Laman

Selasa, 19 September 2017

[Pemenang 1 Sayembara Cerber Femina 2016/2017] Pada Sekaleng Tancho Bag 3


3.    Nyanyian Rindu
Baba dan Cik Hafsah mengantarku ke dermaga. Baba bahkan menyusun sendiri barang-barang sembako ke dalam pompong. Maklum, Durai itu hanya pulau kosong, jika ada kesempatan datang ke sana, Baba dan Cik Hafsah selalu banyak membawa sembako untuk persediaan ayah dan maknya.
Baba memandang ke langit yang cerah. Angin hanya sepoi dan laut sedang teduh. Pak Ngah segera menghidupkan mesin pompong. Baba mencium puncak kepalaku dan Cik Hafsah memelukku. Seperti akan berpisah lama saja. Aku melepaskan diri dari keduanya dan segera melompat ke pompong.

“Salam buat Hazri,” seperti mengerti, Cik Hafsah memilih nama adiknya untuk dia sebut, bukan mak atau ayahnya. Aku mengangguk dan melambaikan tangan seiring pompong yang mulai dijalankan Pak Ngah. Aku meninggalkan keriuhan dermaga, rumah-rumah panggung yang bertengger di atas air dan bantal kapuk yang ditawarkan Cik Hafsah untuk kubawa serta.
Aku duduk tak jauh dari tempat Pak Ngah menjalankan kemudi. Kami mengobrol apa saja untuk membunuh jenuh. Mula-mula, Pak Ngah bercerita bagaimana ia bisa sampai di Tarempa.
Pak Ngah datang dari Sulawesi. Dulu saat remaja, ia ikut saudara-saudaranya yang berlayar dengan Phinisi. Dari Sulawesi menuju Tanjung Pinang untuk merantau. Sayang, belum sampai Tanjung Pinang, kapalnya karam di Kepulauan Tujuh.
Dah hampir habis bekal waktu itu, akhirnya Pak Ngah ikut kapal nelayan yang datang mendekat. Mereka cakap di Tarempa bisa cari hidup. Tinggallah Pak Ngah di Tarempa, beranak pinak pula sampe sekarang.”
Aku menanggapi cerita Pak Ngah sambil hatiku sibuk berdoa. Semoga pompong ini selamat sampai ke Durai. Kubuang pikiran buruk jauh-jauh. Langit masih cerah dan angin tak terlalu kencang. Aku memikirkan bagaimana rupa Hazri setelah dua tahun tak bertemu hingga tak sadar jatuh tertidur dan terbangun oleh hantaman keras ombak yang membuat pompong nyaris oleng.
Aku berpegangan kayu dinding pompong. Ombak mulai tinggi dan angin menderu. Alam seolah-olah bersekongkol akan melumat pompong kami beserta sekelumit kisah cintaku yang tak bermasa depan. Oh Tuhan, aku menyebut nama-Nya dan berulang-ulang minta ampun dalam hati.
Pak Ngah terus berjuang menaklukkan bergulung-gulung ombak. Bajunya telah sempurna basah dan wajahnya yang liat menengadah ke langit. Aku merasa bersalah telah melibatkan Pak Ngah yang sudah tua ke dalam secuil urusan rinduku. Lihatlah, bahkan rindu itu tak berarti apapun bila dihadapkan dengan kerasnya alam yang menolak kedatanganku ke sana.
“Jangan takut, Nana. Kita pasti sampai.”
Kalimat Pak Ngah itu, sepertinya lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. Terus menerus ombak menerjang, menghantam pompong, dan Pak Ngah berusaha mengendalikan pompong untuk terus mengikuti irama alam, tunduk, dan pasrah.
Di kejauhan, kulihat segulung ombak tinggi dan kekar. Aku memejamkan mata, berdoa, dan ketika Pak Ngah berhasil menaklukkannya, wajahku telah sempurna basah.
***
 “Sekarang musim angin Utara dan kau bisa sampai ke mari? Kau pasti memaksa Baba, kan?”
