Laman

Minggu, 02 April 2017

ESKAPIS; Cerpen Nominasi Lomba Cerpen Kisah Kota Lama Semarang 2016


ESKAPIS[1]
Oleh: Wiwik Waluyo

“Di dalam diriku sudah aku ciptakan ribuan pasang mata yang menangis, bangsal-bangsal rumah sakit bersalin, jarum suntik, kapsul penenang dan rumit rumusan demi menebus kehilangan. Masa depan orang-orang terlanjur bibit penyakit, menunggu waktu tepat sembari memeluk pertanyaan kapan dirimu akan berulang-ulang bangkit…[2]


           Puisi yang kau bawakan membuat panggung seni Kampoeng Jawa di Festival Kota Lama Semarang bergetar oleh nyeri yang menjalar-jalar. Penonton hening, bulu kuduk merinding. Seorang gadis geming dalam perasaannya yang ambring. Ia datang dari tempat yang jauh, menyiapkan hari dan perjalanan ke Semarang secara khusus untuk menonton pertunjukanmu. Oh, bukan hanya menonton, namun juga demi sebuah misi.

Gadis itu menikmati seluruh puisi yang kau bawakan dengan khidmat. Kadangkala ia menyeka sudut mata yang berair dengan punggung tangan, saat lain ia tersenyum. Penonton riuh bertepuk tangan pada akhir pertunjukan dan perlahan panggung seni mulai ditinggalkan, namun ia tetap di sana. Menunggumu.
***

"Apakah seseorang yang lari dari kenyataan bisa tenang menjalani hidup, Paman?"

Gadis itu menghampirimu yang sedang bergegas. Kau berhenti, sebentar menatap wajah putih pucatnya yang merona tertimpa bayang senja.

"Paman?"

Gadis entah siapa itu memanggilmu. Kau baru saja selesai membawakan syair-syairmu dan tiba-tiba saja ia berada di sebelahmu bagai hantu. Menanyakan ihwal paling kelam dalam diri. Sebuah pelarian. Dari kenyataan, dari realitas.

“Aku tak mengira, pertunjukan Paman jauh lebih memukau dari yang selalu kubayangkan." Dia mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas sambil tersenyum manis. Dan kepalamu keras bekerja, mengaduk liang penyimpan ingatan jangka panjang. Siapa gerangan gadis di hadapanmu ini?

"Aku menyukai semua puisi-puisi Paman.” Dia mengayunkan buku itu serupa mengayun bayi. Hatimu tersentuh. “Kalau harus ada yang paling kusuka, aku pilih Eskapis."

Oh, kau melunakkan persangkaan yang sempat menggerogoti pikiran. Gadis belia ini hanyalah salah satu pengagummu. Kau segera mengosongkan perkiraan-perkiraan dari kepala. Kau bangkit, memakai jaket jeans juga ranselmu. 

"Aku belum mengisi perutku semenjak pagi, apakah kau berkenan melanjutkan semua yang ingin kau katakan di sebuah tempat makan?"

Sigap gadis itu berdiri di sampingmu. Satu tangannya mendekap erat Eskapis di dadanya dan kau terharu melihatnya. Kalian lantas berjalan menuju sebuah mobil VW bertulis De Oudestad Bank. Kau segera mengeluarkan beberapa lembar rupiah untuk ditukar kupon berupa uang-uangan dalam mata uang Belanda yang menjadi alat transaksi di Festival Kota Lama ini. Kalian kembali beranjak. Di antara rengekan anak kecil yang tak sabaran mengantri di gerai-gerai kuliner dan sayup tembang Gambang Semarang dari dalam Gereja Blenduk, kalian melangkah dalam diam.

“Paman tak bertanya siapa aku, dari mana asalku dan bagaimana aku bisa sampai di sini?”

Kau menatapnya sekilas. Suasana sangat berisik. Kalian melewati satu grup musik yang semua personilnya berkostum opsir Belanda di dekat Semarang Contemporary Art Gallery. Di dalam gedung itu ditampilkan karya seni perekam sejarah kejayaan Semarang tempo dulu juga pameran De Vrouw yang menampilkan kiprah tokoh-tokoh perempuan Jawa Tengah. Kau terus menyeret langkah, membungkam bibir ceriwis gadis itu dengan jejak yang tergesa-gesa.

“Namaku Arimbi.”

Langkahmu terhenti.

Bugh…

Seseorang yang berjalan tergesa menabrakmu dari belakang. Kekacauan kecil segera terjadi. Tapi kau membereskan semuanya secepat orang membuang ludah. Kau kembali melangkah. Gadis itu membuntuti.

“Masakan Tionghoa, bisa?”

Kepalanya mengangguk mantap. Maka ke dalam sebuah kedai Tionghoa kalian singgah. Kau memesan seporsi nasi dengan sup hi piu.

