Laman

Kamis, 08 Februari 2018

Buku Antologi Kesembilan; Dear Koko



Setelah Koko berpulang untuk selamanya, maka kami ingin terus mengikatnya dalam sebuah kenangan.
-Penulis Tangguh.

Buku ini tiba siang kemarin. Sebuah buku kenangan sekaligus amal, yang seluruh hasil penjualannya disedekahkan atas nama Koko Ferdie (almarhum), teman kami di Grup Penulis Tangguh (PT).

Dua tahun lalu, PT adalah grup penulisan yang sangat ekslusif dengan jadwal yang begitu ketat. Tidak menyetor tugas, siap-siap saja dikeluarkan. Pahit memang, tapi saya paham untuk alasan apa sang founder (Ibu Nurhayati Pujiastuti) memberlakukan peraturan ini. Bagi saya yang saat itu memang butuh dicambuk, PT adalah rumah angker yang ngangenin.

PT menjadi eksklusif karena tidak sembarang menerima murid baru. Hanya penulis-penulis pemula yang beruntung semacam saya -benerin kerudung- yang beliau izinkan masuk ke dalamnya. Ini pun mengantri lama, menunggu ada kursi kosong dari empatpuluh kursi yang tersedia di dalamnya.

Dan sungguh, selain eksklusif, PT juga gemerlap oleh penulis-penulis betulan. Ruwi Meita siapa tak kenal? Yulina Triharningsih, Utami Panca Dewi, Liza P Arjanto, Happy Rose, Ida Refliana, itu nama-nama penulis betulan yang membuat saya tergagap-gagap mengikuti kelas. Dan, di antara mereka, ialah Koko Ferdie, pemuda kalem, baik hati dan senang menulis kisah-kisah romance.

Ketika Dia Pergi
Tak ada berita apapun sebelum kepergiannya. Tak ada kabarnya ia sakit serius. Hanya ada status mengenai meriang (dan itu menjadi status terakhirnya), yang kami pikir ia hanya sedang flu atau masuk angin. Ternyata kami salah. Selain kalem, Koko juga tak pandai membuat teman-temannya cemas. Walaupun ia sedang berjuang melawan sakit berat, ia tak mengabarkan pada siapapun perihal sakitnya.

Dan hari itu tiba. Hari kepulangannya yang melemaskan semua penghuni PT. Airmata tumpah bercawan-cawan. Kenang curah bercawan-cawan. Adalah hal yang menyentuh hati, ketika beberapa teman PT domisili Malang bertakziah ke rumahnya. Uang duka yang kami kumpulkan dan teman kami serahkan dengan takzim, disorongkan kembali dengan  halus oleh kedua orangtuanya. Teman kami memaksa. Akhirnya mereka terima. Namun, di manapun, orang baik selalu pandai membuat kejutan. Uang yang diterima ibunda Koko, saat itu juga diserahkan ke masjid di sebelah rumah Koko.

Dua pekan setelah airmata mulai mengering, kami membincang sebuah proyek untuk mengikat kenangan atas Koko. Proyek amal yang kami harapkan, tak hanya akan mengikat kekancan kami di PT, namun juga sedikit pahalanya akan mengalir untuknya di sana.

Koko masih sangat muda. Cerpen dan buku-buku yang ditulisnya bernuansa teenlit dan chicklit. Maka kami sepakati itulah genre yang akan kami ambil. Dan saya? Menulis teenlit? Wow? Bagaimana bisa? Saya butuh pulang ke masa lalu dan mengaduk-aduk ingatan demi sebuah ide menulis bernuansa remaja, yang manis dan menggemaskan.



Dan sayapun pulang. Kaki saya tersandung reranting yang telah mengering. Reranting yang dahulu jatuh saat awal masa kuliah. Saya memungut reranting itu dan mulai membauinya. Bau kayu lapuk, namun begitu jelas menguar, menyegarkan ingatan. Maka, jadilah aroma ranting lapuk itu ruh yang menjiwai cerpen Prasangka. Sebuah cerpen yang berkisah tentang seorang anak muda (Koko) yang amat-sangat baik, tak neko-neko namun jail pada orang yang dia nyaman dengannya (gadis bernama Meita). Koko jail mengatakan Meita ‘bau neraka’ setiap bulannya ketika gadis itu mengaku sakit perut karena siklus bulanan. Kejailan ini, adalah satu buah rerakan dari seranting kering yang saya baui untuk kemudian menegaskan gurat tawa di bibir saya.



Koko Ferdie adalah pemuda yang gemar menulis kisah romantis. Sementara saya senang sekali membuat cerpen cengeng. Maka, cerpen Prasangka menampilkan keromantisan yang gagu, yang kikuk, yang sungkan, yang ditahan-tahan hasil dari blusukan ke lorong waktu.
 
Perjalanan ke rimba masa lalu lantas berpeluh menapaki jalan pulang ke masa kini, saya disadarkan pada satu hal yang terkait dengan pengenalan diri saya sendiri. Bahwa saya ternyata begitu gagap berhubungan sosial. Apalagi, dengan lawan jenis dan dia datang dari golongan bangsa baik budi-baik hati.

Padahal, hei, apa susahnya berhubungn dengan orang baik? Bukankah itu justru tak membahayakan dan menguntungkan? Malah kapan-kapan bisa pula dimanfaatkan (seperti yang dahulu sering saya pelajari dari mbak kos). Tidak, alih-alih santai dan menikmati, saya justru takut. Mungkin nanti perlu saya cari tahu, apakah benar ada phobia yang semacam ini.

Hal yang membuat surprise, dalam buku ini juga terdapat cerpen berjudul Sepucuk Kenangan Cinta Pertama karya Mbak Ida Refliana yang mencatut nama saya di dalamnya. Saya senyum-senyum sendiri membaca bagian itu –bagian yang ada nama saya- dan ini sungguh kenorakan yang nyata. Ah, kalian pasti sulit mengerti bagaimana rasanya :D


Dear Koko ini buku antologi kesembilan saya. Sedikit, ya? Memang. Karena saya suka pilih-pilih tema, plus (sok) jual mahal pada antologi yang hanya diterbitkan indie. Tapi, saya suka yang model amal begini. Nggak dibayar ya nggak apa-apa, terbit indie juga nggak apa-apa. Nggak nampang di toko buku pun nggak apa-apa. Nggak terkenal di dunia ya juga nggak masalah.


Namanya amal, bayarannya nanti, terkenalnya nanti, esok lusa, di surga. Aaamiin…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.