Laman

Minggu, 16 Desember 2018

Pesan-pesan yang Terselip


Kemarin, aku menemukan permohonan kepergianmu yang terselip di antara rerimbun kata duka atas goncangnya sebuah perahu dakwah. Ingatlah Hari Itu. Ya, aku sudah membaca itu pada hari ketika kutahu kau pergi. Betapa bodohnya aku yang tak bisa mengenali bibit-bibit perpisahan di belantara duka aksara yang kau tulis.

“Ingatlah kita pernah berjanji untuk saling mencari jika tak bertemu di telaga kautsar. Ingatlah kita pernah bercita-cita untuk sujud bersama di jannahNya. Ingatlah selalu hari itu…”

Ya, tentu saja aku ingat. Kan kau yang bilang bahwa kita ini sekutu.

“Sampai jannah!”

Airmataku enggan berhenti saat membaca janji itu. Kau yang berjanji, bukan aku. Tapi
kau pergi. 

Itupun tak mengapa bila itu akan menciptakan banyak jannah di dunia, bagimu, untukku.

Ini Desember. 2018. Pesanmu yang mengingatkanku untuk selalu mengingat hari itu akan bertahan berapa lama? Jangan kau tanya aku. Allah memberiku bakat bersetia yang hebat. Perhatikan baik-baik, aku akan selalu mengingat hari itu bahkan hingga kepalaku tak sanggup lagi mengingat apa-apa.

Ini Desember. Dan oh, kau pun pernah melakukan ini pada Januari. 2018. Ketika pertama kali kita bersepakat untuk menyudahi kekonyolan-kekonyolan tak berfaedah. 

“Kau tahu perpisahan itu amat tak mengenakkan? Terlebih lagi saat kau tahu persis, bahwa sebagian hatimu telah terbawa bersamanya. Kau hanya akan menjadikan perpisahan itu serupa kesedihan yang menjadi-jadi.”

Awal tahun lalu, kau menyisipkan surat duka itu di antara rimba airmata kematian seorang bocah. Orang-orang percaya bahwa pekat sedihmu itu sepenuhnya sebab kematian yang kau kisahkan. Namun aku tidak. Setidaknya, ruhku mengenali jenis kepedihan itu.

Ah, aku terlalu melambung. Maaf, maafkan aku. Mestinya aku ingat, kau ahli menyusupkan pesan-pesan pada surat-surat yang kau kirimkan. Bukan untukku. Memang bukan untukku. Tapi kau mengenalku. Kau mengenalku karena lamat-lamat pernah kau bisikkan, “I think, I totally agree with you… bahwa kita ini serupa.”

Kau paham betul aku sering menyelipkan pesan-pesan, kau pun sama.

Sekarang penghujung Desember 2018.
Ini adalah tahunku yang dibuka dan ditutup oleh kepergianmu. Januari menumpahkan bercawan airmata. Tapi Desember ini kering. Aku tak bisa lagi menangis. Apakah hatiku mengeras? Apakah ia menghitam?

Ini Desember. Punggungmu menjauh. Langitku jelaga. Aku terbata-bata. Perlahan-lahan bangun. Berpegangan pada tali rapuh keyakinan: Sang Rahman tak akan pernah meninggalkan…  

pixabay

161218, like hope is gone. But no no... 
“Hope is being able to see that there is light despite all of the darkness.” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.