Oleh: Wiwik Waluyo
Aku tak bisa berdamai dengan aroma saka (gula
merah yang berasal dari tebu) sejak berusia sembilan tahun. Saat itu, kudengar pertengkaran
Apak dan Amak perihal aku dan Uda Frans. Pertengkaran yang tak kumengerti
mengapa harus terjadi.
Seperti anak lain, hari-hariku habis untuk
belajar di sekolah, mengaji di surau dan membantu Amak di rumah. Nilai-nilai
sekolahku bagus dan mengajiku lancar. Aku jarang membangkang nasehat orangtua.
Kecuali satu hal, tak bisa kuturuti perintah Apak untuk menjauhi Uda Frans.
Aku tak mengerti kenapa Apak membenci Uda Frans.
Padahal Uda Frans yang selalu menjagaku, ia bahkan selalu menggagalkan rencana
bolos mengajiku.
"Mengajimu memang gratis, tapi kepercayaan
Amak dan Apak sangat mahal."
Uda Frans dua belas tahun saat mengatakan itu, namun
bibirnya selalu fasih meniru apa saja yang dikatakan guru-gurunya. Dan kupikir,
Apak seharusnya senang aku berteman dengan Uda Frans. Tapi itu tak pernah
terjadi.
Amak sedang mengaduk air tebu di kuali besar
ketika Apak menyoal Uda Frans. Aku mendengarnya sepulang sekolah tanpa
sepengetahuan Mak dan Apak.
"Ambo yang melahirkan Una, Ambo juga yang mendidiknya.
Ndak akan Una sampai salah langkah!"
"Tapi Una dan Frans semakin besar. Kalau
ndak dijauhkan nasibnya bisa si-"
"Apa?!" Amak memotong kalimat Apak. "Jangan
lagi bilang sial karena Allah ndak pernah menggariskan sial untuk hidup
siapapun juga. Ndak juga untuk perkawinan saparuik."
Perkawinan saparuik?
Memangnya siapa yang mau kawin? Aku dan Uda Frans memang sepupu. Tetapi kami
masih ingusan. Kenapa Amak dan Apak begitu mencemaskan kami? Otakku masih
mencerna kalimat Amak ketika sebuah jeritan menguasai indra dengarku.
Kaki Amak terpeleset ampas tebu, tubuhnya oleng
dan Apak tak berhasil menangkapnya. Tubuh Amak jatuh menimpa kuali besar berisi
gula saka yang panas menggelegak. Amak pergi untuk selama-lamanya membawa luka
bakar di separuh tubuhnya.
Apak memohon maaf padaku. Uda Frans tak
henti-henti menghiburku. Guru mengaji bilang Allah menyayangi Amak. Aku bisa
mengerti. Yang tak kumengerti, mengapa kepalaku selalu berdenyut setiap
hidungku mencium air tebu? Aku bahkan menggigil saat aroma saka mengental dalam
penciumanku.
"Kau harus maafkan Apak." Saran Uda
Frans. Entah yang keberapa kali. Padahal selalu kukatakan aku sudah maafkan
Apak. Lagipula, Amak terpeleset ampas tebu, bukan Apak sengaja membanting Amak.
"Tapi kau harus benar-benar maafkan Apak
dari dalam hati kau." Imbuh Uda Frans lagi.
Oh, bagaimanalah maaf yang datang dari dalam
hati itu? Apakah aku harus mengatakan pada Uda Frans jika Apak menginginkan
kami dipisahkan sejauh-jauhnya padahal rumah kami hanya tiga langkah saja?
Aku sungguh tak mengapa berpisah dengan Uda
Frans. Maka akhirnya kuterima ajakan Tante Niar yang berniat membawaku ke
Ibukota. Biar Apak senang. Amak juga tenang di sana.
***
Di rumah Tante Niar, hidungku menangkap bau
ganjil yang beberapa waktu sempat hilang. Aku ke dapur dan menemukan Tante Niar
sedang mengaduk santan dan gula merah dalam panci.
"Tante buat ketan sarikayo. Una pasti
suka."
"Tapi bau gula ini."
"Ini harum bukan bau, Una!" Tante
Niar meralat kata bau yang kuucapkan. Apapun kata Tante Niar, bau gula itu
senyatanya membuatku gelisah.
"Katakan pada Tante, apa yang Una pikirkan
saat mencium harum gula merah?"
Tante Niar menggenggam tanganku yang
berkeringat. Terbayang Amak di pelupukku dan seketika tubuhku menggigil.
Tante Niar memelukku. "Ikuti ucapan Tante.
Katakan 'aku sudah terbiasa dengan aroma
saka. Aroma yang harum dan manis’."
Aku mengikuti perintah Tante Niar. "Aku
sudah terbiasa dengan aroma saka. Aroma yang harum dan manis."
"Ulangi sampai sepuluh kali!"
Aku menurut. Kuulangi lirih. Perlahan tubuhku
kembali menghangat.
***
"Una harus pulang menemui Apak."
Sudah delapan belas tahun aku menetap di
Ibukota. Aku sudah selesai kuliah dan memiliki penghasilan sendiri. Setiap
bulan selalu kukirim kabar juga beberapa rupiah kepada Apak sebagai penyambung
baktiku kepadanya. Tetapi untuk kembali menemuinya seperti saran Tante Niar, apakah
itu perlu?
