![]() |
foto dari google |
Saya mulai menuliskan ini dengan basmallah
sebab teringat kisah sahabat Nabi Saw, Ali Ra. Ali sedang dalam sebuah kancah
peperangan. Ali bersiap menghunuskan pedangnya kepada lawan ketika tiba-tiba
-dengan begitu cepat- sang lawan meludah ke wajah Ali. Alih-alih semakin
bernafsu menghunuskan pedang, Ali justru menurunkan pedangnya dan membuat sang
lawan terheran.
“Kenapa
urung membunuhku?”
Ali
berkata, “Tadi aku mengangkat pedang karena Allah. Tetapi setelah kau ludahi
wajahku, aku takut tusukan pedangku lebih karena nafsu amarahku kepadamu, bukan
karena Allah.”
Ya,
saya takut sekali apa yang saya tuliskan ini lebih karena nafsu ingin ‘menebas’
jari-jemari kaum nyinyirun yang melampaui batas. Sungguh, merugilah saya bila
melakukan ini hanya demi memperturutkan nafsu. Maka bismillah, semoga
apa yang saya tulis setelah saya menonton film Ayat-ayat Cinta 2 ini hanya
karena Dia saja.
Mereka yang
Mengaku Menjadi Bodoh Setelah Menonton AAC2
Saya
belum membaca novel AAC2. Tapi saya sudah membaca resensinya yang sangat
lengkap di sini. Sejujurnya, saya pun tidak menunggu-nunggu kehadiran film ini.
Tapi seorang teman, tanpa ada angin tiba-tiba chat soal film yang -waktu
itu- akan segera tayang di bioskop.
“Aku
takut mau nonton AAC2, takut merusak keindahan yang udah kuserap dari
novelnya,” begitu tulisnya.
Benar
saja, ketika film tayang, timeline facebook saya mulai ramai status yang
asyik. Begitupun review filmnya di internet, luar biasa. Luar
biasa membuat saya terkekeh geli.
“Fahri
itu manusia atau Nabi?”
“Fahri
paham agama tapi masukin perempuan bukan mahram ke rumahnya.”
“Fahri
tukang kawin.”
“Gampang banget Fahri poligami, padahal hukum
poligami itu harus pisah rumah.”
“Ini film yang kehilangan arah, film yang bikin
tidur, yang membuat bodoh…”
“Habiburrahman nyari-nyari
masalah, nih?”
Komentar yang lebih asyik
dari itu? Banyak!
Berbekal komentar-komentar itu
akhirnya saya berangkat ke bioskop. Tanpa ekspektasi apapun kecuali untuk
mendapat hiburan. Itu saja. Memangnya, apa yang akan saya dapat dari sebuah
film yang diproduksi MD Entertainment? Mereka sedang berbisnis dan bisnis
tentang untung rugi. Ingat berapa sesi Cinta Fitri dibuat? Demi apa sinetron
itu berpanjang dan berkelit-kelit kalau tidak karena permintaan pasar yang
masih tinggi dan artinya di situlah tambang rupiahnya.
Sekali lagi, saya hanya ingin
mencari hiburan. Dan, oh, ampuni hambaMu ini duhai Allah (karena Allah nggak
bisa saya modusin), dalam mencari hiburan itu sesungguhnya terselip secuil rasa
ingin membuktikan apakah film AAC2 ini memang begitu layak untuk dihina dan di-bully
habis-habisan.
Apakah Saya Kehilangan Daya Kritis?
Sebagai
produk budaya dan alat untuk mengekspresikan seni sekaligus media penyampai
pesan, sebuah film tentulah sempurna bila mengandung sepaket fungsi hiburan,
informasi dan edukasi. Di antara fungsi-fungsi itu, saya pribadi memang hanya
ingin terhibur dari AAC2 yang disajikan oleh Tuan Manoj.
Dan saya
terhibur.
Sepanjang film diputar, saya
tak ingin menendang kursi di depan saya, tidak ingin muntah, tidak ingin
mengumpat Fahri, juga tak ingin buru-buru mencari sosmed Kang Abik lalu
meluapkan emosi bahwa beliau telah membuat gara-gara dalam hidup saya
tersebab film based on novel-nya yang tak masuk nalar itu.
Saya jadi teringat seorang
yang sehabis menonton film AAC2 sekonyong-konyong berkomentar ingin ‘mencubit’
Kang Abik saking gedegnya. Padahal beliau mengaku belum membaca apa yang
ditulis Kang Abik dalam novelnya. Saya tak gemar mendengar Ayu Ting-Ting, namun
situasi ini membuat saya ingin bernyanyi Alamat Palsu ^_^
Balik ke kondisi saya
sekeluarnya dari bioskop. Saya merasa sehat dan cukup terhibur walau alur
cerita terasa aneh dan juga beberapa bagian kurang logis. Tapi itu bukan salah
Kang Abik, kan?
