Laman

Sabtu, 14 November 2015

Lelaki yang Suka Memaksa


Foto dari sini

Seharusnya, coretan ini diposting tanggal 12 November kemarin. Tetapi karena anak-anak luar biasa lincahnya, saya tahu bahwa lelaki yang suka memaksa dalam kisah ini akan maklum...:)
***


Setumpuk majalah pertanian yang diikat tali rafia diletakkan di atas meja. Partikel-partikel debu berterbangan. Membuat sesak. Sesesak kalimat perintah yang mengalir kemudian.

"Ini bahan untuk menulis. Baca!" Tegas. Sangat tegas perintah seorang laki-laki yang dipanggil Bapak oleh gadis remaja yang dipaksa 'menelan' setumpuk majalah pertanian berbau apak itu.

Gadis remaja itu geming. Berhari-hari hening. Ia tak mau disuruh-suruh, tak suka dipaksa-paksa.

"Kalau menang, kamu bisa terbang jauh sampai ke Eropa."


Oh, Eropa itu di mana? Apa asyiknya bisa sampai ke sana?

Bagi gadis remaja kampung itu, bisa menyisihkan uang jajan untuk menukarnya dengan semangkuk bakso merk Amat atau es campur ape'-ape' di pangkalan sudako (angkot), itu sudah teramat sangat menyenangkan. Tidak ada yang lebih asyik dari itu. Termasuk jalan-jalan ke Eropa. Kecuali di Eropa ada bakso Amat dan es campur ape'-ape', bisa jadi tumpukan majalah pertanian itu segera ia lahap dengan suka cita.

"Lekas tentukan temanya!" perintah itu diikuti tiga buah kalimat tema lomba mengarang yang ketiganya sama memusingkannya.

Gadis remaja itu diam, pura-pura berpikir keras. Padahal dia sungguh malas.

"Yang ini saja, kamu tinggal tuliskan harapan-harapanmu sebagai anak Indonesia."

Harapan-harapan apa? Paling jelas gadis remaja itu berharap Bapaknya berhenti untuk memaksanya menulis. Menulis karangan sepanjang tiga halaman dalam rangka Hari Pangan Sedunia ke XVI yang membuat pening.

"Tidak ada alasan untuk tidak menulis. Kerangka ini dibuat agar kamu lebih mudah mengarang!"

Perintah, perintah dan perintah! Entah apa yang ada dalam benak sang Bapak sehingga ia begitu yakin putrinya memiliki keterampilan mengarang. Keyakinan yang membuatnya ngotot agar sang Putri menyelesaikan karangan sejelek apapun hasilnya.

Dan itu berhasil. Karangan gadis remaja kampung yang isinya hanya berupa harapan agar dirinya yang kurus tak semakin kerempeng sebab kekurangan pangan seperti anak-anak di Somalia sana, ternyata, karangan itu sungguh berhasil.

Tidak terlalu penting ucapan-ucapan selamat. Tidak juga jabat erat pejabat-pejabat. Tidak juga jalan-jalan gratis ke Pisa dan air mancur Trevi.

Bagi gadis kampung itu, menyadari bahwa ia memiliki keterampilan menulis setelah 'dicambuk' begitu rupa, itu adalah intan yang teramat berharga.

Pelan-pelan ia menulis. Tidak giat, tetapi menjadi aktivitas mengasyikkan. Kadang-kadang, menulis justru menciptakan sebentuk kenyamanan -kalau boleh tak menyebutnya pelarian- atas realitas hidup yang kadang keras. Termasuk kerasnya pola asuh sang Bapak.

Menulis membuatnya bebas. Termasuk bebas 'melawan' sang Bapak. Duh, sungguh keterlaluan sekali gadis itu. Dan pada akhirnya -dengan berat- harus saya tuliskan, gadis payah itu tak lain tak bukan adalah saya.
Ya ya, semoga dalam waktu dekat, apa yang saya tulis tidak melulu untuk kesenangan pribadi saya semata, tetapi juga untuk seorang yang telah memaksa saya ada di jalan ini; Bapak.

Selamat hari Ayah, Bapak. Maaf baru sempat menuliskannya, cucu-cucumu lincah sekali sepanjang hari ini.

1 komentar:

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.