![]() |
| foto dari google |
"Apa kau gila Nisa, bukan
hanya pekaranganku yang basah,---" Rizal tercekat. Ia ragu, apa perlu
diucapkan hal yang dirasakannya.
"Kau tahu aku sudah berada di
luar rumah sejak langit bahkan belum memanggil awan mendung. Aku tetap
melakukan kesenanganku di sana seperti biasa. Sampai tak kusadari titik-titik
gerimis telah turun.
“Kau tahu, ibuku memanggilku dari
dalam rumah saat gerimis itu. ‘Nak, masuk sini, nanti kau sakit.’ Tapi
apa kujawab pada ibuku, ‘sebentar,
Buuu...’. lalu kulihat ibu di ujung ekor mataku, dia tersenyum.
“Aku masih ingin bermain di luar,
Bu, bisik hatiku lirih. Baru sejenak kubisikan jawaban kecil di sudut hatiku,
dengan cepat gerimis tadi berubah jadi rinai-rinai hujan berpelangi. Ah,
senangnya. Sudah lama aku menanti hujan senada ini. Aku bahkan menari-nari
dibawah lengkungan pelangi.
“Kemudian ibuku memanggil lagi.
Kujawab lagi, sebentar Buuu..., sambil kulirik ibuku dari sudut
mataku, tak ada senyum di bibirnya. Bu, aku masih senang bermain dengan bulir
air yang berterbangan ini. Bisik lirih hatiku. Tapi kau tahu Nisa, sampai
kemudian hujan itu sendiri yang berbicara padaku. ‘Jika sekolahmu sudah
sampai pada pelajaran ---Jangan mandi hujan terlalu lama. Nanti kau sakit.-----
Maka beri tau aku.’
“Jangan tertawakan aku Nisa. Jangan
kau tanya bagaimana hujan bisa berbicara denganku. Akupun tak tau mengapa aku
bisa memahami bahasanya."
"Lalu apa yang kau lakukan
Rizal?"
"Aku.., walau aku masih ingin
merasakan percikan air hujan itu, aku memilih untuk masuk kerumah ibuku. Kau
lupa Nisa, akupun menarik tanganmu dari hujan itu. Aku ajak kau masuk bersama kerumah
ibuku. Yang juga ibumu. Ibu kita, adikku. Kau tahu, bukan aku yang takut sakit
karena hujan itu. Tapi aku lebih takut kau yang sakit."
^^^
Cerita di atas adalah karya seorang
sahabat. Dikirim kepada saya menjelang Subuh. Lamat-lamat saya membacanya untuk
kemudian merenung. Sebagai seorang yang mengetahui alasan mengapa si
pengarang mengarang kisah ini, saya
segera menyadari bahwa ini adalah sejenis karya sastra simbolik yang luar biasa
membiakkan bibit-bibit kesedihan.
Saya terkagum-kagum bagaimana
pengarang menuangkan pengalaman batinnya dengan simbol-simbol. Dengan pekarangan,
hujan, juga dengan ibu. Hingga tiba-tiba tanpa saya sadari,
kepedihan ikut meriyap di setiap pori-pori hati saya.
Saya mengirimkan kisah ini kepada
teman yang lain dan meminta pendapatnya.
“Aku nggak paham ini maksudnya apa,
tapi ini sedih banget. Aku sedih sekali membacanya.”
Ya, karangan di atas, apabila
dimaknai secara ‘telanjang’ pun sudah cukup menunaskan kesedihan. Apalagi saya
yang mengerti latar belakang dari terciptanya karangan ini, tak bisa tidak
segera ikut mengentalkan duka di relung jiwa.
^^^
Untuk menebas tunas-tunas
kepedihan itu, saya teringat sebuah puisi bertema hujan yang sangat populer.
Hujan Bulan Juni karya Pak Sapardi. Maka saya menguliknya dan melesakkannya ke
tanah penyemaian. Agar tumbuh pohon-pohon tabah pada jiwa-jiwa yang dirundung duka.
"Hujan di bulan Juni"
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon
bunga itu

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.