3. Nyanyian Rindu
Baba dan Cik Hafsah mengantarku ke
dermaga. Baba bahkan menyusun sendiri barang-barang sembako ke dalam pompong.
Maklum, Durai itu hanya pulau kosong, jika ada kesempatan datang ke sana, Baba
dan Cik Hafsah selalu banyak membawa sembako untuk persediaan ayah dan maknya.
Baba memandang ke langit yang cerah.
Angin hanya sepoi dan laut sedang teduh. Pak Ngah segera menghidupkan mesin
pompong. Baba mencium puncak kepalaku dan Cik Hafsah memelukku. Seperti akan
berpisah lama saja. Aku melepaskan diri dari keduanya dan segera melompat ke
pompong.
“Salam buat Hazri,” seperti mengerti, Cik
Hafsah memilih nama adiknya untuk dia sebut, bukan mak atau ayahnya. Aku
mengangguk dan melambaikan tangan seiring pompong yang mulai dijalankan Pak
Ngah. Aku meninggalkan keriuhan dermaga, rumah-rumah panggung yang bertengger
di atas air dan bantal kapuk yang ditawarkan Cik Hafsah untuk kubawa serta.
Aku duduk tak jauh dari tempat Pak Ngah
menjalankan kemudi. Kami mengobrol apa saja untuk membunuh jenuh. Mula-mula,
Pak Ngah bercerita bagaimana ia bisa sampai di Tarempa.
Pak Ngah datang dari Sulawesi. Dulu saat
remaja, ia ikut saudara-saudaranya yang berlayar dengan Phinisi. Dari Sulawesi
menuju Tanjung Pinang untuk merantau. Sayang, belum sampai Tanjung Pinang,
kapalnya karam di Kepulauan Tujuh.
“Dah hampir habis bekal waktu itu,
akhirnya Pak Ngah ikut kapal nelayan yang datang mendekat. Mereka cakap di
Tarempa bisa cari hidup. Tinggallah Pak Ngah di Tarempa, beranak pinak pula
sampe sekarang.”
Aku menanggapi cerita Pak Ngah sambil
hatiku sibuk berdoa. Semoga pompong ini selamat sampai ke Durai. Kubuang
pikiran buruk jauh-jauh. Langit masih cerah dan angin tak terlalu kencang. Aku
memikirkan bagaimana rupa Hazri setelah dua tahun tak bertemu hingga tak sadar
jatuh tertidur dan terbangun oleh hantaman keras ombak yang membuat pompong
nyaris oleng.
Aku berpegangan kayu dinding pompong.
Ombak mulai tinggi dan angin menderu. Alam seolah-olah bersekongkol akan
melumat pompong kami beserta sekelumit kisah cintaku yang tak bermasa depan. Oh
Tuhan, aku menyebut nama-Nya dan berulang-ulang minta ampun dalam hati.
Pak Ngah terus berjuang menaklukkan
bergulung-gulung ombak. Bajunya telah sempurna basah dan wajahnya yang liat
menengadah ke langit. Aku merasa bersalah telah melibatkan Pak Ngah yang sudah
tua ke dalam secuil urusan rinduku. Lihatlah, bahkan rindu itu tak berarti
apapun bila dihadapkan dengan kerasnya alam yang menolak kedatanganku ke sana.
“Jangan takut, Nana. Kita pasti sampai.”
Kalimat Pak Ngah itu, sepertinya lebih
ditujukan kepada dirinya sendiri. Terus menerus ombak menerjang, menghantam
pompong, dan Pak Ngah berusaha mengendalikan pompong untuk terus mengikuti irama
alam, tunduk, dan pasrah.
Di kejauhan, kulihat segulung ombak
tinggi dan kekar. Aku memejamkan mata, berdoa, dan ketika Pak Ngah berhasil
menaklukkannya, wajahku telah sempurna basah.
***
“Sekarang musim angin Utara dan kau bisa
sampai ke mari? Kau pasti memaksa Baba, kan?”
