Adegan yang mengingatkan pada masa lalu:
“Sebaiknya kita nggak
ngobrol-ngobrol lagi, ya.”
“Untuk kemaslahatan umat, ya? Ok. Berapa
lama?”
“Kalau perlu selamanya.”
“Wih.”
“Dan, kamu nggak usah baca-baca
blogku lagi, ya.”
“Alasannya?”
“Nggak ada ilmu dan manfaatnya.”
“Alasanmu nggak pas, alasan lain?”
“Ya itu cuma blog curhat, kan? Nggak
penting sama sekali. Benar-benar nggak penting.”
Dia mungkin masih ingin mendebat.
Tapi mengingat umur sudah paruh baya, dia menahan diri untuk kemudian
menyanggupi, “Ok.”
Adegan enambelas tahun silam:
“Kamu nggak usah baik-baik lagi
sama aku, ya. Nggak usah tanya-tanya tugasku selesai apa belum, nggak usah
periksain makalahku sebelum aku maju presentasi, nggak usah ribut pas aku presentasi,
nggak usah tanya-tanya kenapa aku bolos kuliah tiga hari trus minjemin catatan,
nggak usah telpon-telpon, nggak usah bla bla bla…”
“Kenapa gitu?”
“Ya nggak kenapa-napa. Pokoknya
nggak usah baik-baik lagi.”
“Nggak rasional. Aku nggak bisa.”
“Ya aku minta tolong.”
“Ya sebutin apa alasannya.”
“Ya nggak ada.”
“Ya sudah, aku nggak bisa.”
Putus asa. Nggigit bibir. Mau nangis.
“Aku nggak bisa kamu terus baik ke aku kayak gini. Udah, ya. Please… ”
Sama putus asanya. Darah muda,
nggak bisa langsung terima. Tatapannya dibuang jauh entah kemana. Wajahnya merah
menahan marah.
“Please…”
“Aku nggak bisa, tapi kalau itu
maumu… “ menunduk, “Oke.”
Menatap sekilas, bangkit berdiri
lalu pergi. Yang ditinggal mengalami remuk hati, menangis semalaman. Dan hari
sesudahnya menjadi berat. Berselisih jalan selalu saling membuang pandang. Tak
pernah lagi saling sapa. Paling menyiksa adalah saat presentasi dan dia sama
sekali acuh tak mau tahu, tak mau usil bertanya, tak mau jail menyanggah. Dua orang
anak manusia yang sama-sama baik menjadi asing.
Entah karena ketersiksaan
masing-masing, takdir lantas menjauhkan mereka. Yang satu pindah Fakultas, yang
satu menyepi ke Pare-Kediri selama setahun. Anehnya, selama setahun tanpa kabar
itu, pada ujungnya dia menelepon, mengabarkan akan ke Fakultas lama mengambil
transkip nilai untuk kemudian pindah kuliah ke Kampus lain yang sangat jauh.
Dan mereka bertemu setahun
kemudian. Berjalan di selasar kampus yang dulu sering mereka lewati, dengan
kikuk dan diam-diaman. Mengurus transkip, pulang ke kos. Saat pulang ke kos melewati
warung burjo mereka memutuskan mampir, menghadapi semangkuk burjo dan
menandaskannya juga dengan lebih banyak diam. Tapi sungguh itu membahagiakan. Kebahagiaan
kecil sebelum akhirnya takdir memisahkan kembali, selamanya.
Zaman medsos ini, sesekali mereka
bersapa, benar-benar hanya sesekali. Kadang tiga tahun belum tentu menyapa. Terakhir,
mereka bersapa di grup bekpeker karena yang satu posting tulisan, dan yang
satunya berkomentar paling nomor satu; “Hei, bisa tolong bantu siapkan umrah
plus Turki untuk 20 orang, ya.”
Maka habislah sudah luka-luka
yang lama.
Sekarang.
Belajar dari kasus masa silam. Ternyata
waktu dan perpisahan menyembuhkan luka. Maka berpisahlah. Tak lama, hanya
enambelas purnama. Selama enambelas purnama ini, banyak hal bisa dilakukan,
termasuk mengerjakan proyek-proyek pribadi. Nanti sudah enambelas purnama, mari
berjumpa di ruang yang membahagiakan, dengan proyek-proyek kita yang sudah
selesai dan hanya tinggal finishing. Juga dengan sekeranjang proyek-proyek amal saleh yang baru. Sebab sulur-sulur kebaikan tetap harus dilanjutkan.
Yah, begini terasa lapang.
Semoga Allah tetap melapangkan,
hanya enambelas purnama…
aku kepo ini fiksi atau nyata hahah...kayak baca novel aja
BalasHapus