Ketika membaca cerber Susun Tarah
-juara 1 sayembara cerber Femina 2016- yang ditulis dengan gaya jenaka oleh
Pago Hardian, spontan hati kecil saya bersuara, “Aku bisa menulis yang semacam
ini.”
Suara hati kecil itu bukan tanpa alasan,
sebab tahun 2016, saya merampungkan naskah novel yang saya tuliskan
dengan gaya jenaka. Sejujurnya, lebih kepada menampilkan karakter, bukan
eksploitasi melodrama tokoh-tokohnya yang serbaprihatin hidup di sebuah pulau
terasing. Dan naskah itu, ketika saya perlihatkan kepada Ibu Riawani Elyta guru
menulis saya, kerapkali beliau mengaku tertawa sampai sakit perut pada banyak
bab. Dan setting Melayu membuat beliau terus-terusan mengingat
Andrea Hirata selama membacanya. Padahal, ketika menuliskannya, sungguh saya
sudah lama tak memangku karya penulis fenomenal itu.
Kembali ke cerber juara 1 Femina
2016, menyimak idenya yang sederhana namun kuat penokohannya, serta konyol dan
kocak, membuat saya teringat ke naskah novel setting Melayu yang
sudah ditolak penerbit tersohor *tabah. Suara hati saya lagi, “Bila aku sanggup
merampungkan naskah novel, masa tak bisa merampungkan cerber?”
Tapi apa? Saya akan menulis tema apa
dan di mana settingnya? Amatlah butuh waktu lama untuk mengonsep sebuah kisah,
mulai dari membuat premis hingga outline-nya. Saat itu awal
November 2016, saya belum memutuskan akan menuliskan apa sedangkandeadline pengiriman
naskah adalah akhir Desember. Dan, ide itu keluar manakala berbincang dengan
teman-teman penulis.
“Mak, kau sudah menuliskan apa untuk
cerber?” tanya satu teman.
“Belum nulis apa-apa. Tapi kayaknya,
kalau yang semirip Susun Tarah gitu aku bisa. Gaya-gaya ngelawaknya kan mirip
aku,” kata saya, kepedean.
Jawaban teman lain, “Woi, gaya
menulis jenakamu itu bukan mirip Pago Hardian, tapi Andrea Hirata. Ayolah
tulis. Masih ada waktu.”
Nama besar Andrea Hirata yang disebut
itu mencuatkan ide, kenapa tidak menulis saja kisah ber-setting serupa
novel yang belum ketemu jodoh itu? Dengan ide dasar yang sama (kelestarian
penyu), lantas di-mix dengan immortal story milik
saya pribadi yang tersimpan rapi dalam sekaleng tancho, ini barangkali akan
menjadi kisah yang anggun.
Yup. Kerja dimulai. Lima karakter
utama di novel akhirnya saya pilih dua saja untuk berperan di cerber. Ini pun
bukan bulat-bulat memindahkan dua tokoh, saya tetap bekerja keras membangun dua
tokoh baru. Agar kelak jika novel saya terbit, pembaca tak merasa saya penulis
gampangan yang memakai tokoh itu lagi dengan karakter itu
lagi.
Memasuki Desember dan saya hampir
menyerah pada setengah perjalanan. Merasa ini tak layak diteruskan, merasa ini
naskah yang jauh dari istimewa. Pun saya merasa ini hanya kisah receh, hanya
romantisme remaja yang apabila penulis Sungging Raga -khilaf- membacanya suatu
waktu, pasti dia akan mengejek itu naskah yang digenit-genitkan dengan bumbu
lokalitas.
Dan, demi apa pula saat itu saya
begitu memperhatikan apa komentar Sungging Raga?
Entahlah, saat itu saya banyak sekali
membaca cerpennya dan terkagum-kagum dengan romannya yang sederhana tapi
mengoyak ketenangan batin haha (plus terkagum-kagum, bagaimana kisah yang
sesederhana itu bisa membobol gawang Redaktur KompasJ). Saya juga membaca
hampir semua postingan blognya, termasuk kritiknya terhadap pengarang-pengarang
genit yang menempelkan bedak lokalitas dan itu hanya membuat karya mereka
serupa badut saja. Kira-kira, begitulah maksud Tuan Sungging Raga pengagum
karya Eyang Seno Gumira itu. Dan saya menjadi pesimis atas apa yang sedang saya
perjuangkan.
Namun, ketika saya memberanikan
diri posting naskah cerber yang belum ending di
kelas Penulis Tangguh, Yu Utami Panca Dewi yang cerbernya menyabet juara 2 pada
sayembara tahun 2016 memberi semangat, “Selesaikan dan kirim. Aku yakin ini
dilirik juri.”
Aih, sejujurnya saya pesimis membaca
‘dilirik juri’ itu. Bukan apa-apa, saat tahun 2015/2016 saya mengirim cerpen
untuk lomba dan hampir semua ‘penulis betulan’ di Penulis Tangguh berkomentar
bahwa cerpen saya keren dan bakal dilirik juri, nyatanya, masuk nominasi pun
tidak.