“Aku i fu mie saja, Paman”

Tidak ada yang salah. Semua orang menyukai i fu mie. Jika ada kesalahan adalah apa yang dikatakan gadis itu kemudian.

“Ibuku sekarat karena kanker. Anehnya, kondisinya selalu lebih baik jika siapapun meloloskan keinginannya untuk menyantap seporsi i fu mie. Apakah i fu mie yang panjang dan liat itu benar bisa memanjangkan umur, Paman?”

Kau tak bisa lagi menahan diri. Apa yang baru saja diucapkan gadis ini melemparkan dirimu ke masa lalu. Dahulu, kau pernah mendapat pertanyaan serupa dari seorang gadis teman dunia maya saat kalian kopdar di sini. Ya, tepat di Kota Lama ini. Kau bahkan masih mengingat, kalian menyantap i fu mie setelah kau mengantarnya berkeliling Kota Lama dengan sepeda. 

"Apakah i fu mie dan panjang umur hanya mitos milik kaum Tionghoa, Edgar?" Begitu dahulu tanya temanmu. Dan sekarang, gadis di hadapanmu ini menanyakan hal yang kurang lebih sama.  

“Baiklah Arimbi, sekarang waktunya kau memberi tahu, untuk motif apa kau ada bersamaku saat ini?”

Manik matanya yang sempat redup kembali cerlang. Namun, terlalu banyak hal yang ingin ia kabarkan malah membuatnya bingung dari mana harus memulai. Jarinya mengetuk-etuk meja membentuk irama tak tentu. Tiba-tiba saja ia jadi amat gelisah.

“Aku sudah dua puluh lima tahun membuat syair dan membacakannya di  sembarang tempat, pinggir jalan, taman-taman juga panggung-panggung seperti tadi kau melihatku. Aku sudah tua, tapi tatapanmu seolah-olah mengesankan aku ini Rangga yang masih begitu tampan.”

Kau memasang raut serius. Tapi dia tertawa. Gelisahnya terbang bersama nyaring tawa yang tak bisa ia tahan.

“Paman tetap saja masih narsis dan blak-blakkan seperti dahulu."

"Hem? Dahulu kapan? Apa kau sudah pernah bertemu denganku sebelumnya?"

"Pernah. Bukan aku, tapi ibuku. Kata ibu, Paman sangat mengesalkan karena terlalu ceplas-ceplos. Ternyata ehm, kebenaran itu baru saja kubuktikan."

Pelayan datang dengan dua cangkir teh krisan. Kau mendekatkan satu cangkir ke hadapannya. Uap panas meliuk, naik ke wajah dan membelai-belai pipinya yang sehalus pualam. Kau gemas sekali dengannya. Ingin menyangkal tuduhannya kalau kau sudah tak senaif dahulu, namun kau urungkan. Responmu yang narsis dan blak-blakkan tadi hanya karena kau tertular kemudaannya. Begitu alami, begitu polos.

Pelayan kembali datang dengan sup hi piu dan i fu mie yang aromanya membuat fokusmu tersirap ke sana. Kau memang belum mengisi perut dengan makanan berat semenjak pagi, kecuali bercangkir kopi dan berpotong-potong ganjel rel[3] yang kau celupkan ke dalamnya.

“Aku tidak keberatan mendengar ceritamu tentang i fu mie dan ibumu sembari aku menyantap sup perut ikanku, Arimbi.”

Dia mengaduk teh dan menyeruputnya perlahan. Di luar, kemeriahan Festival Kota Lama kembali meriap. Pengunjung segebyar gemintang. Dentam musik mulai terdengar dari panggung utama. Ada artis gaek Ibukota yang manggung sebentar lagi. Tapi kau dan Arimbi malah tersesat di belantaranya hati.

“Ibuku, dia perempuan berwajah badak yang bego dan ke-bego-annya ia bawa sampai sekarat.”

Kau menghentikan kunyahanmu. Kata badak dan bego menjebloskan ingatanmu jauh ke masa muda saat kau senang menggunakan kata-kata itu. Saat sekarang sudah berumur, mendengar anak muda menggunakan kata itu justru membuatmu ingin menceramahinya. 

“Sebaiknya kita tidak kurang ajar terhadap orang yang melahirkan kita ke dunia, Arimbi.“

Dia tetap menyantap i fu mienya dengan lahap, sama sekali tak terusik dengan teguranmu. Alih-alih menanggapi, ia mengeluarkan secarik kertas lusuh dari dalam tas, mengangsurkannya padamu.

Menulis fiksi itu tetap pake teori, jangan asal. Sudah sok toy, bego lagi. Dasar muka badak. Tadinya pingin E biarin, tapi sayang kalo punya temen begonya sampe kebawa mati.

