Pada penghujung bulan yang kering.
Dari ladang jeruk yang mulai ranum.
Aku menemui
Engkau,
My
Dear, Tobi...
Rasanya sulit kuingat, sudah berapa kali
musim panen jeruk aku tak menyapamu dalam sepucuk surat yang kutulis ditemani
secangkir kopi nan pekat oleh aroma rindu.
Lihatlah, Tobi, pagi ini langit begitu
bersih. Burung pipit entah singgah di mana. Awan juga entah jatuh di lembah
yang mana. Dan aku terengah-engah di bawah sebatang pohon jeruk setelah berlari
dari rumah karena ada serombongan keluarga singgah, ingin memetik jeruk di
ladang kita.
Kita?
Oh Maaf, Tobi, di ladang Paman
Lintar, maksudku tadi.
Engkau apa kabar di sana, Tobi? Apakah
kau masih senang menikmati telaga Seiladi yang sendu tertimpa bayang
pucuk-pucuk pinus? Apa kau sedang memancing saat ini? Atau hanya duduk dan melempari
muka telaga yang tenang dengan patahan ranting kering?
Ah, maafkan aku seperti polisi saja.
Bertanya cerewet dan membuatmu jengkel. Jika berhadapan, aku yakin kau akan
mengunci bibirku dengan sapuan lembut jemarimu. Ingat Tobi, usahamu itu kupastikan
tak akan pernah berhasil!
Oke, Sebaiknya aku langsung saja
mengabarkan sesuatu yang akhirnya membuatku menulis surat untukmu lagi saat
ini.
Ini tentang Bibi Selena. Jangan, jangan
terkejut, Tobi. Bibi Selena tidak melakukan hal yang membuat malu keluarga
seperti yang selalu kita khawatirkan. Bibi Selena, setelah sekian lama
mengurung diri dalam cangkangnya, dia kemarin memanggilku.
"Kemarilah, Anna. Lihatlah ini,
hampir separuh rambutnya sudah mulai memutih."
Itu kalimat pertama yang meluncur dari
bibir tipis Bibi Selena, sambil satu tangannya memperlihatkan padaku sebuah
gambar yang tersimpan di dalam ponselnya.
Kau pasti tercekik penasaran siapa orang
yang Bibi Selena perlihatkan kepadaku, bukan? Sabarlah, Tobi. Karena penasaranku
jauh melampaui yang kau punya.
"Dia, laki-laki yang membuatku
jatuh cinta, tanpa syarat."
Ponsel Bibi Selena meluncur dari
tanganku saat mendengar itu, Tobi. Sungguh, ini berita besar, lebih besar dari
sekadar impianku untuk bisa naik pompong
bersamamu membelah heningnya telaga Seiladi.
"Kau percaya cinta yang semacam
itu, Anna? Apa kau pernah merasakannya?"
Tobi, bagaimanalah aku menjawab
pertanyaan sulit itu? Selain payah pelajaran berhitung, aku juga sangat payah
soal cinta. Kan, begitu katamu, dahulu. Tapi, tentu aku tak boleh diam kalau ingin
mendengar kisah Bibi Selena. Dan kupikir, kita bisa mendapatkan petunjuk atas
sikap Bibi Selena yang aneh setelah ini. Bukan begitu, Tobi?
"Aku? Aku tentu belum pernah
merasakan cinta seperti itu. Tapi kuyakin itu banyak terjadi, Bibi."
"Bahkan jika pisau membelah hatimu,
kau tetap akan utuh, Anna."
Oh, aku spontan menyentuhkan kedua bilah
tangan ke dadaku. Nyeri sekali mendengar ucapan Bibi Selena yang penuh
keyakinan itu, Tobi. Namun setelah kupikir-pikir, tiada peradaban yang
terbangun megah dan membersamai sejarah tanpa perjuangan perih di belakangnya.
Jadi, dengan amat susah kuminta Bibi Selena melanjutkan sejarahnya.
