Laman

Kamis, 03 Januari 2019

Januari Berseri


Jika pernah kau perhatikan,  sebuah wadah yang terisi penuh oleh benda-benda berat,  mungkin saja itu batu.  Tumpukan batu itu memenuhi wadah,  berjejalan dan menyesaki.  Ketika batu-batu itu dikeluarkan,  wadah itu menjadi lega. Walau tertinggal bekas -gurat, lecet- di dalamnya,  itu sungguh tak mengapa.  Wadah itu hanya perlu sedikit waktu,  juga sentuhan,  dan segalanya akan kembali seperti sedia kala. 

Begitulah dia.  Hatinya.  Berhari-hari lalu sungguh penuh sesak oleh segala tentangmu.  Perasaan-perasaannya,  perkiraan-perkiraannya.  Dia sungguh ingin mengakhiri itu.  Dia sungguh memohon pada tuhannya memiliki hati yang selesai. Tapi bagaimanalah ia menyelesaikan ini.  Bagaimana ia mengeluarkan bayanganmu dari hatinya? 

Pikirannya buntu.  Hatinya kelu.  Dan bayang-bayangmu masih saja utuh. Beranak pinak.  Mengotori waktu.  

Sementara beban-beban pekerjaan mulai menjerit minta diselesaikan.  Bagaimanalah bila pikiran dan hatinya berai. Tuhan,  sungguh dia ingin memiliki hati yang selesai. Hati yang tanpa bayang-bayang.  Kamu. 

Di antara seredup suluh dan rasa malu,  dia membanting wajah menemui kamu.  Berbicara dan memohon agar kamu kembali,  memungut bayang-bayangmu,  lalu silahkan pergi lagi.  Itu rencana mulanya.  Dan memulai berbicara itu serupa menggores lidah dengan kayu berduri.  Kebas dan menggigil seluruh jiwanya. 

"Hei." Akhirnya,  hanya itulah yang berhasil keluar dari lisannya. Tak berani ia tatap wajahmu.  Itu serupa menggantung leher pada seutas tali di tiang gantungan.  Salah menangkap makna sorot mata saja,  tercekik sudah lehernya.   Tapi ternyata,  itu hanya ketakutan-ketakutannya belaka.  Museum dukanya seketika berganti cerah.  Saat kau membalas sapanya. 

"Ya. Ada kabar apakah?"

"Salah satu pekerjaanku membutuhkan kamu.  Maksudku bantuanmu.  Apa kau  bisa menolong."

"Tentu saja.  Katakan saja apa yang bisa kulakukan untukmu?"

Duhai sang maha penggenggam hati,  detik itu,  sungguh segala beban dan  bayang-bayang seram ke luar tunggang langgang dari hatinya.  Kosong.  Lega.  Walau menyisa gurat,  tapi tentu Engkau akan menyembuhkan. 

Dia berterimakasih.  Sungguh berterimakasih atas kesempatan pada awal Januari yang begitu melapangkan hati ini. Duhai Allah, Rahman, terimakasih telah mengeluarkan segala bayang-bayang yang menikam. Terimakasih telah membersihkan hatinya. Walau masih menyisa gurat-gurat nestapa di sana, tapi dia yakin bahwa Kau akan menyekanya. Menguatkannya.  

Foto pixabay

Syekh Abdul Qadir Jaelani menulis dalam Fathur Rabbani: "Jika jiwa sudah diuji lalu menjadi tenang, maka jiwa akan berada pada limpahan kebaikan dan iapun akan menjalankan segala bentuk ketaatan dan meninggalkan segala bentuk kemaksiatan. Pada saat itu, kepada jiwa semacam ini akan dikatakan; Hai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya."

Rumah karya, 030119
Serinya sebagai bekal ratusan purnama di depan...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.