Hazri meletakkan satu cangkir cokelat panas ke atas bale papan, persis di samping tubuhku yang duduk menciut, menahan takut yang belum sempurna hilang diterjang ganasnya gelombang Laut Tiongkok Selatan tadi.
“Ada nelayan yang tukar kelapa dengan cokelat?” tanyaku  berusaha mengalihkan pertanyaan Hazri. Penduduk Durai yang hanya tiga kepala ini biasanya mendapat barteran barang dari nelayan-nelayan Negara tetangga yang singgah ke sana. Awak kapal itu biasanya menumpang istirahat dan minta kelapa juga telur penyu. Sebagai gantinya, mereka akan memberi barang perbekalan yang mereka bawa. Entah minyak, entah gula, yang lebih sering adalah menukar dengan ikan hasil tangkapan.
“Kutemukan bubuk cokelat di antara gula dan kopi yang kau bawa. Cik Hafsah tak pernah kirim cokelat untuk kami. Kupikir, itu pasti untukmu,” simpul Hazri sembari matanya tak beralih dari menatapku. Biji matanya yang seperti dua bulan purnama itu sangat cerlang walau petang telah beranjak malam dan hanya ada seiris bulan yang menerangi kami.
Dulu aku senang bertatapan lama dengan Hazri, tapi sekarang aku tak tahan.
“Hei, kau melamun?”
Aku tergeragap, “Aku tak sabar nak tengok penyu mendarat.” Aku berusaha bangkit. tapi Hazri menahan lenganku.
“Duduk dulu, hargai tuan rumah yang sudah buatkan kau cokelat panas.”
Aku tersenyum miring, “Hanya perlu menjerang air.”
“Eh, kau lupa aku harus menimba airnya terlebih dahulu.”
“Bohong, kau tinggal ambil di ember. Mak pasti sudah timba banyak air tadi sore.”
Hazri mendesah, “Yelah, selain urusan lepas tukik ke laut, kau pasti selalu menang dariku.”
Dia tertawa lepas. Aku tertawa getir.
“Taklah.”
“Ya.”
“Tidak, Pakcik!”
Hazri mengulang, “Pak-cik?”
Kugigit ujung bibirku sampai kelu dan kutahan panas mataku. “Seharusnya aku sudah memanggilmu Pakcik sejak Cik Hafsah menikah dengan Baba, kan?”
Kurasakan pegangan tangan Hazri mengendur di lenganku untuk kemudian terlepas secara perlahan. Dia menatapku dengan tatapan bulan purnama yang tertimpa kabut asap. Tapi, tak ada kiriman kabut asap tahun ini, baik dari Kalimantan maupun dari Riau. Jadi, kenapa tatapannya menjadi kelabu?
Dalam kebisuan kami, Mak si Hazri datang dari dalam dan mengajak kami makan malam. Lekas kuikuti langkah Mak dan meninggalkan Hazri yang masih termangu.  
***
Hanya ada ikan karang yang dibakar, sambal kecap dan nasi hangat dalam periuk. Tapi makanku sampai nambah dua kali. Hazri tampak senang melihat lahap makanku. Aku berusaha tak terpancing perhatiannya yang menuangkan air minum dan mengambilkan air cuci tangan. Walau sungguh ingin mengatakan tak usah mengurusku macam putri raja, senyatanya bibirku hanya diam dan terus fokus kepada obrolan Mak dan Ayah.
Mak beranjak dan menyiapkan tilam tempat tidurku tepat pukul delapan. Melihat itu Hazri berkomentar jail.
“Dia datang ke sini buat jaga penyu bertelor bukan buat tidur, Mak.”
Mak tegas berseru, “Awas kalau sampai kau ajak Nana begadang, Hazri!”
Aku membeliakkan mata kepada Hazri sebagai pertanda dia kalah. Kuturuti kata hatiku untuk masuk ke bilik dan rebah ke tilam yang disiapkan Mak. Alih-alih tidur, tanganku justru berkeliaran mencari biji kapuk dan pikiranku tidak bisa tertib.
