Laman

Minggu, 31 Januari 2016

[30HMSC hari ke1] K N I F E


Pada penghujung bulan yang kering.
Dari ladang jeruk yang mulai ranum.
Aku menemui Engkau,
My Dear, Tobi...

Rasanya sulit kuingat, sudah berapa kali musim panen jeruk aku tak menyapamu dalam sepucuk surat yang kutulis ditemani secangkir kopi nan pekat oleh aroma rindu.

Lihatlah, Tobi, pagi ini langit begitu bersih. Burung pipit entah singgah di mana. Awan juga entah jatuh di lembah yang mana. Dan aku terengah-engah di bawah sebatang pohon jeruk setelah berlari dari rumah karena ada serombongan keluarga singgah, ingin memetik jeruk di ladang kita.

Kita?
Oh Maaf, Tobi, di ladang Paman Lintar, maksudku tadi.

Engkau apa kabar di sana, Tobi? Apakah kau masih senang menikmati telaga Seiladi yang sendu tertimpa bayang pucuk-pucuk pinus? Apa kau sedang memancing saat ini? Atau hanya duduk dan melempari muka telaga yang tenang dengan patahan ranting kering?

Ah, maafkan aku seperti polisi saja. Bertanya cerewet dan membuatmu jengkel. Jika berhadapan, aku yakin kau akan mengunci bibirku dengan sapuan lembut jemarimu. Ingat Tobi, usahamu itu kupastikan tak akan pernah berhasil!

Oke, Sebaiknya aku langsung saja mengabarkan sesuatu yang akhirnya membuatku menulis surat untukmu lagi saat ini.

Ini tentang Bibi Selena. Jangan, jangan terkejut, Tobi. Bibi Selena tidak melakukan hal yang membuat malu keluarga seperti yang selalu kita khawatirkan. Bibi Selena, setelah sekian lama mengurung diri dalam cangkangnya, dia kemarin memanggilku.

"Kemarilah, Anna. Lihatlah ini, hampir separuh rambutnya sudah mulai memutih."

Itu kalimat pertama yang meluncur dari bibir tipis Bibi Selena, sambil satu tangannya memperlihatkan padaku sebuah gambar yang tersimpan di dalam ponselnya.

Kau pasti tercekik penasaran siapa orang yang Bibi Selena perlihatkan kepadaku, bukan? Sabarlah, Tobi. Karena penasaranku jauh melampaui yang kau punya.

"Dia, laki-laki yang membuatku jatuh cinta, tanpa syarat."

Ponsel Bibi Selena meluncur dari tanganku saat mendengar itu, Tobi. Sungguh, ini berita besar, lebih besar dari sekadar impianku untuk bisa naik  pompong bersamamu membelah heningnya telaga Seiladi.

"Kau percaya cinta yang semacam itu, Anna? Apa kau pernah merasakannya?"

Tobi, bagaimanalah aku menjawab pertanyaan sulit itu? Selain payah pelajaran berhitung, aku juga sangat payah soal cinta. Kan, begitu katamu, dahulu. Tapi, tentu aku tak boleh diam kalau ingin mendengar kisah Bibi Selena. Dan kupikir, kita bisa mendapatkan petunjuk atas sikap Bibi Selena yang aneh setelah ini. Bukan begitu, Tobi?

"Aku? Aku tentu belum pernah merasakan cinta seperti itu. Tapi kuyakin itu banyak terjadi, Bibi."

"Bahkan jika pisau membelah hatimu, kau tetap akan utuh, Anna."

Oh, aku spontan menyentuhkan kedua bilah tangan ke dadaku. Nyeri sekali mendengar ucapan Bibi Selena yang penuh keyakinan itu, Tobi. Namun setelah kupikir-pikir, tiada peradaban yang terbangun megah dan membersamai sejarah tanpa perjuangan perih di belakangnya. Jadi, dengan amat susah kuminta Bibi Selena melanjutkan sejarahnya.