Hazri meletakkan satu cangkir cokelat
panas ke atas bale papan, persis di samping tubuhku yang duduk menciut, menahan
takut yang belum sempurna hilang diterjang ganasnya gelombang Laut Tiongkok
Selatan tadi.
“Ada nelayan yang tukar kelapa dengan
cokelat?” tanyaku berusaha mengalihkan
pertanyaan Hazri. Penduduk Durai yang hanya tiga kepala ini biasanya mendapat
barteran barang dari nelayan-nelayan Negara tetangga yang singgah ke sana. Awak
kapal itu biasanya menumpang istirahat dan minta kelapa juga telur penyu.
Sebagai gantinya, mereka akan memberi barang perbekalan yang mereka bawa. Entah
minyak, entah gula, yang lebih sering adalah menukar dengan ikan hasil
tangkapan.
“Kutemukan bubuk cokelat di antara gula
dan kopi yang kau bawa. Cik Hafsah tak pernah kirim cokelat untuk kami.
Kupikir, itu pasti untukmu,” simpul Hazri sembari matanya tak beralih dari
menatapku. Biji matanya yang seperti dua bulan purnama itu sangat cerlang walau
petang telah beranjak malam dan hanya ada seiris bulan yang menerangi kami.
Dulu aku senang bertatapan lama dengan
Hazri, tapi sekarang aku tak tahan.
“Hei, kau melamun?”
Aku tergeragap, “Aku tak sabar nak
tengok penyu mendarat.” Aku berusaha bangkit. tapi Hazri menahan lenganku.
“Duduk dulu, hargai tuan rumah yang sudah
buatkan kau cokelat panas.”
Aku tersenyum miring, “Hanya perlu
menjerang air.”
“Eh, kau lupa aku harus menimba airnya
terlebih dahulu.”
“Bohong, kau tinggal ambil di ember. Mak
pasti sudah timba banyak air tadi sore.”
Hazri mendesah, “Yelah, selain
urusan lepas tukik ke laut, kau pasti selalu menang dariku.”
Dia tertawa lepas. Aku tertawa getir.
“Taklah.”
“Ya.”
“Tidak, Pakcik!”
Hazri mengulang, “Pak-cik?”
Kugigit ujung bibirku sampai kelu dan
kutahan panas mataku. “Seharusnya aku sudah memanggilmu Pakcik sejak Cik Hafsah
menikah dengan Baba, kan?”
Kurasakan pegangan tangan Hazri mengendur
di lenganku untuk kemudian terlepas secara perlahan. Dia menatapku dengan
tatapan bulan purnama yang tertimpa kabut asap. Tapi, tak ada kiriman kabut asap
tahun ini, baik dari Kalimantan maupun dari Riau. Jadi, kenapa tatapannya
menjadi kelabu?
Dalam kebisuan kami, Mak si Hazri datang
dari dalam dan mengajak kami makan malam. Lekas kuikuti langkah Mak dan
meninggalkan Hazri yang masih termangu.
***
Hanya ada ikan karang yang dibakar,
sambal kecap dan nasi hangat dalam periuk. Tapi makanku sampai nambah dua kali.
Hazri tampak senang melihat lahap makanku. Aku berusaha tak terpancing
perhatiannya yang menuangkan air minum dan mengambilkan air cuci tangan. Walau
sungguh ingin mengatakan tak usah mengurusku macam putri raja, senyatanya
bibirku hanya diam dan terus fokus kepada obrolan Mak dan Ayah.
Mak beranjak dan menyiapkan tilam tempat
tidurku tepat pukul delapan. Melihat itu Hazri berkomentar jail.
“Dia datang ke sini buat jaga penyu
bertelor bukan buat tidur, Mak.”
Mak tegas berseru, “Awas kalau sampai kau
ajak Nana begadang, Hazri!”
Aku membeliakkan mata kepada Hazri
sebagai pertanda dia kalah. Kuturuti kata hatiku untuk masuk ke bilik dan rebah
ke tilam yang disiapkan Mak. Alih-alih tidur, tanganku justru berkeliaran
mencari biji kapuk dan pikiranku tidak bisa tertib.
