Laman

Selasa, 19 Januari 2016

Together Forever #LoveStory5


Ini adalah ending dari kisah cinta yang dibuat sebelumnya oleh Bunda Maya. Setelah lirik-lirikan di angkot dan berdebar saat pertemuan bertahun kemudian, maka inilah endingnya versi saya...

***

“Lah, Herly, kok elu bisa nyasar sampe ke rumah gue?”

Tiba-tiba saja, abang saya yang galaknya lebih-lebih dari guguk tetangga ke luar dari kamarnya.  Ia berganti-ganti memandangi kami dengan tatapan seorang jaksa kepada tersangka. Herly baru saja akan membuka suara ketika abang galak menggerakkan kepalanya, mengistruksikan Herly untuk mengikutinya ke luar.

“Kamu di sini aja May, ini urusan laki-laki.”

Hah.

Saya terduduk di sofa dan segera menegakkan telinga. Memangnya abang galak itu sudah mengenal Herly? Bagaimana bisa mantan ketua preman Pasar Uler berteman dengan pria baik-baik, bertutur lembut, setia juga gentleman seperti Herly yang  ternyata, keluarganya sangat religius. Paling tidak, ini penilain zahir setelah tadi di rumah sakit saya melihat mami dan saudara perempuan Herly mengenakan hijab semuanya.

Ah.

“Kalau lu bener serius sama adek gue, jangan pernah setetes pun air matanya jatuh!”

Suara  abang galak hinggap di telinga saya. Itu ancaman pamungkas yang mengakhiri diskusi mereka di luar. Dan serentak langkah mereka kembali ke dalam.

“Gue nggak jamin sih bisa jaga airmata Maya jatuh apa nggak.” Jawab Herly  tersipu. Abang galak saya kembali melotot, mengintimidasi. "Kita dulu pernah se-band, udah lama gue nggak gebug drum. Kalo lu bikin Maya nangis, gue nggak segan-segan nggebug-in lu..."

“Emang apa salah gue kalau ntar kapan waktu Maya nangis saking terharu dapet suami romantis kayak gue?”

Apa? Suamiii?

Belum-belum, air mata ini rasanya sudah menggenang karena senang. Pria berdenim dengan soft case gitar yang saya temui di angkot dan sudah mentah-mentah saya tipu perihal alamat rumah, oh, apakah pria ini serius dengan ucapannya? Apakah dia diam-diam juga mencitai saya seperti perasaan yang terus bertumbuh dalah hati saya?

“Eh, elu apaan senyum-senyum sendiri?”

Yeee, abang galak ini ngerusak suasana saja sih.  Pake nimpuk-nimpuk bantal segala. Herly jadi ikut senang melihat sikap saya. Pasti dia merasa menang deh.

“Sono cepet panggil papa sama mama, bilang calon menantu mau kenalan.”

Belum sempat saya beranjak, Papa sudah terlebih dahulu hadir. “Ada apa sebut-sebut Papa?”

Saya yang akan buka suara kalah sigap dengan Herly yang langsung menyalami Papa. “Saya Herly teman Maya, Om.”

Papa mengernyit. Belum hilang gurat di keningnya, Herly melanjutkan kalimatnya, “Maaf baru sekarang ke rumah, Om. Sebenarnya, saya dan Maya sudah lama saling kenal, dan… cocok. Saya mohon restu Om untuk selanjutnya membawa keluarga dan melamar Maya.”

Apa?

Wah Herly benar-benar membuat jantung serasa dipetik-petik hari ini. Lha, itu jantung atau gitar? Hehe… walaupun saya diam-diam menaruh hati padanya, tetapi diajak bertemu keluarga besarnya walau di rumah sakit dan sekarang berbicara soal lamar-melamar, ya ampuuun… Jangan-jangan abang galak itu sudah mengintimidasi Herly untuk cepat melamar saya agar dia mendapat ‘harta pelangkah’? Ya Tuhan, pikirannya masih saja kriminal…

“Sebentar Nak Herdy…”

“Her-ly, Om…”

“Nah, iya, Her-ly, Bapak perlu tahu, apa yang membuat kamu merasa cocok dan cepat-cepat ingin melamar Maya? Lha, Maya ini kalau masak sayur asam rasanya asin banget, lho?”