“Kalaupun Cik Hafsah memberikan seluruh tabungannya untuk ongkos kuliahku, aku akan menolak. Paling tidak untuk saat ini.”
Terngiang kalimat tegas Hazri saat kami duduk di kelas dua belas. Saat itu kubagi cerita kalau aku berniat kuliah ke Jakarta. Besar harapanku, dia ikut serta bersamaku. Ternyata dia punya pemikirannya sendiri.
“Kau tahu impianku ada di Durai, Nana. Semakin cepat aku balek ke Durai semakin lekas impian itu terwujud.”
Aku tak bisa berkomentar bila Hazri sudah mengatakan soal impiannya. Sejak aku ikut ke Durai untuk kali pertama dan melihat kebahagiannya yang nyata saat melepas tukik, aku mengerti dia menyimpan sesuatu dalam tiap berkas cahaya matanya. Hazri sangat mencintai penyu dan menyayangi tukik.
Sejak kecil Hazri mengamati penyu yang setiap malam mendarat di Durai. Dia selalu mencatat jumlah penyu yang bertelur. Saat kelas sebelas, dia membuatku terpukau dengan hasil risetnya.
“Dua puluh tahun lalu awal ayahku jaga Durai, ada sekitar enam puluh ekor penyu yang mendarat saat musim bertelur. Sebelum aku SD, jumlah itu jauh berkurang jadi dua puluh ekor saja. Dan sekarang sudah tinggal separuhnya. Aku sedih bayangkan dalam tempo tak lama lagi, Durai cuma jadi kenangan pernah disinggahi penyu bertelur.”
Bayangkan, kami baru kelas sebelas dan pikiranku masih melulu tentang parabola yang terjungkal sementara Hazri sudah begitu fasih membahas populasi penyu. Dan belum berhenti sampai di situ, dia semakin menawan hatiku dengan tekad dan usaha nyata untuk melestarikan hewan purba itu.
“Aku nak bikin penangkaran penyu dan tetaskan dua puluh lima persen telurnya, setiap hari. Tapi itu masih tunggu aku lulus dulu dan cepat balek ke Durai. Sementara ini, aku nak bikin kampanye stop beli dan makan telur penyu.”
Wow, ide Hazri itu luar biasa membuatku menganga. Bagaimana mungkin ia yang masih mengenakan seragam putih abu-abu hendak melakukan penyadaran terhadap masyarakat untuk tidak beli dan makan telur penyu. Sementara di dekat rumahku, persisnya di depan pasar ikan, terbentang spanduk besar bertuliskan “DILARANG JUAL BELI TELUR PENYU” tapi itu tak pernah sedikitpun dilirik orang-orang. Malah, di bawah spanduk itu berjejer orang-orang jual telur penyu dan mengantri pula pembelinya.
Di Tarempa, semua orang membeli dan makan telur penyu. Kalau ada orang yang tidak melakukan itu, itu adalah Cik Hafsah. Cik Hafsah memang layak dapat penghargaan karena hanya dialah satu-satunya pengelola kedai yang tak menyediakan telur penyu di kedainya.
Aku tidak khawatir bagaimana Hazri akan melancarkan kampanye. Yang menjadi pikiranku saat itu, Hazri akan berhadapan dengan Raja Bachrum si pemilik Pulau Durai sekaligus saudagar paling kaya di Tarempa dan satu-satunya pemilik kendaraan roda empat saat aku kecil. Raja Bachrum itu punya bisnis dari hulu ke hilir. Dari keramba ikan Napoleon sampai koperasi pasar, dari kafe sampai penginapan, dari kelapa sampai penyu dan segala apa yang tersimpan di Pulau Durai.