E itu inisial nama Paman, bukan? Paman Edgar?”

Kerongkonganmu seperti disambar bumerang. Rahangmu mengencang. Kau mengingat sesuatu. Sesuatu sepele yang tak pernah benar-benar kau lupakan. Tentang teman, tentang kenaifan masa muda dan tentang karya-karya yang masih mentah. 

Dan, ya Tuhan! Ini tentang gadis yang kau bonceng mengelilingi Kota Lama sambil kau lirihkan bebeberapa bait syair picisan. Lalu kau mentraktir gadis itu dengan i fu mie dan ia menanyakan apakah i fu mie bisa memanjangkan umur?

Kau ingat sekarang, gadis yang kau bonceng itu datang dari Ibukota. Kalian berteman di dunia maya awalnya. Dua belas tahun lalu. Gadis itu sering mengatakan puisimu tak terpahamkan, dan ia selalu meminta pendapatmu atas cerpen-cerpen yang ia posting di blognya. Ya, gadis itu senang sekali membuat cerpen. Lalu semua kegembiraan itu raib saat suatu ketika kau jail memberikan komentar seperti yang tertulis pada secarik kertas lusuh itu. Padahal sungguh maksudmu bukan itu.

“Itu benar aku. Tapi aku tak bermaksud seperti itu, Arimbi.”

“Ya, ya, aku mengerti. Sebab selera humorku selalu lebih baik dari ibu.”

 “Oh, benarkah dia ibumu?! Apakah kau benar-benar putri Julia?”

Dia hampir tersedak. Sejurus kemudian senyumnya mengembang, “Terima kasih Paman masih mengingat nama ibuku. Aku sudah berumur lima tahun saat ia berkunjung ke Semarang yang sesungguhnya untuk mencari alternatif pengobatan tumornya. Tapi ibu beruntung, ternyata kalian sempat bertemu dan Paman memboncengnya berkeliling Kota Lama. Juga mentraktirnya seporsi ie fu mie." 

Dia menggigit bibir bawah sambil menahan senyum saat mengatakan kalimat terakhir. Sementara kau selayak kiper yang kebobolan gawang. Bagaimana bisa kau sampai tak tahu Julia itu sudah menikah dan tengah berjuang melawan sakit?

"Paman tak perlu merasa bersalah," ujarnya datar. "Ibu memang merahasiakan statusnya karena ia sama sekali tak bahagia dengan pernikahannya. Aku tidak bermaksud kurang ajar, tapi faktanya ayahku memang brengsek. Berulang-ulang ayah mengkhianati ibu. Tapi ibu bertahan. Dan kupikir, penyakitnya itu sebab ibu terlalu nelangsa dengan sikap ayah yang tak kunjung berubah. Ibu jadi melarikan kesakitannya ke dunia maya dan juga menulis kisah-kisah fiksi yang indah. Sayangnya, ibu terlalu sensi. Walau ia sudah pernah bertemu Paman, tetap saja ia merasa Paman jahat saat menyebutnya si muka badak.”

Dia meremas kertas lusuh itu dan membuangnya ke dalam mangkuk bekas sup hi piu-mu. Kau menjauhkan piring dan mangkuk kosong itu. Lalu menyulut sebatang rokok dan mengisapnya dalam. Sedalam perasaan yang kembali kau selami. Syahdu suara Ruth Sahanaya yang menembang lagu Memori dari panggung utama, benar-benar menjadi latar yang menggetarkan hati.

“Sampaikan maafku untuk ibumu. Aku sungguh tak pernah bermaksud menghinanya dengan kalimat-kalimat kasar itu.” Kau mengatakan itu dengan jujur, dan dia menggeleng pelan.

“Bukan salah Paman. Walau sejujurnya dulu aku juga benci dengan orang yang asal nyeplos itu.Tapi setelah aku tahu cerita yang sebenarnya, diam-diam aku mengetikkan nama Paman di mesin pencarian google dan, yah, akhirnya aku jadi segala tahu tentang Paman.” Dia mengatakan itu dengan manja seolah-olah kalian ayah dan anak yang baru bertemu setelah sekian lama berpisah.

“Aku terharu ketika akhirnya tahu bahwa celaan muka badak yang bego itu datang dari penyair ternama Semarang. Pantas saja ibu mencetak dan menempelnya di ruang menulisnya. Oh, seandainya Paman tahu seberapa besar perjuangan ibu untuk menjadi badak yang cerdas, siang-malam ibu berusaha untuk itu dan abai pada penyakit yang semakin menggerogoti tubuhnya.”

Dia tertawa getir nyaris tersengal ketika mengatakan itu. Dan kau cepat-cepat menggilas ujung rokok ke dasar asbak lalu mengulurkan tangan dan menyentuh tangannya yang dingin.