Jadi? Tak ada harapan apapun. Bila
kemudian saya menyelesaikannya, itu hanya demi menghormati diri saya sendiri
yang sudah memulai prosesnya dan betapa saya tak bisa melarikan diri dari
kenyataan *jadi ingat ada proyek yang masih belum bisa dihadapi. Padahal
sungguh saya tak ada niat melarikan diri.
Dan, Alhamdulillah H-4 naskah cerber
itu selesai. Saya bukan penulis cepat yang menulis seluruh bagian terlebih
dahulu lalu edit belakangan. Saya tipe menulis separagraf, berhenti,
baca sehingga bila sudah ending, saya tak perlu
banyak editing lagi.
H-4 itu saya baru memikirkan judul.
Dan saya frustasi. Akhirnya mencomot judul tulisan di blog tentang kenangan
bersama Ibu; Pada Sekaleng Tancho. Dan untuk pencomotan itu, saya terpaksa men-delete postingan blog
hanya demi menjaga huru-hara duniapertulisan (khawatir naskah masuk
nominasi dan terindikasi plagiasi karena kesamaan judul. Padahal kan, yang
nulis di blog saya juga J )
H-2 sibuk mencetak naskah rangkap
tiga sembari membayangkan naskah itu diterima panitia. Lalu dibaca penyeleksi
tahap awal. Screening EYD, tanda baca dan tetekbengek tehnis
penulisan. Lalu dia lolos dan sampai ke tangan Ibu Layla Chudori dan itu
membuat beliau berkerut-kerut kening sambil membatin, “Yo cerito opo iki, Rek?”
Ah, saya sukaaa sekali membayangkan
naskah saya diperbincangkan orang-orang yang berkompeten di bidangnya dengan
segala teori-teori sastra (padahal saya tak pernah menulis dengan mengingat
satu pun teori sastra) di sebuah meja. Membayangkan tiga dewan juri itu
sepakat pada satu bagian namun berperang pada bagian lain. Lalu mungkin mereka
akan membanting naskah saya ke tong sampah, atau malah mengumpulkannya bersama
naskah lain yang layak untuk diperbincangkan lagi, nanti.
Dan, bila naskah itu tangguh, dia
akan ditimang-timang lagi, membuat dewan juri pening dan bersungut-sungut.
“Sekaleng Tancho yang klise.”
“Tapi itu kisah yang jujur.”
“Dan itu roman yang jenaka.”
“Ya, idenya sih paling unik dari yang
ada.”
“Tapi konyol nggak sih menyimpan
benda berharga pada sekaleng tancho? Dan itu, ah… “
“Kenapa? Gemas? Karena naskah ini
memang layak. Dan ingat, ini kisah orisinil yang benar-benar terjadi pada
pengarangnya. Wes tho, pokoe aku mantap pilih kaleng tancho.”
“Yuhu, aku juga.”
“Ah, oke, baiklah. Terserah. Ah, ya,
sejujurnya aku pun tak bisa tidur memikirkan sekaleng tancho itu. Menangkanlah
dia.”
Dan, saya tersenyum-senyum sendiri membayangkan
tiga juri berceloteh ini-itu, sambil mereka mungkin makan cilok dan menyeruput
wedang ronde yang langsung diimpor dari Jogja.
Akhirul kalam, Alhamdulillah, segala
puji hanya bagi Allah, yang senantiasa mencintai saya dengan ekstrim dan
mengasihi saya dengan senantiasa. Akhirnya, kesempatan itu dipergilirkan pada
saya. kemenangan itu, adalah hadiah dari Allah. Dia yang menyanggupkan saya
menuliskannya, dan Dia pula yang menggiring takdirnya.
Pada Sekaleng Tancho itu adalah cinta
teman-teman pada saya: Ibu Nur, Yu Utami, Teh Adya Tuty, Dear Shabrina Ws,
Varla, dan semua teman penulis yang tak pernah berhenti menyoraki saya untuk tetap
menulis.
Pada Sekaleng Tancho juga doa. Ialah
doa Bapak, keluarga, teman-teman yang terang-terangan juga diam-diam mendoakan.
Pada Sekaleng Tancho ialah proses
yang tak pernah mengkhianati hasil. Maka hari ini ketika Allah menuntun saya
untuk menatap lagi lembar pengumuman juara ini, lantas jemari saya tergerak
menuliskan ini, maka ini adalah pengingat saya; menulislah jika menulis
memang tongkat musa yang dititipkan Allah untukmu. Pukulkan
ia, tak boleh lelah… sungguh tak boleh lelah…
Barokallah Mbk, senang dengan keberhasilan Mbk. Fokus dan tekad menjadi buah dari hasil kerja keras.
BalasHapusmakasi mb naq, duh, ini kemarin fontnya ngaco ya. kebayang mb naq bacanya sambil lier. alhamdulillah sdh dibenerin hehhe...
Hapus