Saya berprasangka baik pada
Kang Abik terkait alasan Fahri menerima pengemis wanita tinggal di rumahnya,
juga tentang operasi wajah Aisha. Di novel saya yakin ada banyak penjelasan untuk
ini sehingga sang tokoh memutuskan berbuat demikian. Bila itu tidak tergambar
dalam film, apakah tidak sebaiknya kita bertanya pada rumput yang kering penulis
skenarionya bukan malah ingin ‘mencubit’ penulis novelnya?
Soal karakter Fahri, saya
tidak juga merasa aneh. Tidak merasa Fahri itu malaikat yang tanpa nafsu
amarah. Nah, saya jadi teringat lagi komentar “Fahri itu Nabi atau manusia?”
Untuk yang berkomentar
demikian, ayo ya, Nabi itu manusia, lho. Fahri juga manusia. Apa kita pikir
Nabi-nabi itu tak pernah marah, tak pernah kecewa, tak pernah sedih? Fahri dan
Nabi itu sama manusianya yang punya nafsu. Kalau Fahri tergambar pandai menahan
amarah, ya memang dia berusaha meneladani akhlak Nabi khususnya Muhammad Saw.
Saya sama sekali bukan ahli
sastra dan tak mengerti apakah novel AAC itu termasuk ke dalam jenis sastra
profetik yang memiliki semangat kenabian dalam kisahnya. Tapi melihat karakter
Fahri yang dilekatkan Kang Abik, saya yakin Kang Abik ingin mengangkat itu.
Mengangkat bahwa kita ini muslim, dan setiap muslim adalah agen. Menjadi agen
Islam itu jelas, akhlaknya harus Qur’an, harus mencontoh Nabi Muhammad Saw yang
lembut hati dan piawai menahan amarah.
Banyak sekali tuntunan Islam
terkait sabar dan menahan amarah. Bahkan, amarah yang terkesan sepele ini (yang
kita merasa berhak menyindir orang, berteriak, menghardik) dibalas Allah dengan
surga apabila kita mampu menahannya. Jangan dikira hal yang se-sepele menahan amarah
ini gampang dilakukan. Sulit. Sulit sekali. Karenanya hanya segelintir saja
orang yang bisa mengaplikasikannya dan begitu ada yang bisa –katakanlah Fahri-
kita langsung judge dia orang aneh.
Kita yang tak pandai menahan amarah lalu kita teraneh-aneh dengan orang
yang kalem. Wow...
Lanjut, soal Fahri yang tak
pernah mikir ke luar uang untuk menolong orang.
Begini, apakah kamu pernah
dalam kondisi ekonomi yang pas, namun begitu ada sebuah proyek amal digelar, kamu
malah melepas harta terbaikmu untuk proyek amal itu?
Atau, utangmu di bank ada 300
juta dan asetmu yang aman adalah sebidang tanah seharga 500 juta. Begitu kamu
dengar kabar ada masjid di sebuah pelosok butuh dana pengembangan, kamu tak
pikir apapun lagi kecuali tergerak memberikan sertifikat sebidang tanahmu
kepada panitia masjid.
Apa kamu asing dengan contoh
itu? Apa kamu masih berpikir, sejenak, atau mungkin perlu tiga belas malam
bertapa di Gunung Sibayak sana untuk mengambil potensi kebaikan itu atau tidak?
Kalau kamu jenis orang yang
terlalu banyak mikir atau malah malas berpikir atas peluang kebaikan, ya memang
tak akan pernah menganggap logis karakter Fahri. Tapi itu kamu. Itu kita. Sepatu
kita bukan sepatu Fahri. Dan karakter Fahri yang gampangan ngeluarin uang
itu ada di sekeliling saya. Bukan satu, tapi beberapa. Di luaran sana, saya
yakin jumlahnya lebih banyak. Dan, soal keluar uang untuk menolong orang ini
bukan soal kaya lagi tajir melainkan soal iman dan mental.
Jadi, yang saya tonton itu
Fahri manusia yang berusaha meneladani NabiNya Muhammad Saw. Fahri bukan malaikat
yang tanpa nafsu. Buktinya dia masih menye-menye soal perasaan, kan? Dan itu
poin minus dia, kan? Jadi, bagaimana dia masih dianggap sempurna?
Lanjut tentang wanita yang
mengemis minta dinikahi.
“Nikahi aku, Fahri!”
Njelehi? Nggilani?
