Laman

Rabu, 12 Februari 2020

Jantung

Setelah lama menduga, bertanya pada gerimis yang jatuh di jendela, dan curiga pada hujan yang kedatangannya terdengar serupa marah-marah, oh dia menjadi sinting perihal kau yang tak mau menampakkan diri di dalam kehidupannya. 

Kau selalu tak suka dipanggil olehnya, di depan teman-temannya apalagi teman-temanmu, dan lebih-lebih di depan teman-teman kalian bersama. Kau mengamuk bila ia nekad melakukan itu. Kau aneh. Dari yang paling aneh. 

Kau sembunyi saja di bilik waktu. Diam-diam menunggu senyap lalu menjadi penyusup. Kau adalah pecundang. Dari yang paling pecundang. Ribut-ribut di kesunyian. Surut-surut di keramaian. 

Kau tak mau nampak, namun ingin selalu dilihat. 
Tak mau bersuara,  namun ingin selalu didengar. 
Tak mau melukis, namun ingin abadi.

Tidak ada jawaban perihal keanehan seorang pecundang. Dia gantang pasrah-pasrah bagi jiwa yang telah diracah-racah. Dengan ketabahannya sendiri. Dengan airmata dan kesunyiannya sendiri. Dengan selembar saputangan bernama kasih sayang yang dia pinjam dari Pak Sapardi.

Dan, pada masa itu, kau mengirim selembar maklumat. Bahwa kau adalah jantung. Bukan pecundang. 


"Adakah kau benar jantung?"

"Jika batinmu mengenaliku."

"Kukenali, setitik dari nokhtah yang sewarna kirmizi."

"Yang setitik itupun telah lebih dari cukup."

"Mengapa jantung?"

"Dia tak pernah nampak, tak perlu nampak, tapi perannya selalu utama di dalam kehidupan."

Oh, itu umpama yang terlalu waskita. 

Tetapi untukmu, tidak ada yang terlalu. Semua sah baginya yang kembara makna. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.