Laman

Selasa, 26 April 2016

Cerpen di Riau Pos; PULANG


Ini adalah cerpen lama yang mangkrak di folder laptop selama bertahun-tahun. Setelah diedit sedikit (dan ketahuan ngeditnya nggak rapi xixixi) lalu mendapat ilham untuk mengirimkannya ke Riau Pos 14 April 2016. Alhamdulillah tayang Minggu 24 April 2016. Selamat membaca...





PULANG

Oleh: Wiwik Waluyo

 “Pulang?”

Seperti diserbu ribuan laron yang biasanya mengerubungi lampu-lampu neon di gubugnya pada malam hari, terangnya pikiran Anin pagi itu jadi sedikit memburam. Sesorang di seberang sana, yang tiba-tiba menghubunginya padahal mengirimkan pesan singkat saja sangat jarang. Apalagi menelepon menanyakan kabar. Lalu tiba-tiba menghubunginya dan memintanya untuk pulang.

Pulang?

“Kita cuma punya waktu tiga hari. Kalau hari ini Adek berangkat ke Tembilahan, besok pagi bisa nyebrang dan lusa kita ke bank. Tagihan itu harus cair dalam tiga hari ini. Ya?”

Anin lekas menimbang-nimbang. Saat ini sudah pukul 10.00 Wib. Kalau sekarang ia berkemas, paling lambat pukul 14.00 nanti ia bisa menumpang travel. Paling tidak lepas magrib baru sampai Tembilahan. Menginap semalam di losmen dan check out lepas sarapan esok harinya. Pukul 09.00 pagi ia sudah berspeedboat ria menuju Batam. Dan kehidupannya kembali normal.

 “Halo, Dek…pulang, ya?”

Suaminya kembali bersuara di seberang sana. Ia meminta. Sungguh meminta kepulangan Anin istrinya. Jika tidak karena Anin, lebih tepatnya tanda tangan Anin yang harus terbubuh di atas cek untuk pencairan tagihan pekerjaan CV yang di atasnamakan Anin, belum tentu ia meminta dengan sesungguh ini. Sekali lagi suara di seberang coba membujuknya.

“Dek, pulang, ya. Abang minta maaf nggak bisa jemput seperti janji abang. Maaf, ya…”

Ini adalah tentang maaf yang layu. Permohonan yang telah kehilangan kekeramatannya sebab terlanjur menjadi lip services belaka.

***

Anin mengalah. Bersama Yana putri kecilnya ia menumpang travel menuju Tembilahan. Setelah berjalan empat jam, Anin dapat melihat jingga menyepuh rawa-rawa dan membuat bayang senja pada muka air tenangnya.      

Satu persatu penumpang turun.

“Turun di mana, Kakak?”

Supir travel menoleh ke belakang. Muka kusamnya menghujam tepat ke wajah Anin yang tampak gelagapan. Turun di mana? Menginjak bumi rawa ini saja baru pertama, mana ia tahu ke mana hendak turun.

“Tolong turunkan saya di penginapan, ya, Bang,” pinta Anin akhirnya.

 Dan sang supir menurunkan ibu beranak itu di depan sebuah losmen. Sekelebat hal buruk segera Anin enyahkan. Sayup azan magrib mengiringi langkahnya memasuki kamar seharga dua ratus ribu rupiah. Sungguh ia tak ingin memikirkan apapun juga, namun pikirannya terbang dengan sendirinya.

“Lebih baik menikah dengan laki-laki yang mencintai lebih banyak daripada dirimu mencintainya. Ia akan mengerti dan selalu berusaha memahamimu.”

Teringat nasihat ibunya lebih lima tahun lalu. Kalimat itu tiba-tiba memantul dari tiap sisi dinding kamar losmen. Mengerti lebih banyak? Meninggalkan anak dan istri di rumah papan yang atap sengnya selalu tertembus air jika hujan dan membuat lantainya basah di mana-mana. Tak juga ada penerangan kecuali mesin genset yang hanya dioperasikan pukul enam sore sampai sembilan malam saja.

Lalu setelahnya berteman temaram teplok kecil yang meninggalkan jejak hitam di dinding papan dan menjadi pemandangan paling getir ketika berpadu dengan irama pintu yang jika dibuka tutup  akan bersuara ngieeek…ngieeek sebab engsel yang tak lagi rata. Karenanya jangan tanyakan apa yang bisa Anin update dari alat elektronik yang akhirnya hanya jadi pelengkap penderita di gubug artistik itu. Itu hanya akan memperbanyak duri yang menggores-gores hatinya. Sementara suaminya, dengan ringan saja atas nama tugas-tugasnya tak bisa meninggalkan Batam yang gemerlap.

Hah, padahal tugas apa? Memiliki perusahaan pribadi tentu tidak terikat kentungan eight to five dan enam hari kerja, kan? Lalu kenapa seolah hanya Anin saja yang pantas bertanggung jawab atas puluhan hektar kebun sawit buah warisan mertua yang lama tak terawat itu?  Tanpa sedikitpun suaminya merasa berat hati, paling tidak telah meninggalkan anak nun jauh di jalur Lintas Timur Sumatera yang sepi dan angker.

