Tak terkira euforia film AADC2 membanjiri beranda FB saya.
Dari status gaje sampai share link review filmnya yang spoiler. Saya –pada akhirnya-
latah menulis tentang AADC2 karena terentak pada ending sebuah review yang
menyebutkan bahwa, “Jogja dipilih sebagai setting AADC2 karena Jogja memang
berhati mantan.”
Saya sejujurnya agak tidak gembira jargon ‘Jogja Berhati Nyaman’ diplesetkan menjadi ‘Jogja Berhati Mantan’. Apalagi bila ‘mantan’ dimaknai sebagai seorang yang berkonotasi negatif. Walau sebagian kita menjadi mantan yang baik bagi mantan kita, tetapi diakui tidak diakui, dikatakan tidak dikatakan, mantan selalu berkaitan dengan sebuah rongrongan dan ancaman bagi keharmonisan sebuah pasangan.
Saya tidak akan membahas mantan karena terus terang, sejak
awal LINE heboh aplikasi cari alumni dan Rangga ikutan mencari Cinta, saya
agak-agak khawatir. Bayangkan berapa ribu hati yang akan mencari mantan belahan
hatinya dan membuat hati lain terluka. Bilanglah tidak terluka, yang jelas
ribuan hati itu akan sulit memokuskan kepalanya untuk bekerja juga tak nyenyak
tidur macam Cinta dan Rangga. Berantakan apa-apa yang sudah berjalan indah. Ini bahaya.
Nah, kenapa malah bahas mantan? Maaf saya suka khilaf orangnya ^_^
Oke kembali ke topik. Benarkah Jogja Berhati Mantan?
Secara pribadi, sebagai salah satu dari jutaan mantan
pelajar di Jogja, atmosfer Jogja jelas masih bersenyawa dalam diri saya bahkan
walau sudah sebelas tahun saya meninggalkannya. Hingga saat ini, segala hal
tentang Jogja menjadi penyumbang terbesar ide tulisan-tulisan fiksi saya. Dan
jargon plesetan Jogja Berhati Mantan membuat saya –iseng- menguji keabsahan
frasa tersebut melalui dua pertanyaan.
1. Apa yang terlintas pertama kali dalam benak saya
ketika mendengar kata ‘Jogja’?
2. Tempat apa yang paling ingin saya kunjungi/hal
apa yang paling ingin saya lakukan jika berkunjung ke Jogja?
Apakah dua pertanyaan ini mampu menguji keabsahan jargon
Jogja Berhati Mantan bagi saya? Mari kita lihat.
Pertanyaan pertama, apa yang terlintas dalam benak ketika
mendengar kata Jogja? Saya, selalu dan selalu teringat sebuah jalan lurus, dari
Ahmad Dahlan, menyeberang perempatan nol kilometer Jogja ke jalan Panempahan Senopati,
terus sampai ke tempat mangkal angkutan di Pasar Beringharjo.
Pasti ada yang langsung cie-cie, mengira saya mengenang
jalan itu karena selalu melewatinya berdua dengan mantan. Sayangnya, itu sama
sekali salah. Faktanya, seringkali saya melewati jalan itu seorang diri.
![]() |
Gedung Majalah Suara Muhammadiyah di Jl.Ahmad Dahlan |
Dahulu, saya menjadi reporter lepas di Majalah Suara
Muhammadiyah yang berkantor di Jalan Ahmad Dahlan. Setiap dua pekan sekali saya
rapat redaksi dan jam pulangnya bisa dipastikan sore hari. Awalnya, saya diajak
Mas Isngadi (reporter senior) untuk berjalan kaki sampai Pasar Beringharjo demi
menghemat ongkos. Namun seiring waktu, ada tak ada Mas Isngadi, ada tak ada
ongkos, saya secara impulsif berjalan kaki seorang diri. Menyusuri Ahmad
Dahlan, PKU Muhammadiyah, kantor pos, melewati tukang-tukang becak dan
lapak-lapak kaki lima yang mulai buka.
![]() |
0 km Jogja. Utara adalah Jl.Ahmad Dahlan, Selatan Jl.P.Senopati (jalan lurus yang selalu saya lewati). Timur ke Malioboro dan Barat ke alun-alun. fotonya mbah google. |
Saya masih bisa merasakan dengan jelas was-wasnya hati saya
ketika menyeberang perempatan nol kilometer yang tak pernah sepi. Lalu kelegaan
menguar ketika saya berhasil menapak trotoar
Jalan Panembahan Senopati yang asri. Dan saya selalu gembira melewati
lapak-lapak penjual lukisan di depan Gedung Agung yang rindang pepohon tua.