“Kalaupun Cik Hafsah memberikan seluruh
tabungannya untuk ongkos kuliahku, aku akan menolak. Paling tidak untuk saat
ini.”
Terngiang kalimat tegas Hazri saat kami
duduk di kelas dua belas. Saat itu kubagi cerita kalau aku berniat kuliah ke Jakarta.
Besar harapanku, dia ikut serta bersamaku. Ternyata dia punya pemikirannya
sendiri.
“Kau tahu impianku ada di Durai, Nana.
Semakin cepat aku balek ke Durai semakin lekas impian itu terwujud.”
Aku tak bisa berkomentar bila Hazri sudah
mengatakan soal impiannya. Sejak aku ikut ke Durai untuk kali pertama dan
melihat kebahagiannya yang nyata saat melepas tukik, aku mengerti dia menyimpan
sesuatu dalam tiap berkas cahaya matanya. Hazri sangat mencintai penyu dan
menyayangi tukik.
Sejak kecil Hazri mengamati penyu yang
setiap malam mendarat di Durai. Dia selalu mencatat jumlah penyu yang bertelur.
Saat kelas sebelas, dia membuatku terpukau dengan hasil risetnya.
“Dua puluh tahun lalu awal ayahku jaga
Durai, ada sekitar enam puluh ekor penyu yang mendarat saat musim bertelur.
Sebelum aku SD, jumlah itu jauh berkurang jadi dua puluh ekor saja. Dan
sekarang sudah tinggal separuhnya. Aku sedih bayangkan dalam tempo tak lama
lagi, Durai cuma jadi kenangan pernah disinggahi penyu bertelur.”
Bayangkan, kami baru kelas sebelas dan pikiranku
masih melulu tentang parabola yang terjungkal sementara Hazri sudah begitu
fasih membahas populasi penyu. Dan belum berhenti sampai di situ, dia semakin
menawan hatiku dengan tekad dan usaha nyata untuk melestarikan hewan purba itu.
“Aku nak bikin penangkaran penyu
dan tetaskan dua puluh lima persen telurnya, setiap hari. Tapi itu masih tunggu
aku lulus dulu dan cepat balek ke Durai. Sementara ini, aku nak bikin
kampanye stop beli dan makan telur penyu.”
Wow, ide Hazri itu luar biasa membuatku
menganga. Bagaimana mungkin ia yang masih mengenakan seragam putih abu-abu hendak
melakukan penyadaran terhadap masyarakat untuk tidak beli dan makan telur
penyu. Sementara di dekat rumahku, persisnya di depan pasar ikan, terbentang
spanduk besar bertuliskan “DILARANG JUAL BELI TELUR PENYU” tapi itu tak pernah
sedikitpun dilirik orang-orang. Malah, di bawah spanduk itu berjejer
orang-orang jual telur penyu dan mengantri pula pembelinya.
Di Tarempa, semua orang membeli dan makan
telur penyu. Kalau ada orang yang tidak melakukan itu, itu adalah Cik Hafsah.
Cik Hafsah memang layak dapat penghargaan karena hanya dialah satu-satunya
pengelola kedai yang tak menyediakan telur penyu di kedainya.
Aku tidak khawatir bagaimana Hazri akan
melancarkan kampanye. Yang menjadi pikiranku saat itu, Hazri akan berhadapan
dengan Raja Bachrum si pemilik Pulau Durai sekaligus saudagar paling kaya di
Tarempa dan satu-satunya pemilik kendaraan roda empat saat aku kecil. Raja
Bachrum itu punya bisnis dari hulu ke hilir. Dari keramba ikan Napoleon sampai
koperasi pasar, dari kafe sampai penginapan, dari kelapa sampai penyu dan
segala apa yang tersimpan di Pulau Durai.
