Laman

Sabtu, 20 Januari 2018

Hujan Bulan Januari yang Ditabahkan Hujan Bulan Juni

foto dari google
"Apakah pekaranganmu tak basah barang sejengkal oleh hujan kemarin?" Nisa menatap dalam-dalam mata Rizal. Ia baru menyadari bahwa bola mata orang yang di hadapannya itu agak kecokelatan.

"Apa kau gila Nisa, bukan hanya pekaranganku yang basah,---" Rizal tercekat. Ia ragu, apa perlu diucapkan hal yang dirasakannya.

"Kau tahu aku sudah berada di luar rumah sejak langit bahkan belum memanggil awan mendung. Aku tetap melakukan kesenanganku di sana seperti biasa. Sampai tak kusadari titik-titik gerimis telah turun.


“Kau tahu, ibuku memanggilku dari dalam rumah saat gerimis itu. ‘Nak, masuk sini, nanti kau sakit.’ Tapi apa kujawab pada ibuku,  ‘sebentar, Buuu...’. lalu kulihat ibu di ujung ekor mataku, dia tersenyum.

“Aku masih ingin bermain di luar, Bu, bisik hatiku lirih. Baru sejenak kubisikan jawaban kecil di sudut hatiku, dengan cepat gerimis tadi berubah jadi rinai-rinai hujan berpelangi. Ah, senangnya. Sudah lama aku menanti hujan senada ini. Aku bahkan menari-nari dibawah lengkungan pelangi.

“Kemudian ibuku memanggil lagi. Kujawab lagi, sebentar Buuu..., sambil kulirik ibuku dari sudut mataku, tak ada senyum di bibirnya. Bu, aku masih senang bermain dengan bulir air yang berterbangan ini. Bisik lirih hatiku. Tapi kau tahu Nisa, sampai kemudian hujan itu sendiri yang berbicara padaku. ‘Jika sekolahmu sudah sampai pada pelajaran ---Jangan mandi hujan terlalu lama. Nanti kau sakit.----- Maka beri tau aku.’

“Jangan tertawakan aku Nisa. Jangan kau tanya bagaimana hujan bisa berbicara denganku. Akupun tak tau mengapa aku bisa memahami bahasanya."
"Lalu apa yang kau lakukan Rizal?"

"Aku.., walau aku masih ingin merasakan percikan air hujan itu, aku memilih untuk masuk kerumah ibuku. Kau lupa Nisa, akupun menarik tanganmu dari hujan itu. Aku ajak kau masuk bersama kerumah ibuku. Yang juga ibumu. Ibu kita, adikku. Kau tahu, bukan aku yang takut sakit karena hujan itu. Tapi aku lebih takut kau yang sakit."

^^^
Cerita di atas adalah karya seorang sahabat. Dikirim kepada saya menjelang Subuh. Lamat-lamat saya membacanya untuk kemudian merenung. Sebagai seorang yang mengetahui alasan mengapa si pengarang  mengarang kisah ini, saya segera menyadari bahwa ini adalah sejenis karya sastra simbolik yang luar biasa membiakkan bibit-bibit kesedihan.

Saya terkagum-kagum bagaimana pengarang menuangkan pengalaman batinnya dengan simbol-simbol. Dengan pekarangan, hujan, juga dengan ibu. Hingga tiba-tiba tanpa saya sadari, kepedihan ikut meriyap di setiap pori-pori hati saya.

Saya mengirimkan kisah ini kepada teman yang lain dan meminta pendapatnya.

“Aku nggak paham ini maksudnya apa, tapi ini sedih banget. Aku sedih sekali membacanya.”

Ya, karangan di atas, apabila dimaknai secara ‘telanjang’ pun sudah cukup menunaskan kesedihan. Apalagi saya yang mengerti latar belakang dari terciptanya karangan ini, tak bisa tidak segera ikut mengentalkan duka di relung jiwa.

^^^

Untuk menebas tunas-tunas kepedihan itu, saya teringat sebuah puisi bertema hujan yang sangat populer. Hujan Bulan Juni karya Pak Sapardi. Maka saya menguliknya dan melesakkannya ke tanah penyemaian. Agar tumbuh pohon-pohon tabah pada jiwa-jiwa yang dirundung duka.

"Hujan di bulan Juni"
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.