![]() |
Gedung Agung, teduh pepohon tua. Foto google. |
Ketika langkah saya menginjak daun-daun kering, nyaring
‘kres-kres’ di bawah sepatu menjadi backsound bagi hati dan kepala saya yang
riuh oleh monolog-monolog. Tentang diri dan kenaifan masa muda, tentang
hubungan-hubungan yang rumit dengan orang-orang juga kadangkala dengan Tuhan,
tentang masa depan yang ghaib, tentang segala hal yang melintas, saling-silang,
berkelindan.
Berjalan sendiri, di bawah bayang senja yang lolos dari deduan
pohon tua dengan rumit rumusan hidup yang berkecamuk di dalam hati juga kepala,
rasa-rasanya, itu adalah senja-senja terbaik selama saya di Jogja. Lantas pada
ujung kesunyian itu hati saya selalu melafalkan; “kelak aku akan merindukan
saat-saat ini. Saat berjalan sendiri dengan bebat pikiran yang tersesat-sesat.”
Dan ini benar terbukti. Setiap saya mendengar kata Jogja,
maka saya akan mengingat sebuah jalan lurus dengan telinga yang riuh oleh
nyaring dedaun kering yang terinjak sepatu dalam kesunyian hati tak terperi. Indah
bukan main.
Oke pertanyaan kedua. Hal apa yang paling ingin saya
lakukan/tempat apa yang paling ingin saya kunjungi selama di Jogja?
Jelas, saya ingin mengulang perjalanan di jalan lurus itu,
seorang diri pada senja hari, dan mendengar riuh hati saya bernyanyi bahwa saya
telah kembali meraup secawan kenang yang tercecer di sepanjang jalannya.
Pada penghujung 2013 saya dan keluarga berkesempatan ke Jogja.
Tapi saya belum berhasil mewujudkan keinginan itu. Barangkali esok entah kapan,
ketika anak-anak sudah mandiri dan kami berkesempatan kembali ke Jogja, saya
akan mencuri waktu untuk mengulang episode berjalan sendiri di jalan lurus itu.
Saya tahu banyak hal telah berubah di Jogja. Namun saya yakin, tiada yang lebih
cerlang dari sebuah kenang yang lusuh dan kita basuh dengan secawan rindu. Nah
jadi berkaca-kaca.
Jadi, setelah apa yang saya tulis di atas, apakah jargon
Jogja Berhati Mantan berlaku untuk saya?
Rasa-rasanya, saya lebih mengingat Jogja yang nyaman, yang
murah-meriah-manusiawi-selow ketimbang Jogja yang ingar dengan sederet
mantan-mantan. Lagipula, saya baru ingat, saya ini ternyata memang tidak punya
mantan selama di Jogja. Well done, antiklimaks mode on.
Cie cie itu mantan reporter udah nulis bertema mantan �� ntar nulis ah versi aku xixii
BalasHapuskota berhati mantan mah kalau buat saya SOLO, JOGJA itu kota penuh cerita cinta bersama mantan pacar yang kini jadi suami.. eh
BalasHapusmantannya bukan aku yaaaaaa
BalasHapushe he he
hwaaa, mas Issssss, kangen. terima kasih sudah baca dan meninggalkan jejak. *sungkem
HapusTulisan yg manis, mbak... :)
BalasHapusTulisan yg manis, mbak... :)
BalasHapusWeleh... mantan org koran rupanya.... uni baru 2 x nginjakkan kaki di yogya. Suka dgn kebudayaannya dan gak suka ama tukang becak di malioboronya. Hehehe
BalasHapusWeleh... mantan org koran rupanya.... uni baru 2 x nginjakkan kaki di yogya. Suka dgn kebudayaannya dan gak suka ama tukang becak di malioboronya. Hehehe
BalasHapusMantan komen nih... Mantan komen. Mantan tetangga di MP :p
BalasHapuspas lah mbak wiek jadi pujangga. lagi jalan2 sendirian di jogja aja bisa ditulis seromantis itu. aku mah kalo inget yg kayak gitu sekedar ngakak sendiri.hehehe
BalasHapusHmm, boro-boro mantan di yogya, ke yogya aja aku belom pernah, huhuhu, nanti mau ke sana sama suami :p
BalasHapusSalam,
Shera.