Laman

Minggu, 25 Februari 2018

Dibalik Layar Cerber Pada Sekaleng Tancho


1, 2, 3 Pemenang Sayembara Cerber Femina 2017. Foto koleksi Shabrina Ws

Ketika membaca cerber Susun Tarah -juara 1 sayembara cerber Femina 2016- yang ditulis dengan gaya jenaka oleh Pago Hardian, spontan hati kecil saya bersuara, “Aku bisa menulis yang semacam ini.”

Suara hati kecil itu bukan tanpa alasan, sebab tahun 2016, saya merampungkan naskah novel yang saya  tuliskan dengan gaya jenaka. Sejujurnya, lebih kepada menampilkan karakter, bukan eksploitasi melodrama tokoh-tokohnya yang serbaprihatin hidup di sebuah pulau terasing. Dan naskah itu, ketika saya perlihatkan kepada Ibu Riawani Elyta guru menulis saya, kerapkali beliau mengaku tertawa sampai sakit perut pada banyak bab. Dan setting Melayu membuat beliau terus-terusan mengingat Andrea Hirata selama membacanya. Padahal, ketika menuliskannya, sungguh saya sudah lama tak memangku karya penulis fenomenal itu.

Kembali ke cerber juara 1 Femina 2016, menyimak idenya yang sederhana namun kuat penokohannya, serta konyol dan kocak, membuat saya teringat ke naskah novel setting Melayu  yang sudah ditolak penerbit tersohor *tabah. Suara hati saya lagi, “Bila aku sanggup merampungkan naskah novel, masa tak bisa merampungkan cerber?”

Tapi apa? Saya akan menulis tema apa dan di mana settingnya? Amatlah butuh waktu lama untuk mengonsep sebuah kisah, mulai dari membuat premis hingga outline-nya. Saat itu awal November 2016, saya belum memutuskan akan menuliskan apa sedangkandeadline pengiriman naskah adalah akhir Desember. Dan, ide itu keluar manakala berbincang dengan teman-teman penulis.

“Mak, kau sudah menuliskan apa untuk cerber?” tanya satu teman.
“Belum nulis apa-apa. Tapi kayaknya, kalau yang semirip Susun Tarah gitu aku bisa. Gaya-gaya ngelawaknya kan mirip aku,” kata saya, kepedean.
Jawaban teman lain, “Woi, gaya menulis jenakamu itu bukan mirip Pago Hardian, tapi Andrea Hirata. Ayolah tulis. Masih ada waktu.”

Nama besar Andrea Hirata yang disebut itu mencuatkan ide, kenapa tidak menulis saja  kisah ber-setting serupa novel yang belum ketemu jodoh itu? Dengan ide dasar yang sama (kelestarian penyu), lantas di-mix dengan immortal story milik saya pribadi yang tersimpan rapi dalam sekaleng tancho, ini barangkali akan menjadi kisah yang anggun.

Yup. Kerja dimulai. Lima karakter utama di novel akhirnya saya pilih dua saja untuk berperan di cerber. Ini pun bukan bulat-bulat memindahkan dua tokoh, saya tetap bekerja keras membangun dua tokoh baru. Agar kelak jika novel saya terbit, pembaca tak merasa saya penulis gampangan yang memakai tokoh itu lagi dengan karakter itu lagi.

Memasuki Desember dan saya hampir menyerah pada setengah perjalanan. Merasa ini tak layak diteruskan, merasa ini naskah yang jauh dari istimewa. Pun saya merasa ini hanya kisah receh, hanya romantisme remaja yang apabila penulis Sungging Raga -khilaf- membacanya suatu waktu, pasti dia akan mengejek itu naskah yang digenit-genitkan dengan bumbu lokalitas.

Dan, demi apa pula saat itu saya begitu memperhatikan apa komentar Sungging Raga? 
Entahlah, saat itu saya banyak sekali membaca cerpennya dan terkagum-kagum dengan romannya yang sederhana tapi mengoyak ketenangan batin haha (plus terkagum-kagum, bagaimana kisah yang sesederhana itu bisa membobol gawang Redaktur KompasJ). Saya juga membaca hampir semua postingan blognya, termasuk kritiknya terhadap pengarang-pengarang genit yang menempelkan bedak lokalitas dan itu hanya membuat karya mereka serupa badut saja. Kira-kira, begitulah maksud Tuan Sungging Raga pengagum karya Eyang Seno Gumira itu. Dan saya menjadi pesimis atas apa yang sedang saya perjuangkan.

Namun, ketika saya memberanikan diri posting naskah cerber yang belum ending di kelas Penulis Tangguh, Yu Utami Panca Dewi yang cerbernya menyabet juara 2 pada sayembara tahun 2016 memberi semangat, “Selesaikan dan kirim. Aku yakin ini dilirik juri.”