Selama puluhan tahun, Durai dan segala
isinya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan komersial oleh Raja
Bachrum. Jika ayah Hazri menetaskan telur penyu, itu hanya beberapa saja dan
tak mengganggu pendapatan Raja Bachrum. Namun bila Hazri berniat menetaskan dua
puluh lima persen setiap harinya, itu angka yang tidak main-main dan kupikir
bisa menumbuhkan keringat sebesar biji merica di kepala Raja Bachrum yang botak
karena cemas pemasukannya bakal menyusut.
“Aku akan minta izin Raja Bachrum
terlebih dahulu. Semestinya beliau tidak keberatan karena ini demi kelangsungan
penyu-penyu yang mendarat di pulaunya juga.”
Begitu yakin Hazri mengucapkan itu dan
membuatku semakin jatuh cinta kepadanya. Dia yang pendiam dan diam-diam
memiliki ide besar dan telah dengan sukses menyuburkan cinta yang pendiam di
hatiku. Sungguh tiada hal bisa kulakukan kecuali mendukungnya.
Kulobi Baba untuk mau memberi diskon saat
Hazri mulai mencetak brosur berisi kampanye penyelamatan penyu. Entah apakah
karena saat itu Baba sudah tak tahan untuk menyunting Cik Hafsah, Baba yang
sebelumnya kukenal perhitungan malah demikian dermawan menggratiskan seluruh
ongkos cetak brosur. Bahkan, apapun yang akan dilakukan Hazri dan itu
membutuhkan jasa percetakan, Baba membuka pintu usahanya dua puluh empat jam,
tak kenal hari libur. Aku gembira pada satu sisi, tapi merasa entahlah pada
satu sisi lainnya.
Aku mendesah dan tersenyum bersamaan saat
mengingat episode itu. Saat merasakan sensasi warna yang muncul tumpang tindih
di kepala, tiba-tiba lampu padam dan semua menjadi gelap. Hazri pasti sudah
mematikan mesin genset. Selalu, bila sudah pukul sepuluh, Hazri pasti mematikan
genset dan akan menyalakan lampu minyak sebagai penerangan.
Aku beranjak bertepatan Mak masuk ke
bilik dengan lampu minyak yang ia gantung di dinding.
“Eh, belum tidurnya, Nana?”
“Nana nak tengok penyu, Mak.”
Jawabku sembari mengambil baju hangat dari dalam tas. Kuyakinkan Mak bahwa aku
tak akan bergadang. Mak tersenyum dan memberiku jalan ke luar.
***
Aku
menaikkan kerah baju hangat dan mulai melangkah menuju tepi pantai ketika sebuah
cahaya tiba-tiba disorotkan kepadaku dari arah belakang. Kubalikkan tubuh dan
kudapati sebentuk mahluk kurus itu tengah mematung sembari menyorotkan lampu
senter ke depan.
“Apa kau sudah dapat izin Baba untuk pergi
ke pantai malam begini?” tanyanya serius.
“Memangnya kau pikir, apa tujuanku datang
ke sini selain nak tengok penyu bertelur?” jawabku retoris dan kembali
melangkah. Kudengar dari belakang, Hazri menyusulku dan tergesa-gesa
mensejajari langkahku.
“Mungkin kau rindu seseorang yang ada di
pulau ini.”
Kuhentikan langkah. Beberapa saat kutatap
wajah Hazri yang hanya disinari seiris bulan tanggal tua. Segaris bekas luka di
pipinya tampak seperti bekas sayatan benda tajam. Dari kedalaman hatiku, ingin
sekali kuangkat tanganku dan mengusap lembut bekas luka itu.
Tatapanku yang sedemikian rupa membuat
Hazri salah tingkah. Dan aku jujur bertanya, “Sudah sejak awal jumpa aku ingin
tanya, kebandalan macam apa yang membuat pipimu terluka dan tinggalkan bekas
yang jelek itu?”
“Oh, jadi pertanyaanku tadi kau anggap
salah satu jenis kebandalan?”
“Anak bandal pandai menggombal. Kau
berusaha melakukan penggombalan tadi.”
“Kapan?”
“Barusan.”
“Tunjukkan yang mana?”
