Laman

Jumat, 04 Oktober 2019

Cermin


Suatu ketika dia berdiri di depan cermin besar.  Jemarinya menyela-nyela rambut.  Matanya awas.  Rambut yang disela itu,  ternyata sudah berubah warna sebagian. 

Dia gembira.  

"Hei,  kau menjadi tua dan gembira?" Suara entah dari mana terdengar. 

Dia tak peduli.  Bahagia itu anomali.  Ketika banyak kaumnya berlomba-lomba mempertahankan kemudaan,  dia tak pernah kenal perihal anti aging.  Dan melihat uban yang menyembul di antara selaan jemarinya,  dia begitu gembira. 

Dia paham mati tak butuh tua.  Seperti kau yang datang tak butuh diundang. Kendati demikian,  dia tetap gembira menatapi helai-helai rambutnya yang berubah warna. Jika nanti sampai takdir pada putih rata,  itu adalah waktu yang dia harapkan dapat berjumpa denganmu.  

"Sebentar-sebentar,  kenapa harus menunggu tua untuk berjumpa dengannya?" Suara entah darimana itu kembali bising. 

Dia masih terus menatap cermin sembari menjawab lirih, "Karena saat itu,  aku dan dia sudah tak memiliki banyak nafsu. Kami akan bercerita tentang banyak hal yang tak bisa kami ceritakan ketika muda. Menertawakan kebodohan-kebodohan kami, kekonyolan-kekonyolan kami, keliaran jiwa muda kami."

"Kau mengenang masa depan?" 

Dia berbalik dari cermin dan menguncir rambutnya,  "Tidak juga.  Hanya harapan kecil.  Jikapun tak sampai umur ke sana,  aku lebih senang dengan kenyataan perjumpaan kami kelak di jannah." 

Helaian rambut yang memutih,  kematian, surga. Itu hal yang ditunggu-tunggu.  
Juga kamu. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.