Ketika di sini kau mendengus karena beberapa typo pada tulisan
yang kau baca,
di sana,
dia sedang menatap lembut pada rembulan yang pucat terhalang
hujan dan berkata;
“Kau tahu, Rembulan, aku sengaja meninggalkan typo-typo itu
agar dia menemukannya dan menjadi kesal karenanya.”
^^^
“Typo-mu banyak sekali.”
“O, mengganggu, ya?”
“Ya iyalah, sakit mataku.”
Dia terkekeh. Sakit mata itu kan
umpatan yang dia pakai setiap kali membaca buku yang banyak typo. Kau sudah
tertular bahkan sampai dengan frasa apa yang sering dia gunakan ternyata.
“Maaf, aku memang sengaja.” Dia mengatakan
itu dengan santai. Dan kau semakin jengkel. Eh, jengkel atau senang?
“Setiap malam aku menulis, sudah
bab lima sekarang. Aku tak sabar apakah ini sesuai dengan konsep yang kita
sepakati tempo hari?”
“Apa kau ingin aku segera
membacanya?”
Kau diam sejenak. Sejujurnya, kau ingin dia membaca naskahmu,
tapi kau tahu, dia sedang sangat sibuk sekarang. Paling tidak, bergaya sok
sibuk. Dan kau tak ingin membebani pencitraan sibuknya dengan naskahmu.
“Halo, Sir. Still alive?”
dia menggebyahmu dari seberang.
Kau tergeragap, “Eh, biar
kuselesaikan dulu semuanya, deh.”
“Yakin?”
“25 persen.”
“Bagaimana mungkin seorang
pemimpin pasukan keamanan menyatakan keyakinan yang hanya dualima persen? Kau bisa melunturkan daya juang anak
buahmu.”
“Heh, aku sedang berbicara
tentang naskah, bukan tentang pasukan keamanan.”
“Tapi itu berkaitan.”
“Jadi maksudmu?”
“Kirimkan saja bila memang kau
ingin aku membacanya.”
“Really?”
Dia tertawa kecil. Kau suka dengan
jenis tawanya. Tawa semacam apapun, asal dia tertawa, kau akan senang.
“Everything gonna be ok and
trust me, Sir, your manuscript never driving me crazy.”
“Ups,” kau takjub mendengarnya
dan sergap menjawab, “Ok.”
Di langit, rembulan pucat yang
terhalang hujan memandang syahdu dua lakon anak manusia. Bergeraklah, tersenyumlah, walau
hanya karena perkara typo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.