“Maafkan aku, Arimbi. Aku sungguh-sungguh tak tahu kehidupan rumah tangga ibumu. Dulu kami hanya berbicara tentang karya, selalu tentang karya. Ibumu hebat. Aku melihat potensi besar pada dirinya. Kecuali aku, semua temannya hanya memuji. Apa yang kulakukan hanya demi membuat ibumu tetap di tempatnya. Terus belajar dan tidak cepat puas."

Dia memasukkan i fu mie terakhir ke dalam mulutnya, mengunyah perlahan sambil memandang wajahmu yang menyesal dengan tatapannya yang penuh maaf.

“Aku mengerti. Karena itu aku merancang perjalanan ke Semarang untuk menemui Paman. Aku mengecek semua media sosial Paman dan bersyukur melihat jadwal Paman manggung di Pasar Malam Sentiling ini. Entahlah, aku merasa harus menemui Paman dan bertanya adakah seorang yang terus melarikan diri dari kenyataan akan hidup dalam ketenangan?”

“Karena aku menulis Eskapis?”

“Karena Paman yang mencungkil keberanian ibu untuk bangkit dan berlari dari kenyataan," dia berhenti untuk meneguk ludahnya dengan susah payah dan kembali berbicara. “Kenyataan dikhianati juga digerogoti kanker kronis, ibu tetap tak peduli. Dua belas tahun ia berlari demi menjadi badak cerdas seperti yang Paman inginkan. Moktika, novelis best seller yang tak pernah menampilkan identitas sebenarnya, apakah Paman pernah mendengar namanya?”

Kau lekas mengangguk. Beberapa novel Moktika diadaptasi ke layar lebar, mana mungkin kau tak tahu tentangnya.

“Dia ibuku.”

Kau diam untuk beberapa waktu. Kemeriahan Festival Kota Lama teringkus oleh gempitanya hatimu.

"Aku menemui Paman untuk sebuah permohonan. Kupikir Paman akan bisa menghentikan ibu dari pelarian dirinya. Betapa  pun megahnya cara ibu melarikan diri, ibu tak akan pernah tenang apalagi sehat bahkan sesering apapun dia operasi, terapi, apalagi sekadar menyantap i fu mie. Ibu harus berdamai dan menerima kenyataan hidupnya yang tak sempurna. Ibu tak bisa tutup mata dengan pengkhianatan ayah. Aku sedih melihat ibu sekarat. Aku sangat berharap, Paman sebagai teman lamanya mau bersekongkol denganku demi kesehatan ibu. Aku tak ingin ibu mati muda."

Kalimat terakhirnya membuatmu deja vu. Kau masih bisa merasakan sayatan-sayatan luka akibat ditinggal ibumu yang mati muda. Sekarang kau amat mengerti perasaan gadis ini.

"Paman," panggilannya mengentak lamunanmu. "Terima kasih traktirannya. Perutku benar-benar penuh dan aku perlu mencari toilet."

Wajah pucatnya tersamar senyum yang sangat manis. Dia melangkah. Meninggalkan tas, buku Eskapis, juga seremas kertas yang kedinginan di mangkuk bekas sup hi piu-mu.

Lima menit.

Tiga puluh.

Satu jam.

Dia tak kembali. Kau membereskan tas dan barang-barangnya. Kau bertanya pada petugas toilet wanita dan memintanya mengecek bilik satu persatu. Tapi dia tiada.

Kau mencari ke tiap sudut gelaran Festival Kota Lama. Ke jubelan penonton konser musik di panggung utama, panggung seni di Kampoeng Jawa dan Kampoeng Belanda, stand barang antik, stand batik hingga lapak pelukis sketsa wajah namun semuanya nihil. Kau memutuskan untuk berhenti mencari ketika matamu menangkap segerombol orang berkeliling di tempat parkir sepeda-sepeda tua.

Sebuah sepeda ringsek bagian belakangnya. Dan kelopak-kelopak bunga bertabur di sekelilingnya. Sebuah sketsa wajah terpasang di stangnya yang bengkok. Kau cermat menatapnya. 

Astaga, dia Arimbi.

Samar kau mendengar orang berbicara.

"Siang tadi, gadis ini minta dilukis lalu minta diantar keliling Kota Lama dengan sepeda. Kecelakaan membuat kepalanya terbentur aspal. Napasnya berhenti saat diantar ke rumah sakit."[]



[1] Eskapis adalah salah satu judul puisi dalam buku puisi berjudul sama karya penyair mudaSemarang; Arif Fitra Kurniawan.
[2] Petikan syair dari puisi Eskapis.
[3] Roti khas Semarang yang biasa disebut juga dengan roti gambang.

1 komentar:

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.