“Pertanyaan kau yang sebut aku rindu
dengan seorang di pulau ini? Kau pikir aku rindu dengan kau?”
Kembali kuayun langkah.
Ya Tuhan, ini dialog macam apa dan kenapa
bisa aku begitu lugas bermain-main dengan ucapan yang menyangkut perasaan.
Sekian lama menahan nyeri bila mengenang sesosok yang ada di sebelahku ini,
tapi kini aku berani-beraninya mencungkil liang kesakitan-kesakitan itu untuk
kembali merasakan kesegaran pedih perihnya.
“Kemenakan yang rindu Pakciknya, tak
masalah, kan? Atau kau?”
“Apa?”
“Ada jutaan lelaki di Ibukota sana dan
salah satunya mungkin sudah jadi kekasihmu. Kalau memang begitu, maafkan lidah
Pakcikmu ini.”
Hazri meremas-remas rambutnya dengan gaya
seorang bodoh. Aku ingin sekali mengatakan aku ini single masih available
dan karenanya dia tidak perlu merasa bodoh dengan ucapannya, atau mungkin, itu
juga ke luar dari perasaannya yang murni? Entahlah. Aku jadi takut dengan
perasaanku sendiri. Bagaimanapun, kakak si Hazri adalah istri Babaku.
Aku menggigil mengingat itu. Terpa angin
laut yang menderu membuat kelu jiwa ragaku. Dan tiap pijakan kakiku ke pasir
yang mulai basah dan dingin sekonyong-konyong menambah beku kalbu. Aku berjalan
dalam diam dan gamang hingga sebuah sentuhan kecil di pundak mengembalikan
keterjagaanku.
“Kau beruntung, Nana. Ada penyu sisik di
angka jarum jam tiga.”
Kuedar pandang ke arah yang dimaksud
Hazri. Benar, seekor penyu sedang menggali pasir dengan sepasang tungkai
belakangnya. Hazri segera mematikan senter karena penyu sangat peka terhadap
cahaya. Apabila merasa terganggu dan terancam, penyu akan mengurungkan hasrat
bertelurnya dan kembali ke laut.
Aku berlari kecil meninggalkan Hazri, tak
sabar melihat penyu yang sebentar lagi akan mengeluarkan puluhan bahkan hingga
seratus lebih telur. Aku terlalu bersemangat dan mendekat ke penyu hingga tak
sadar, bulir-bulir pasir yang diterbangkan sepasang tungkai penyu untuk membuat
lubang menghambur dan masuk ke netraku. Pedih, sakit, dan gelap.
Mataku segera berair dan aku mengerjap.
Tapi itu tak membantu. Hazri yang tiba melihat aku menggesek-gesek mata dengan
punggung tangan. Dia menarikku mundur menjauh dari penyu dan cepat menyorotkan
senter ke wajahku.
“Astaga, matamu tersiram pasir?”
Hazri membuka kelopak mataku dengan
tangannya yang terasa kasar namun hangat. Pelan ia meniup-niup namun itu masih
belum cukup membuat mataku bersih. Terlalu banyak pasir yang masuk dan air
mataku mulai banjir.
“Kita pulang dan cuci mata kau dengan air
tawar.”
Hazri mengamit lenganku dan mulai
menuntunku. Dalam sekejab, perasaanku dialiri hangat, nyaman, tenteram serta
segala yang indah-indah. Mataku yang tak
bisa sepenuhnya terbuka membuat kakiku tersaruk ranting dan pasir. Hazri
mengeratkan pegangannya dan membimbingku dengan sabar.
“Kuharap, laki-laki di Ibukota sana
mengerti apa yang kulakukan ini hanya demi alasan kemanusiaan.”
Kuberanikan untuk membalas, “Bukan karena
rindu Pakcik pada kemenakan?”
“Kau pasti tak membutuhkan itu dariku,
Nana.”
Aku menjawab lekas, “Nyatanya aku
sungguh butuh.”
huwaaaa aku harus lanjut baca ini
BalasHapusMakin menarik