“Pernikahan ndak cukup Una kabarkan melalui
telepon. Tante akan temani Una pulang.”
Kupikir selama ini aku sudah berdamai dengan
masa lalu. Kupikir aku sudah benar-benar memaafkan Apak seperti perintah Uda
Frans, dahulu. Kupikir self hypnosis
yang kulakukan setiap tubuhku menggigil sudah cukup membuatku berdamai dengan
aroma saka dan Apak. Ternyata, untuk memohon restunya menjelang pernikahanku
pun aku tak ingat. Ternyata, aku masih begitu kental menyimpan kebencian itu.
'Ndak usah dekat-dekat dengan Frans. Nasibmu
bisa celaka!'
Aku mendengar suara mengerikan itu lagi.
'Jangan dekat Frans kalau kau ndak mau celaka
seperti Amak!'
Dan aroma saka tiba-tiba menyusup. Samar. Aku
merapal mantra, aku sudah memaafkan Apak
karena Apak menyayangiku.
Ya, aku harus mengerti bahwa larangan Apak
untukku tidak dekat dengan Uda Frans adalah demi kebaikanku. Yang aku belum
mengerti, kenapa Apak menghubungkan kecelakaan Amak dengan Uda Frans?
Mengingat saat-saat Amak terpeleset dan menimpa
kuali itu membuat penciumanku dialiri aroma saka. Anyir. Dan anyir itu menguat
ketika akhirnya kuturuti ajakan Tante Niar untuk pulang menemui Apak. Aku
menggigil ketika Apak menyambutku.
"Una sudah akan menikah, Apak harus katakan
yang sebenarnya agar Una mengerti. Maafkan Apak dahulu selalu larang Una main
dengan Frans. Kalian sepupu. Di Nagari kita ndak boleh menikah sepupu. Wali Nagari
akan memberi sanksi."
"Kami hanya main!" Aku meluruskan
kalimat Apak. Tante Niar mengelus punggung tanganku.
"Amak kau dulu juga mulanya cuma main
bersama. Mungkin awalnya mereka juga tak pernah terpikir untuk menikah. Itulah
perasaan. Bila terus dibiarkan tumbuh, kian hari menjadi subur. Tapi sampai
kapanpun, ndak ada tempat untuk perkawinan saparuik
di Nagari kita. Mak kau harus lari sampai ke tanah yang jauh agar bisa hidup
dengan orang yang dipilihnya."
Aku mendongakkan wajah. Ini kisah apa? Kenapa
Amak tak pernah menceritakannya padaku?
Apak membalikkan sebuah potret tua yang
terbalik di atas meja di hadapan Apak.
"Yamin namanya. Saudara sepupu yang
dicintai Amak kau. Sayangnya, umur Yamin pendek. Di tempat yang jauh itu ia
meninggal karena kecelakaan kerja. Amak kau akhirnya pulang. Lalu Anduang
(nenek) menjodohkan kami."
Aku terdiam. Jadi inikah alasan Apak melarangku
berteman dengan Uda Frans?
"Apak salah karena ndak bisa menasehati
Una dengan cara yang baik. Maafkan Apak."
Aku terdiam.
"Satu lagi, Apak memang bukan Apakmu yang sebenarnya,
bukan Apak yang bisa menjadi wali pernikahanmu. Tapi Apak menyayangimu."
Kutegakkan telinga. Apa maksudnya Apak bukan
Apakku?
Tante Niar mengambil lembar potret itu dari
meja dan diberikan kepadaku. "Uda Yamin dalam foto ini, dialah Apak Una
yang sebenarnya."
Waktu seolah dirantai. Kepalaku kosong. Perasaanku
melompong. Hanya ada hening dalam semesta yang geming. Perlahan, aroma saka
meliuk samar. Bukan aroma yang anyir kali ini. Tetapi aroma saka yang
sebenarnya, yang manis dan harum.[]
***
Cerpen ini tersiar di Haluan Padang bulan September lupa tanggal berapa. Ditulis tiga tahun lalu karena nggak sengaja baca tentang saka sewaktu riset tentang mmm apa yah, pokoknya riset tentang cerpen lain yang cerpen itu belum kunjung menemukan jodohnya :D
Tiga tahun lalu naskah ini terbaca sangat mengesankan, tetapi dibaca lagi saat ini, tingkat mengesankannya sudah jauh berkurang. Banyak hal, salah satunya mungkin umur yang terus bertambah. Allah kariiim, apa hubungan cerpen sama umur coba?
Oke baiklah, yang mau coba kirim ke Haluan bisa cari emailnya di grup Sastra Minggu. Antrinya nggak sampai setahun, dan saya nggak tahu berapa honornya. Sejujurnya, saya nggak pernah nagih honor dari awal mula cerpen tembus Minggu Pagi Yogyakarta, Riau Pos, Radar Surabaya, bahkan sekelas majalah Paras. Tapi, khusus Paras sempet saya tanya sih sekali, namun, tak ada jawaban hingga ia kolaps tak lama kemudian.
Allah maha kaya. Semoga tak kapok menulis cerpen, ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.