"Kisahkan padaku tentang maha daya
cinta itu, Bibi..." pintaku tak sabaran. Aku mewakilimu kali ini, Tobi.
"Ini kisah usang," Bibi Selena
melempar pandangannya ke puncak Gunung Barus. Saat itu Tobi, sungguh aku
melihat ada kembang api yang memercik di gelapnya mata Bibi Selena.
"Sudah dua dasawarsa berlalu. Tapi aku masih bisa merasakan dadaku menghangat
saat kali pertama dia menyapaku dengan sapaan aneh namun sangat kusuka. Biar
kau tahu Anna, Dia nemanggilku nduk padahal semua orang memanggilku butet.
Rasanya nyaman dan sangat dilindungi dipanggil nduk seperti itu, Anna. Aku yang kuat dan mandiri, tiba-tiba saja, dalam sekejab takluk pada seorang yang
membuatku seperti bayi kucing kehilangan induk."
Aku terbatuk kecil dan berusaha
menghormati perasaan bibi Selena. Perasaan yang sudah ia simpan saat masa
belajarnya di Jawa, di tanah yang belum pernah kupijak. Lantas kucatat dalam
ingatan, bahwa cinta yang hebat itu bisa bermula dari sesuatu sangat remeh,
Tobi.
"Lalu, pada sepotong senja yang
sepi di pelataran Merapi, ia mengatakan ingin belajar menjadi satu denganku.
Oh, hatiku meledak oleh perasaan bahagia saat itu, Anna. Rasanya aku akan tetap
hidup walaupun lahar ke luar dari perut Merapi."
Tobi, rasanya aku mulai terhisap oleh
kisah Bibi Selena. Tak ingin putus mendengar sebesar apa monumen cintanya. Dan
tak ingin melewatkan satu bagian terkecil pun untuk kutuliskan kepadamu. Tapi
sayang Tobi, maaf, serombongan keluarga yang singgah memetik jeruk sudah nampak
kembali. Lima kantung besar yang kuberi sudah terisi penuh dan ditenteng
hati-hati oleh seorang Pak Gendut dan perempuan muda cantik yang kulitnya lebih
langsat dari langsat.
"Tolong timbangkan, Dek."
Kau dengar, Tobi. Aku harus menimbang
jeruk hasil petikan mereka sekarang. Nanti jika bertemu waktu senggang, pasti
kusambung kisah cinta tak bersyarat Bibi Selena yang terputus ini untukmu. Ouw
hampir terlupa, aku selipkan lagu ‘knife’ untukmu, Tobi. Tiada pesan khusus,
selain aku berharap tak pernah kau berusaha sedikit saja mengiris kisah kita
dan menjadikannya terbelah.
Sudah-sudah, Tobi...
Bye
Anna.
#30HariMenulisSuratCinta, Hari-1
Wow, aroma jeruk seperti melayang-layang di udara <3
BalasHapusLanjutkan, Nduk! ^_^
belum bisa move on dari 'nduk' nih, mba yulin... duh duh... :) makasi sudah mampir ya mba...
HapusWow... Mbak Wik kalau sudah berkata-kata... Kereeen....
BalasHapusdoain konsisten ya yanti...
HapusAiih.. cakeep..
BalasHapusCan't wait for next letter..
makasi sudah mampir, mamah... kecup
HapusWidiiiih.... Kereeen, surat cintanya.... Nggak kayak punyaku, konvensional banget :p Tapi nggak papa lah, yang penting udah ikutan :D
BalasHapusWow, diksinya bikin terpana, keren surat buat Tobi.
BalasHapusthx udah mampir mba naqy
HapusWow...diksinya kerenn banget Wik. Imi kalo diterusin 30 hari isa jadi novel nih
BalasHapuspinginnya gitu, bu, cuma kl sehari sampai tiga lembar kasian yang baca hehe, makasi udah mampir ya bu
Hapuspembukaannya udah cakep gini
BalasHapussukses bikin penasaran baca lanjutannya
lanjuuuuuuut