"Kisahkan padaku tentang maha daya cinta itu, Bibi..." pintaku tak sabaran. Aku mewakilimu kali ini, Tobi.

"Ini kisah usang," Bibi Selena melempar pandangannya ke puncak Gunung Barus. Saat itu Tobi, sungguh aku melihat ada kembang api yang memercik di gelapnya mata Bibi Selena. "Sudah dua dasawarsa berlalu. Tapi aku masih bisa merasakan dadaku menghangat saat kali pertama dia menyapaku dengan sapaan aneh namun sangat kusuka. Biar kau tahu Anna, Dia nemanggilku nduk padahal semua orang memanggilku butet. Rasanya nyaman dan sangat dilindungi dipanggil nduk seperti itu, Anna. Aku yang kuat dan mandiri, tiba-tiba saja, dalam sekejab takluk pada seorang yang membuatku seperti bayi kucing kehilangan induk."

Aku terbatuk kecil dan berusaha menghormati perasaan bibi Selena. Perasaan yang sudah ia simpan saat masa belajarnya di Jawa, di tanah yang belum pernah kupijak. Lantas kucatat dalam ingatan, bahwa cinta yang hebat itu bisa bermula dari sesuatu sangat remeh, Tobi.

"Lalu, pada sepotong senja yang sepi di pelataran Merapi, ia mengatakan ingin belajar menjadi satu denganku. Oh, hatiku meledak oleh perasaan bahagia saat itu, Anna. Rasanya aku akan tetap hidup walaupun lahar ke luar dari perut Merapi."

Tobi, rasanya aku mulai terhisap oleh kisah Bibi Selena. Tak ingin putus mendengar sebesar apa monumen cintanya. Dan tak ingin melewatkan satu bagian terkecil pun untuk kutuliskan kepadamu. Tapi sayang Tobi, maaf, serombongan keluarga yang singgah memetik jeruk sudah nampak kembali. Lima kantung besar yang kuberi sudah terisi penuh dan ditenteng hati-hati oleh seorang Pak Gendut dan perempuan muda cantik yang kulitnya lebih langsat dari langsat.

"Tolong timbangkan, Dek."

Kau dengar, Tobi. Aku harus menimbang jeruk hasil petikan mereka sekarang. Nanti jika bertemu waktu senggang, pasti kusambung kisah cinta tak bersyarat Bibi Selena yang terputus ini untukmu. Ouw hampir terlupa, aku selipkan lagu ‘knife’ untukmu, Tobi. Tiada pesan khusus, selain aku berharap tak pernah kau berusaha sedikit saja mengiris kisah kita dan menjadikannya terbelah.

Sudah-sudah, Tobi...
Bye
Anna.


#30HariMenulisSuratCinta, Hari-1



12 komentar:

  1. Wow, aroma jeruk seperti melayang-layang di udara <3

    Lanjutkan, Nduk! ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. belum bisa move on dari 'nduk' nih, mba yulin... duh duh... :) makasi sudah mampir ya mba...

      Hapus
  2. Wow... Mbak Wik kalau sudah berkata-kata... Kereeen....

    BalasHapus
  3. Aiih.. cakeep..
    Can't wait for next letter..

    BalasHapus
  4. Widiiiih.... Kereeen, surat cintanya.... Nggak kayak punyaku, konvensional banget :p Tapi nggak papa lah, yang penting udah ikutan :D

    BalasHapus
  5. Wow, diksinya bikin terpana, keren surat buat Tobi.

    BalasHapus
  6. Wow...diksinya kerenn banget Wik. Imi kalo diterusin 30 hari isa jadi novel nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. pinginnya gitu, bu, cuma kl sehari sampai tiga lembar kasian yang baca hehe, makasi udah mampir ya bu

      Hapus
  7. pembukaannya udah cakep gini
    sukses bikin penasaran baca lanjutannya

    lanjuuuuuuut

    BalasHapus

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.