Ini adalah kisah lucu yang saya tulis untuk rubrik gado-gado Femina. Karena belum berjodoh, maka saya posting di blog untuk dibaca saat senggang.
D A
S T E R
Oleh:
Wiwik Waluyo
Foto pinjam dari google
Saya
punya tetangga baru. Beliau mengenalkan
diri sebagai Ibu Tedja. Ibu Tedja ini walau sudah paruh baya tetapi
penampilannya tetap modis. Apalagi kalau mendampingi suaminya pada acara-acara
kantor. Mengingat suaminya adalah seorang Kepala Cabang sebuah Bank yang ada di
kota kami.
Selain
modis, Ibu Tedja juga baik hati dan ramah. Senyumnya selalu terkembang saat
pagi hari menyapa saya. Namun entah mengapa keramahannya menguap pagi itu. Ia
sedang menyiram tanaman dan hanya menjawab sekilas saja ketika saya sapa.
"Aku
tuh lagi sebel banget sama orang kantornya Pak Tedja," lapornya sore hari
kepada saya. "Kemarin itu kan
ada orang kantor datang ke rumah. Lha, Pak Tedja masih di kamar mandi. Jadi tamunya
kusuguhin minum. Eh, masa dia nanya, 'Ibu
Tedjanya nggak di rumah, ya?' Lha, dipikir aku ini siapanya Pak Tedja?
Pembantunya?"
Huft. Saya menahan tawa.
"Ya
mungkin orang kantor belum hafal wajahnya Ibu, kan baru..." Saya coba
menghibur sambil terus menahan tawa. Takut Ibu Tedja tesinggung.
"Ibu
juga kan kalau ke kantornya Pak Tedja
dandan rapi dan wangi. Sedangkan di rumah polosan, jadi pangling deh orang kantor," ujar saya lagi. Berharap beliau
maklum dengan kekeliruan anak buah suaminya.
"Pasti
karena aku pake daster makanya dikira pembantu!" Simpulnya yakin.
"Nah kamu, kalau di rumah jangan dasteran terus, nanti dikira pembantu
juga!" Pesannya sebelum meninggalkan saya.
Saya
mengiyakan dengan anggukan. Walau tak yakin apakah saya bisa mengurangi
frekuensi memakai daster. Lha, daster itu sudah jadi 'pakaian dinas' saya
sehari-harinya yang hanya IRT saja. Apalagi suami saya juga bukan orang
kantoran. Jadi tak mungkinlah saya sebal dengan orang yang akan mengira saya
pembantu.
Namun
saya keliru. Setelah beberapa pekan melupakan kejadian daster Ibu Tedja, saya
justru terperangah dengan apa yang menimpa saya sendiri.
Jadi
ceritanya, sore saat duduk di depan rumah sambil menunggu dua balita saya
bermain di luar. Datanglah seorang pria tinggi, putih, keren dan tampan.
Dilihat sekilas miriplah dengan aktor Ari Wibowo yang ngetop tahun 90-an. Pria
tampan ini terlihat bersemangat memasuki halaman rumah saya. Lantas ia
tersenyum dan menyapa ramah, "Sore… Ibunya, ada?"
Ibu?
Wah,
apakah wajah saya terlihat terlalu muda dengan dua balita yang seketika
mengelendot pada saya ketika melihat ada orang asing datang? Atau? Oh,
kesadaran saya lekas muncul begitu mata saya menangkap motif batik dari pakaian
saya. Apakah karena daster ini? Lalu apakah dia mengira saya pembantu?
Huft.
Sekejab
saya merasakan jengkel. Ingin sekali membalas pertanyaan pria tampan itu dengan
berlaga bodoh, ‘Oh, ibunya sedang ke Luar
Negeri.’
Namun
saya buru-buru menepis niat jail itu. Dengan senyum yang coba saya ukir
setulus-tulusnya, akhirnya saya jawab dengan tegas, "saya ibu di rumah
ini. Masnya ada keperluan apa, ya?"
Dan,
Pria keren tampan itu langsung tersipu malu. Dengan agak sungkan ia mulai
menjajakan dagangannya. Walau setelah kejadian itu saya berjanji akan
mengurangi frekuensi memakai daster, namun saat itu saya puas. Rasanya senang
sudah membuat pria keren si penjual susu dan yogurt menjadi kikuk karena sudah
salah menyangka.
Memangnya,
sejak kapan daster hanya boleh dipakai pembantu? []
Uni nyaris gak pernah pake daster. Hahaja. Pakaian kebesaran uni di rumah adalah t shirt dan celana panjang batik atau celana legging. Hehehe....
BalasHapusTp tetep aja sekali dua.. ada org yg datang dan baru ketemu suka bersikap menyepelekan. Nada sepelenya akan menguap kalau uni udah mengeluarkan karakter dosen killer uni. Wkwkwkwk
Uni nyaris gak pernah pake daster. Hahaja. Pakaian kebesaran uni di rumah adalah t shirt dan celana panjang batik atau celana legging. Hehehe....
BalasHapusTp tetep aja sekali dua.. ada org yg datang dan baru ketemu suka bersikap menyepelekan. Nada sepelenya akan menguap kalau uni udah mengeluarkan karakter dosen killer uni. Wkwkwkwk