Aih, sejujurnya saya pesimis membaca ‘dilirik juri’ itu. Bukan apa-apa, saat tahun 2015/2016 saya mengirim cerpen untuk lomba dan hampir semua ‘penulis betulan’ di Penulis Tangguh berkomentar bahwa cerpen saya keren dan bakal dilirik juri, nyatanya, masuk nominasi pun tidak.

Jadi? Tak ada harapan apapun. Bila kemudian saya menyelesaikannya, itu hanya demi menghormati diri saya sendiri yang sudah memulai prosesnya dan betapa saya tak bisa melarikan diri dari kenyataan *jadi ingat ada proyek yang masih belum bisa dihadapi. Padahal sungguh saya tak ada niat melarikan diri.

Dan, Alhamdulillah H-4 naskah cerber itu selesai. Saya bukan penulis cepat yang menulis seluruh bagian terlebih dahulu lalu edit belakangan. Saya tipe menulis separagraf, berhenti, baca sehingga bila sudah ending, saya tak perlu banyak editing lagi.

H-4 itu saya baru memikirkan judul. Dan saya frustasi. Akhirnya mencomot judul tulisan di blog tentang kenangan bersama Ibu; Pada Sekaleng Tancho. Dan untuk pencomotan itu, saya terpaksa men-delete postingan blog hanya demi menjaga huru-hara duniapertulisan (khawatir naskah masuk nominasi dan terindikasi plagiasi karena kesamaan judul. Padahal kan, yang nulis di blog saya juga J )

H-2 sibuk mencetak naskah rangkap tiga sembari membayangkan naskah itu diterima panitia. Lalu dibaca penyeleksi tahap awal. Screening EYD, tanda baca dan tetekbengek tehnis penulisan. Lalu dia lolos dan sampai ke tangan Ibu Layla Chudori dan itu membuat beliau berkerut-kerut kening sambil membatin, “Yo cerito opo iki, Rek?”

Ah, saya sukaaa sekali membayangkan naskah saya diperbincangkan orang-orang yang berkompeten di bidangnya dengan segala teori-teori sastra (padahal saya tak pernah menulis dengan mengingat satu pun teori sastra) di sebuah meja.  Membayangkan tiga dewan juri itu sepakat pada satu bagian namun berperang pada bagian lain. Lalu mungkin mereka akan membanting naskah saya ke tong sampah, atau malah mengumpulkannya bersama naskah lain yang layak untuk diperbincangkan lagi, nanti.

Dan, bila naskah itu tangguh, dia akan ditimang-timang lagi, membuat dewan juri pening dan bersungut-sungut.
“Sekaleng Tancho yang klise.”
“Tapi itu kisah yang jujur.”
“Dan itu roman yang jenaka.”
“Ya, idenya sih paling unik dari yang ada.”
“Tapi konyol nggak sih menyimpan benda berharga pada sekaleng tancho? Dan itu, ah… “
“Kenapa? Gemas? Karena naskah ini memang layak. Dan ingat, ini kisah orisinil yang benar-benar terjadi pada pengarangnya. Wes tho, pokoe aku mantap pilih kaleng tancho.”
“Yuhu, aku juga.”
“Ah, oke, baiklah. Terserah. Ah, ya, sejujurnya aku pun tak bisa tidur memikirkan sekaleng tancho itu. Menangkanlah dia.”

 

Dan, saya tersenyum-senyum sendiri membayangkan tiga juri berceloteh ini-itu, sambil mereka mungkin makan cilok dan menyeruput wedang ronde yang langsung diimpor dari Jogja.

Akhirul kalam, Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah, yang senantiasa mencintai saya dengan ekstrim dan mengasihi saya dengan senantiasa. Akhirnya, kesempatan itu dipergilirkan pada saya. kemenangan itu, adalah hadiah dari Allah. Dia yang menyanggupkan saya menuliskannya, dan Dia pula yang menggiring takdirnya.

Pada Sekaleng Tancho itu adalah cinta teman-teman pada saya: Ibu Nur, Yu Utami, Teh Adya Tuty, Dear Shabrina Ws, Varla, dan semua teman penulis yang tak pernah berhenti menyoraki saya untuk tetap menulis.

Pada Sekaleng Tancho juga doa. Ialah doa Bapak, keluarga, teman-teman yang terang-terangan juga diam-diam mendoakan.

Pada Sekaleng Tancho ialah proses yang tak pernah mengkhianati hasil. Maka hari ini ketika Allah menuntun saya untuk menatap lagi lembar pengumuman juara ini, lantas jemari saya tergerak menuliskan ini, maka ini adalah pengingat saya; menulislah jika menulis memang tongkat musa yang dititipkan Allah untukmu. Pukulkan ia, tak boleh lelah… sungguh tak boleh lelah…



2 komentar:

  1. Barokallah Mbk, senang dengan keberhasilan Mbk. Fokus dan tekad menjadi buah dari hasil kerja keras.

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasi mb naq, duh, ini kemarin fontnya ngaco ya. kebayang mb naq bacanya sambil lier. alhamdulillah sdh dibenerin hehhe...

      Hapus

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.