Duh, Papa… Herly dan abang galak jadi tertawa.

“May, elu ke belekang sana, buat teh atau jus gitu…”

Untung-untung…

“Sebentar, May,” suara Herly menahan langkah saya. Saya kembali duduk, gelisah. “Saat pertama bertemu Maya di angkot, saya melihat Maya sedang membaca sebuah buku, Pak. Dalam hati saya timbul keyakinan, gadis ini yang akan merawat anak-anak saya dengan akidah dan akhlak yang baik. Kalau soal sayur asam yang terlalu asin, saya juga kalau cuci piring kadang-kadang diprotes Mami juga karena kurang licin, Pak.”

Herly tertawa enteng sekali. Papa dan abang galak berpandangan, lalu ikut tertawa. Saya? Rasanya ingin melongok ke bawah, apakah kaki saya masih menjejak dunia? 

Ya Allah, pasti wajah saya sudah mengalami degradasi warna karena menahan sipu.

"Emangnya dulu adek gue baca buku apaan di angkot sampe elu segitu yakinnya?"

Eh?

Herly dan Papa menatap saya. Saya menggeleng, lupa. 

"Sirah Nabawiyah," jawab Herly dibingkai senyum terbaiknya. 

Setelahnya, kehidupan saya seolah hanya diisi oleh satu berita. Beritanya bahagia. Tak peduli walau Herly telah terbukti melakukan tindak percobaan kebohongan. Oh ternyata, ajakan menonton Herly hanyalah sebuah trik belaka.

"Aku yakin kamu nggak mau keluar sama aku kalau saat itu aku jujur. Memangnya, siapa yang mau diajak kencan pertama ke rumah sakit? Lagian, kamu bisa-bisa pingsan duluan kalau kubilang  bakal ketemu keluarga besarku."

"Kok sepele? Aku melahirkan tiga penerusmu itu nggak pernah takut apalagi sampai pingsan, lho!"

Herly menjentik pelan jemari saya, "Aku bukan khawatir kamu pingsan karena takut, May. Tapi karena kamu terlalu happy bertemu arjuna secool ini..."

Nah kan, bagaimanalah saya tak selalu bahagia ada di samping dia yang begitu jenaka? 

"May,"

"Hem..."

"Trimakasih ya..."

Sebuah kecupan mendarat mulus di ubun-ubun.

"Untuk?"

"Untuk menjadi partner hidupku, sampai matiku, sampai kita kelak berpeluk erat di atas permadani cinta yang di bawahnya mengalir susu dan madu yang murni..."

"Oh, apakah itu di surga?"

"Yang jelas bukan kali Ciliwung, May."

Sebuah kecupan lembut seringkali menjadi penutup kisah-kisah tak sempurna kami sebagai dua insan manusia.

"Terimakasih, May..."

"Bukannya tadi sudah bilang terimakasih?"

"Aku mulai pikun, May..."

"Bukan pikun, itu modus."

Kecupan lembut mendarat lagi. Tak peduli rambut kami sewarna tembaga saat ini. Herly tetap jenaka. Saya selalu jatuh cinta, pada dia, pada dia, pada dia...[]




Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Kisah Cinta Bunda 3F- #Lovestrory
  

6 komentar:

  1. Balasan
    1. makasi udah mampir dan baca cerpen ini, mba inda.... ;)

      Hapus
  2. Mksh nih mba bc ini jd diingetin ikut lombanya biar terasah tulisan fiksinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal mba kania, ayo ikutan juga, masih ada waktu smp besok...

      Hapus
  3. Ijin menyimak ceritanya ya mba. :)
    Salam kenal..

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal juga, mas ardy... Alhamdulillah, nyantol juga cerita ini akhirnya...)

      Hapus

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.