Selama puluhan tahun, Durai dan segala isinya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan komersial oleh Raja Bachrum. Jika ayah Hazri menetaskan telur penyu, itu hanya beberapa saja dan tak mengganggu pendapatan Raja Bachrum. Namun bila Hazri berniat menetaskan dua puluh lima persen setiap harinya, itu angka yang tidak main-main dan kupikir bisa menumbuhkan keringat sebesar biji merica di kepala Raja Bachrum yang botak karena cemas pemasukannya bakal menyusut.
“Aku akan minta izin Raja Bachrum terlebih dahulu. Semestinya beliau tidak keberatan karena ini demi kelangsungan penyu-penyu yang mendarat di pulaunya juga.”
Begitu yakin Hazri mengucapkan itu dan membuatku semakin jatuh cinta kepadanya. Dia yang pendiam dan diam-diam memiliki ide besar dan telah dengan sukses menyuburkan cinta yang pendiam di hatiku. Sungguh tiada hal bisa kulakukan kecuali mendukungnya.
Kulobi Baba untuk mau memberi diskon saat Hazri mulai mencetak brosur berisi kampanye penyelamatan penyu. Entah apakah karena saat itu Baba sudah tak tahan untuk menyunting Cik Hafsah, Baba yang sebelumnya kukenal perhitungan malah demikian dermawan menggratiskan seluruh ongkos cetak brosur. Bahkan, apapun yang akan dilakukan Hazri dan itu membutuhkan jasa percetakan, Baba membuka pintu usahanya dua puluh empat jam, tak kenal hari libur. Aku gembira pada satu sisi, tapi merasa entahlah pada satu sisi lainnya.
Aku mendesah dan tersenyum bersamaan saat mengingat episode itu. Saat merasakan sensasi warna yang muncul tumpang tindih di kepala, tiba-tiba lampu padam dan semua menjadi gelap. Hazri pasti sudah mematikan mesin genset. Selalu, bila sudah pukul sepuluh, Hazri pasti mematikan genset dan akan menyalakan lampu minyak sebagai penerangan.
Aku beranjak bertepatan Mak masuk ke bilik dengan lampu minyak yang ia gantung di dinding.
“Eh, belum tidurnya, Nana?”
“Nana nak tengok penyu, Mak.” Jawabku sembari mengambil baju hangat dari dalam tas. Kuyakinkan Mak bahwa aku tak akan bergadang. Mak tersenyum dan memberiku jalan ke luar.
***
 Aku menaikkan kerah baju hangat dan mulai melangkah menuju tepi pantai ketika sebuah cahaya tiba-tiba disorotkan kepadaku dari arah belakang. Kubalikkan tubuh dan kudapati sebentuk mahluk kurus itu tengah mematung sembari menyorotkan lampu senter ke depan.
“Apa kau sudah dapat izin Baba untuk pergi ke pantai malam begini?” tanyanya serius.
“Memangnya kau pikir, apa tujuanku datang ke sini selain nak tengok penyu bertelur?” jawabku retoris dan kembali melangkah. Kudengar dari belakang, Hazri menyusulku dan tergesa-gesa mensejajari langkahku.
“Mungkin kau rindu seseorang yang ada di pulau ini.”
Kuhentikan langkah. Beberapa saat kutatap wajah Hazri yang hanya disinari seiris bulan tanggal tua. Segaris bekas luka di pipinya tampak seperti bekas sayatan benda tajam. Dari kedalaman hatiku, ingin sekali kuangkat tanganku dan mengusap lembut bekas luka itu.
Tatapanku yang sedemikian rupa membuat Hazri salah tingkah. Dan aku jujur bertanya, “Sudah sejak awal jumpa aku ingin tanya, kebandalan macam apa yang membuat pipimu terluka dan tinggalkan bekas yang jelek itu?”
“Oh, jadi pertanyaanku tadi kau anggap salah satu jenis kebandalan?”
“Anak bandal pandai menggombal. Kau berusaha melakukan penggombalan tadi.”
“Kapan?”
“Barusan.”
“Tunjukkan yang mana?”