Buat saya, eksekusi adegan
itu memang lebay. Lebay banget pun. Tapi kalau kamu emosi dengan kelebay-an
ini, mestinya kamu tidak marah ke penulis novelnya. Datanglah kepada Tuan Manoj
dan katakan dengan santun, “Adegan nikahi aku Fahri itu membuat saya
malu sebagai wanita, Tuan.” Siapa tahu setelah itu kamu diajak main di produksi
film selanjutnya. Rezeki, kan?
Saya lebih senang
menyingkirkan kelebayan adegan itu secepat yang saya bisa dan mengembalikan poin
yang menjadi dasar dalam adegan itu ke ranah ilmu agamanya Fahri, agamanya
saya, agamanya kamu juga. Bahwa tidak sama sekali salah wanita minta dinikahi
oleh pria. Dalam Islam, harkat martabat wanita tak turun ke dengkul hanya
karena ia minta dinikahi atau melamar lelaki. Tinggal caranya saja yang perlu dipelajari.
Nah, yang lebih lucu lagi,
ada yang menghakimi kalau mau poligami harus bisa punya rumah sebanyak
istrinya. Nggak boleh istri-istri tinggal serumah. Wow, apakah kita sudah
belajar bahwa segala yang kita tulis termasuk komen-komen itu kelak ada
pertanggungjawabannya? Darimana dalil orang poligami itu tak boleh menyatukan
istri-istrinya dalam satu naungan?
Ah, terlalu banyak kegelian
saya setelah menonton AAC2. Bukan geli filmnya, tapi geli karena menyadari apa
yang dinyinyirkan orang-orang ternyata sangat jauh dari ilmu.
Sebentar, saya bukan sok
berilmu. Walah, jauh kemana-manalah kalau saya dibanding Kang Abik dan Mas
Fahri. Tapi satu hal, saya selalu berusaha mengingat ini; perasaan (senang
nggak senang, puas nggak puas) itu bukan tentang benar atau salah, melainkan tentang sikap.
Sah-sah saja tidak senang dan tidak puas lantas mengkritik, tapi lakukan dengan cara baik. Dengan nuansa yang dekat
dengan ilmu dan ditujukan kepada alamat yang tepat.
Komentar orang di bawah ini,
walau tidak sepenuhnya benar, tetapi cukup obyektif dan mencuatkan optimisme.
"Novel AAC2 kan penuh nilai islami, gak mungkinlah seorang MP mau
membuat filem tentang dakwah. Wajar hasilnya gini"
Bagaimanapun, film ini adalah
jalan dakwah berat yang diambil Kang Abik untuk pangsa anak-anak muda Islam
yang belum tersentuh datang ke pengajian. Sementara industri terus berbicara
untung-rugi. Tak peduli alur yang akan membuat penonton pintar menjadi nyinyir. Tak peduli juga betapa sukarnya mengakomodasi setumpuk nilai baik dari novel
setebal 600 lebih halaman, selama berpotensi banyak untung, mainkan.
Andai ada milyader muslim
yang kontribusi dakwaknya tidak main-main dan mau memproduksi film-film dakwah
termasuk AAC ini, saya yakin arus kaum nyinyirun tidak akan setinggi ini.
Sebagai penutup, tersebut seorang teman berkesempatan ‘menyusup’ ke dalam tim
kecil yang membersamai Kang Abik dalam sebuah perjamuan makan malam. Malam itu,
Kang Abik berkisah tentang Hasan Ibn Tsabit. Ialah sahabat Rasululllah Saw yang
membela Islam dan RasulNya dengan syair-syairnya. Hasan Ibn Tsabit berjihad
dengan lisan dan tulisan.
Masa sekarang, ada Kang Abik yang berperan seumpama Hasan Ibn
Tsabit itu. Beliau telah melakukan itu dengan sangat baik dalam karya-karya
novelnya. Bila kemudian adaptasi filmnya banyak sekali kekurangan, maka inilah
wajah perfilman di Negara kita. Mari kritisi bersama agar mutu film kita
semakin baik. Kritik yang membangun bukan yang gagal fokus, melebar, nyinyir dan kita malah akan repot
esok ketika hari perhitungan.
Terakhir sekali, saya teringat sebuah hadits dari Abu
Hurairah. Nabi Saw bersabda; “Islam datang dalam keadaan yang asing, akan
kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing”
(HR. Muslim no. 145).
Duhai, beruntunglah Kang Abik
yang memunculkan tokoh Fahri yang dianggap asing. Dan beruntunglah kita yang
berdiri di sisi orang-orang asing ini.
Allah bishawab…
Sukaaaaa reviewnyaaa... Love it :*
BalasHapusini bikinnya sehari semalam :D
HapusSama pemikirannya. Keren mbak.
BalasHapusalhamdulillah, sungkem ke suhu....
HapusNah kayak begini harusnya.
