Ketika dia membuka
kembali pintunya untukmu, itu adalah hari ketika ia merasai, bagaimana jika ia
sedang ingin berkunjung namun semua pintu tertutup juga tergembok.
“Kau egois. Kau
sangat egois. Kau memang egois.” Tuduhan menyakitkan itu dia terima dari seorang
teman yang mereka selalu berbagi kepercayaan.
“Kau mengatakan dia
ada tapi kau mengeluarkannya dengan paksa.” Cecarnya lagi.
“Tidak. Maksudku
tidak begitu,” dia berkilah gugup.
“Tidak begitu tapi
kenyataannya begitu. Oh asal kau tahu ya, dia yang kamu usir itu merasakan
itu.”
Dia mengira
kalimat-kalimat itu hanya keluar dari bibir yang akan cepat hilang disapu
angin. Ternyata dia salah. Sungguh salah. Kalimat-kalimat pedih itu keluar dari
kedalaman hati yang perih sebab dipaksa ke luar oleh seseorang yang mereka
telah berbagi cerita sekian lama. Persis, serupa dia dan kamu.
“Aku tidak pernah
menyadari, hingga suatu hari aku berniat mengunjunginya dan ternyata semua
jalanku telah dia tutup. SEMUA.”
Oh, dia terhempas
oleh kenyataan itu. Dia bisa merasakan saat itu, bahwa mungkin begitulah kau.
Begitulah kesedihanmu akibat jalan-jalan yang dia tutup.
“Aku hanya ingin
memiliki teman bicara. Sejak dulu aku berharap memiliki seorang kakak. Aku
mendapat itu darinya tapi dia pergi begitu saja. Uh, padahal dia yang
berulang-ulang kali mengatakan takut aku melupakannya, takut aku
meninggalkannya.”
Dia terjerembab.
Kalimat itu tak hanya menusuk, namun juga begitu tepat menghukumnya. Bahwa dialah
yang selalu berulang-ulang mengatakan takut kau tinggalkan.
“Betapa, orang yang
takut dilupakan justru melupakan terlebih dahulu. Orang yang takut ditinggal
malah meninggalkan terlebih dahulu.”
Dia sempurna kalah.
Ya, kesakitan temannya itu meremas-remas jantungnya. Dia tak ingin menjadi
tokoh yang menyakiti, membuat kecewa dan membuat sedih kamu.
Maka dia memutar
anak kunci, membuka pintunya untukmu. Kau bisa datang kapanpun kau ingin. Kau
bisa berbicara apapun. Dan dia, dia akan mencoba tabah. Bahwa tidak ada apapun
di depan sana, kecuali hati yang menjaga untuk tak saling menyakiti.
Pada hal yang lebih
inti, dia belajar tabah untuk melepasmu. Membuka berarti membiarkanmu masuk.
Dan jika kau masuk, kapanpun kau bisa pergi. Dia merawat hatinya agar adamu,
pergimu, menjadi hal yang lumrah.
Terdengar mudah.
Dia sungguh
berharap Tuhan yang menggenggam jiwanya juga jiwamu memudahkan kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.