“Pertanyaan kau yang sebut aku rindu dengan seorang di pulau ini? Kau pikir aku rindu dengan kau?”
Kembali kuayun langkah.
Ya Tuhan, ini dialog macam apa dan kenapa bisa aku begitu lugas bermain-main dengan ucapan yang menyangkut perasaan. Sekian lama menahan nyeri bila mengenang sesosok yang ada di sebelahku ini, tapi kini aku berani-beraninya mencungkil liang kesakitan-kesakitan itu untuk kembali merasakan kesegaran pedih perihnya.
“Kemenakan yang rindu Pakciknya, tak masalah, kan? Atau kau?”
“Apa?”
“Ada jutaan lelaki di Ibukota sana dan salah satunya mungkin sudah jadi kekasihmu. Kalau memang begitu, maafkan lidah Pakcikmu ini.”
Hazri meremas-remas rambutnya dengan gaya seorang bodoh. Aku ingin sekali mengatakan aku ini single masih available dan karenanya dia tidak perlu merasa bodoh dengan ucapannya, atau mungkin, itu juga ke luar dari perasaannya yang murni? Entahlah. Aku jadi takut dengan perasaanku sendiri. Bagaimanapun, kakak si Hazri adalah istri Babaku.
Aku menggigil mengingat itu. Terpa angin laut yang menderu membuat kelu jiwa ragaku. Dan tiap pijakan kakiku ke pasir yang mulai basah dan dingin sekonyong-konyong menambah beku kalbu. Aku berjalan dalam diam dan gamang hingga sebuah sentuhan kecil di pundak mengembalikan keterjagaanku.
“Kau beruntung, Nana. Ada penyu sisik di angka jarum jam tiga.”
Kuedar pandang ke arah yang dimaksud Hazri. Benar, seekor penyu sedang menggali pasir dengan sepasang tungkai belakangnya. Hazri segera mematikan senter karena penyu sangat peka terhadap cahaya. Apabila merasa terganggu dan terancam, penyu akan mengurungkan hasrat bertelurnya dan kembali ke laut.
Aku berlari kecil meninggalkan Hazri, tak sabar melihat penyu yang sebentar lagi akan mengeluarkan puluhan bahkan hingga seratus lebih telur. Aku terlalu bersemangat dan mendekat ke penyu hingga tak sadar, bulir-bulir pasir yang diterbangkan sepasang tungkai penyu untuk membuat lubang menghambur dan masuk ke netraku. Pedih, sakit, dan gelap.
Mataku segera berair dan aku mengerjap. Tapi itu tak membantu. Hazri yang tiba melihat aku menggesek-gesek mata dengan punggung tangan. Dia menarikku mundur menjauh dari penyu dan cepat menyorotkan senter ke wajahku.
“Astaga, matamu tersiram pasir?”
Hazri membuka kelopak mataku dengan tangannya yang terasa kasar namun hangat. Pelan ia meniup-niup namun itu masih belum cukup membuat mataku bersih. Terlalu banyak pasir yang masuk dan air mataku mulai banjir.
“Kita pulang dan cuci mata kau dengan air tawar.”
Hazri mengamit lenganku dan mulai menuntunku. Dalam sekejab, perasaanku dialiri hangat, nyaman, tenteram serta segala yang indah-indah.  Mataku yang tak bisa sepenuhnya terbuka membuat kakiku tersaruk ranting dan pasir. Hazri mengeratkan pegangannya dan membimbingku dengan sabar.
“Kuharap, laki-laki di Ibukota sana mengerti apa yang kulakukan ini hanya demi alasan kemanusiaan.”
Kuberanikan untuk membalas, “Bukan karena rindu Pakcik pada kemenakan?”
“Kau pasti tak membutuhkan itu dariku, Nana.”
Aku menjawab lekas, “Nyatanya aku sungguh butuh.”
Dan itu, hanya terucap di kedalaman hatiku.

bagian empatnya disini...

1 komentar:

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.