BalasHapusAneh aja orang yang nganggap Fahri itu manusia setengah dewa.
Tapi, barangkali, seumur hidupnya belum pernah bertemu orang sebaik Fahri. Kasian...
wah kudu nonton dulu aku, geregetan rasanya
BalasHapusNice review mba, aku jadi tercerahkan kembali setelah bbrp hari berkutat di berbagai review yg bikin galau.
BalasHapusKalimat " Andai ada milyader muslim yang kontribusi dakwaknya tidak main-main dan mau memproduksi film-film dakwah termasuk AAC ini, saya yakin arus kaum nyinyirun tidak akan setinggi ini"
BalasHapusini kontradiktof banget dengan kalimat mba di kalimat sebelumnya
"Begini, apakah kamu pernah dalam kondisi ekonomi yang pas, namun begitu ada sebuah proyek amal digelar, kamu malah melepas harta terbaikmu untuk proyek amal itu?
Atau, utangmu di bank ada 300 juta dan asetmu yang aman adalah sebidang tanah seharga 500 juta. Begitu kamu dengar kabar ada masjid di sebuah pelosok butuh dana pengembangan, kamu tak pikir apapun lagi kecuali tergerak memberikan sertifikat sebidang tanahmu kepada panitia masjid.
Apa kamu asing dengan contoh itu? Apa kamu masih berpikir, sejenak, atau mungkin perlu tiga belas malam bertapa di Gunung Sibayak sana untuk mengambil potensi kebaikan itu atau tidak?
Kalau kamu jenis orang yang terlalu banyak mikir atau malah malas berpikir atas peluang kebaikan, ya memang tak akan pernah menganggap logis karakter Fahri. Tapi itu kamu. Itu kita. Sepatu kita bukan sepatu Fahri. Dan karakter Fahri yang gampangan ngeluarin uang itu ada di sekeliling saya. Bukan satu, tapi beberapa. Di luaran sana, saya yakin jumlahnya lebih banyak. Dan, soal keluar uang untuk menolong orang ini bukan soal kaya lagi tajir melainkan soal iman dan mental"
Mba di tulisannya seolah-olah bilang bahwa kebaikan Fahri itu sangat wajar, dan org2 yg nganggap itu ngga masuk akal adl org2 yg kira-kira " Malah kasihan ga pernah nemu orang baik">
lhaaa bukinya berapa banyak muslim yg berlimpah ruah hartanya dan seperti mba bilang di kalimat "andai ada milyarder muslim dst itu'
Nyatanya ngga ada toh? atau belum ada. Ini membuktikan bahwa sangat wajar org menganggap penggambaran kebaikan fahri di Film sangat lebay.
Jadi yah kembali ke selera, namanya juga review film. Sah-sah aja ada yg berpandangan lebay, ngga masuk akal, krn kenyataannya memang gitu. Ngga bisa dipungkiri, kalo pria tampan, pintar, sangat kaya raya, soleh, digandrungi wanita2 sangat cantik, itu serasa seperti ngga menjejak bumi.
Kalimat ini lagi " "Novel AAC2 kan penuh nilai islami, gak mungkinlah seorang MP mau membuat filem tentang dakwah. Wajar hasilnya gini"
Ya sudah, org2 mengkritik juga ya sekalian mengkritik si MP itu, bikin film kok ya melenceng bgt dr bukunya.
So, mau review org jelek ya itu hak org, wong perasaan dia saat nonton seperti itu. sama dengan mba nya nganggap kalo filmya keren, ya sah-sah aja. kalau semua film hrs dianggap bagus sama org ya semua film bakal dpt pernghargaan. Ayolah jangan defensif melulu, terima kritik sebagai sarana untuk memperbaiki diri, bukan malah ngata2in org yg ngritik sbg org yang ngga ngerti film. Org ngereview mah banyakan jujur sesuai apa yg dirasakan saja saat nonton. apalagi membandingkan dnegan buku, wah ya ngga begitu. Buku porsinya lain, film porsinya lain.
Apalagi kalimat terakhir , seolah2 org2 yg mengkritik film tsb adlah org2 yg berseberangan dg nilai2 Islam. Duh kejauhan deh kayaknya. Kritik film is about film nya, soal nilai-nilai yg mau disampaikan ya tetep kebaikan, tapi eksekusi film yg lebay itu yg dikomenin org2.
Just simple, ngga perlu mereview review orang lain. Berikan saja pendapat mbanya ttg film ini.
hehehe, itu 'cadar' anonimnya dibuka dulu, biar ngomongnya nggak megap-megap. btw, thx sudah mampir *duagelasesteh
Hapusslmt sis Wiwik Waluyo , semoga sehat selalu, panjang umur, makin sukses ya
BalasHapus