Laman

Minggu, 24 Desember 2017

Memangnya, Gigi Ompong Itu Aib?

Bu, apakah di sana ada musim hujan? Hujan yang meluapkan sungai-sungai rindu di bawah istana-istana cinta?

Duh, pertanyaan pembuka macam apa itu?

Di bumi, Desember ini sungguh sangat basah dan aku diserang flu. Kabar baiknya, kemarin saat ke sekolah dua cucumu untuk mengambil raport, semua nilai mereka bagus. Cucu sulungmu seperti biasa, rangking satu. Yang kedua, yang selalu soktoy soal pelajaran padahal dia salah mengerjakan, dia rangking lima.


Surprise, bukan? Padahal yang nomor dua itu, saat TK dulu dan aku pusing memikirkan sekolah yang pas buat dia yang tak bisa diam, yang kutakut, guru-gurunya angkat tangan tak sanggup mengurusnya di sekolah.

Jangankan berharap dia bakal rangking, dia bisa betah di sekolah yang hampir seharian, itu sudah anugerah. Sampai gurunya terheran-heran dengan ceritaku soal cucumu. Mereka bilang, cucumu sangat sopan, tertib, manis, patuh di sekolah.

Oh, betapa leganya mendengar gurunya mengakatan itu. Tapi, satu kelegaan yang jauh lebih dahsyat  sudah cucumu berikan hari sebelumnya. Saat mereka memintaku untuk datang ke sekolah dan aku memberi alternative agar ayahnya saja yang datang.

“Nggak mau, Kakak maunya mama,” kata cucu sulungmu. Aku bilang bagaimana mungkin aku ke sekolahnya dengan gigi patah yang membuat ompong. Dia tetap ngeyel. Mengatakan tak masalah, mengatakan dia tak malu, dan pada akhirnya ketika aku tetap menampik, dia menodongku dengan pertanyaan yang cerdas, “Memangnya gigi ompong itu aib, ya?”

Oh, Bu, bagaimanalah aku harus menjawab pertanyaan itu? Aku benar-benar tak bisa berkelit. Seperti orang yang kalah perang aku pasrah mengangguk, “Yes, I’m yours.”

Si nomor dua ikut-ikutan menodong, “Abang mau mama juga ke sekolah ambil raport.”

Seperti pada kakaknya, kukeluarkan alasan ompong. Tapi dia juga keras kepala, sama seperti… kita.

“Abang nggak malu mama ompong gini?”

Bukannya putar arah, dia malah menyerbu memelukku. “Please ya, Ma. Mama datang ya. Abang maunya mama.”

Oh, Bu. Apa ada sih kebahagiaan seorang Ibu yang melebihi dari bahagianya digondeli anak? Bahwa mereka tak malu dengan kekurangan fisik ibunya, bahwa sayang mereka tak berkurang karena kecantikan ibunya turun 45% tersebab gigi.

Kupikir, kasih sayang mereka serupa sayangku untukmu. Walau aku hanya ingat Ibu yang mencubit pahaku dan menjewer kupingku (semua ibu zaman dulu melakukan itu, kan?) karena aku pura-pura lupa menyapu teras, buatku, sayangku untuk Ibu tak pernah berkurang.

Udah dulu, ya, Bu. Aku dan cucu-cucumu mau jalan ke kampung, mungkin menginap semalam. 

Apa? Ibu nitip salam buat Bapak?

Nggak mau, bilang sendiri, dong. Kan gampang, tinggal masuk saja ke dalam mimpinya, katakan rindu begitu. Malu? Ah, dulu lompat jendela kabur sama bapak nonton layar tancap tak malu. Kenapa sekarang malu?

Ampun, sebelum aku kurang ajar menggoda Ibu, aku pamit ya. Doa-doa terbaik untukmu.


Cium…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.