin sekali menegur dan mengatakan ‘maaf, ya, bisa dikecilin nggak
volumenya?’ Tapi itu tak pernah saya lakukan. Sebab apa yang mereka lakukan
melukiskan ‘ketinggian’, ‘penguasaan’ dan itu membuat saya merasa ‘kecil’ di tanah yang kita semua
berstatus sama sebagai warga negara.
Jauh sebelum itu, Pak Basuki, ketika saya masih Sekolah
Dasar dan diajak orangtua ke Jawa (Pemalang dan Comal), saya terkaget-kaget
melihat warga keturunan Tionghoa yang selalu berbicara memakai bahasa Jawa. Di
pasar, di angkutan umum, di mana-mana. Saya yang masih kecil begitu
terkagum-kagum, bagaimana mungkin mereka yang di kampung saya (Lubukpakam)
hampir tak pernah berbahasa Indonesia, saat di Jawa mereka semua
berbicara dengan bahasa Jawa.
Pak Basuki, saat remaja itulah saya merasa Bab Toleransi dan
Kerukunan dalam buku PKN yang saya pelajari hanya berhenti dalam tataran teori.
Prakteknya? Saya punya pengalaman lain lagi. Settingnya masih tetap di dalam
sudako, tapi ini ketika saya sudah dewasa dan pergi merantau.
Sekitar tahun 2009, ketika saya mudik, saya menumpang sudako
dari Lubukpakam menuju Galang. Puasa Ramadhan saat itu. Tengah hari bertepatan
jam pulang anak-anak sekolah. Syahdan, sudako yang saya naiki, dari dua belas
penumpang, lima di antaranya remaja keturunan siswa siswi sebuah SMP. Berjejalnya penumpang siang itu membuat kami seperti
dipanggang. Keringat saling susul mengucur. Dan sudako berjalan lambat macam
siput.
Baru saja sudako bergerak meninggalkan pangkalan, remaja
warga keturunan mengeluarkan bungkus es yang mulanya tersimpan di dalam kantong
kresek. Mereka mulai menyedot es, sambil ngobrol ketawa-ketawa. Saya ingin
menegur, tapi urung. Lalu mereka menyedot es lagi. Penumpang anak-anak yang
dipangku ibu mereka mulai merengek. Tapi mereka tetap tidak peka, sedot lagi,
lagi dan lagi.
Tidak ada satupun penumpang sudako yang menegur mereka.
Apakah mereka sama merasa ‘kecil’nya dengan saya? Segala puji bagi Tuhan,
tiba-tiba, seorang kakek yang duduk di sebelah saya angkat suara.
“Dek, kalian di sekolah apa nggak pernah belajar toleransi,
ya? Kalian ngerti nggak kami puasa? Tolonglah, toleransi sedikit. Ada banyak
anak-anak di sini.”
Pak Basuki yang saya hormati, sebagai muslim kami tidak
ingin berlebih-lebihan diberi penghormatan. Tapi alangkah indahnya bila kita
semua warga Negara Indonesia yang multi etnis ini hidup berdampingan dengan
saling harga-menghargai, saling hormat-menghormati dalam segala aspek
kehidupan. Apa yang bapak ucapkan terkait apa yang kami yakini dalam kitab suci
kami, itu sangat-sangat melukai perasaan kami. Secara pribadi, itu mengingatkan
saya pada episode-episode yang telah saya kisahkan di atas.
Jika dahulu saya diam, maka sekarang saya beranikan
menulis surat terbuka ini kepada Bapak Basuki. Bapak sebagai pemimpin, pada
diri bapak terdapat teladan yang akan diikuti oleh semua yang bapak pimpin.
Jika bapak mengatakan bahwa kami dibohongi oleh orang-orang yang mendakwahkan Al-Maidah:51
dan kami diam, maka kelak anak-anak sekolah warga keturunan Tionghoa di kampung
saya akan santai saja menyedot es saat kami sedang puasa. Lantas ketika ada
yang mengingatkan tentang toleransi, mereka akan enteng berkicau, “loh,
panas-panas gini ngapain puasa nyiksa diri, sih? Kalian ini mau aja dibohongi
sama Al-Baqarah:183.”
Demikian surat saya yang sebenarnya hanya curhatan ibu rumah
tangga saja, Pak Basuki. Saya memiliki tiga anak dan mereka terus tumbuh
bersama seluruh generasi multi etnis di Negara ini. Jika tidak saya sebagai
orangtua dan Bapak Basuki sebagai pemimpin yang mulai mencontohkan sikap toleransi
dan kerukunan antar umat beragama terhadap anak-anak dan generasi penerus kita,
maka bersiap, toleransi dan kerukunan hanya akan menjadi teks yang kehilangan
makna, lebih-lebih bangkai di dalam buku-buku mata pelajaran PKN.
Salam Hormat saya,
Wiwik Waluyo.
Jempol mbak wiek. Btw.. pait bener ya. semiga anak bangsa dimasa depan apapun etnisnya bisa saling menghargai menghormati. tidak melangkah melewati wilayah yg tak boleh dilanggar masing2 pihaknya. Aamiin
BalasHapusSetuju, Mbak...
BalasHapusBisa dijadiin cerpen juga nih. Loyalitasnya kental. Tapi entah apa ada media yg mau nerima 😂
BalasHapusKeren wik...semoga bliau baca
BalasHapusKeren banget. Langsung pada sasarannya: toleransi
BalasHapusPas dikonversi ke surat al baqoroh, langsung jleb bgt..
BalasHapusmanteb mbak.. setuju banget .. langsung telak banget :)
BalasHapussetuju
BalasHapusTerenyuh aku bacanya, makasih mbak :')
BalasHapusSalam,
Oca