Anin melenguh mengingat itu.

***

Taxi-taxiii…Aqua-qua-quaaa…keripik singkooong, tiga sepuluh ribuuu…

            Kolaborasi suara-suara bariton menjadi backsound Pelabuhan Sekupang yang basah tengah hari itu. Genang air pada lekuk tanah berkilau-kilauan diterpa matahari seronok pukul dua siang. Pria-pria kekar dan tak jarang sangar memberondong Anin yang kepayahan menggendong Yana dan menjinjing dua buah tas yang terlihat amat berat. Bisa ditaksir, bobot barang plus anak yang digendong melebihi bobot tubuhnya sendiri.

Anin menyandarkan tubuhnya yang terasa menciut  pada tiang beton beranda pelabuhan. Gurat lelah jelas terpampang pada wajahnya yang tanpa make up. Perjalanan Tembilahan-Batam selama lima jam memang tak membuatnya mabuk secara fisik. Namun batinnya sempoyongan menahan tekanan.

Bukan dengan keikhlasannya sendiri Anin pulang, tepatnya hanya diminta pulang. Untuk sebuah urusan yang memerlukan kehadiran dirinya. Pun tanpa dijemput. Dan ia tak kunjung bisa menghadirkan setitik saja rasa yakin, akankah beban itu berakhir dengan kepulangannya.

 Anin menurunkan Yana dan membiarkannya bergelayut pada pahanya yang kering. Kemudian  mengeluarkan hand phone dan memencet-mencet keypad-nya. Sesekali terlihat menelepon, sesekali memainkan keypad. Di antaranya terdengar dengus napas, berat.

Kecut dilihat wajah Yana yang merengek-rengek minta dibelikan es krim. Hampir tiga puluh menit dan seseorang yang ditunggunya dan kemarin bersungguh-sungguh memintanya pulang tak kunjung datang.  Begitu mengesalkan. Padahal sudah dikabarkan dengan amat jelas, satu jam lagi mereka sampai. Tadi ketika speedboat yang mereka tumpangi bersandar di pelabuhan Moro. Dan barangkali, ini akan menjadi awal yang sungguh tak indah setelah lima bulan terpisah.

***

“Batam Center delapan puluh ribu, Kak. Sudah murah kali itu,” rayu seorang sopir taksi dengan logat Batak, kental.

Anin tetap  bergeming. Ia masih berpikir bahwa suaminya benar terjebak macet. Oh, macet? Pada ruas jalan mana dari kota ini yang pernah terlihat macet. Bahkan pada jam-jam sibuk pun arus kendara tetap lancar di kota ini.

“Ayah lama banget, sih, Ma,” rengek Yana mulai menggoyahkan hatinya.

Anin mulai kesal. Jengkel. Ia merasa hidupnya ke depan masih akan sama saja. Diabaikan. Buktinya, bahkan hanya untuk sekedar menyenangkan hatinya saja setelah sekian lama berpisah dengan menjemput tepat waktu, tak dilakukan.

“Jadi taksinya, Kak?” gelegar calo taksi lagi-lagi mengusir gundahnya.

Pada menit hampir keempat puluh , sesaat ketika ia memutuskan untuk menumpang taksi saja, sebuah Rover silver yang begitu dikenalinya mendekat. Membunyikan klakson mengusir sopir taksi yang masih mendekati Anin.

“Maaf, macet, Dik…,” tergopoh seorang lelaki yang menyebut dirinya abang pada Anin. Ia keluar dari mobil dan menghampiri mereka. Walau getir, perempuan itu menyalami dan mencium punggung tangan sang abang yang tak lain adalah suaminya. Lelaki itu kemudian berjongkok dan mengangsurkan sekotak es krim mini concerto kegemaran putrinya. Melihat Yana begitu gembira, hati Anin meleleh seketika.

***

Rover silver mulai merangkak. Meninggalkan  kompleks Pelabuhan yang membuat pekak. Menyusuri jalan-jalan yang mulus dan tak pernah macet, membuat hati Anin kian berdesir. Bukit-bukit cadas, telaga Seiladi yang sendu dibayang pucuk-pucuk pinus, rumah-rumah liar kardus dan tripleks di belakang kompleks elit yang kontradiktif, ooh Batam. Pada kota kecil ini pernah ia tautkan segenap cinta. Cinta yang murni. Cinta yang tak ingin ia gali sejauh mana hatinya telah dalam menyemai bibit-bibitnya. Dahulu.

Anin terpaku sepanjang perjalanan. Sedangkan Yana di kursi belakang asyik dengan es krim yang lima bulan lalu jarang ia dapatkan. Sementara sang suami dari belakang kemudi terus menanyakan ini-itu tanpa canggung. Tanpa merasa bahwa perempuan di sampingnya itu tengah menakar-nakar. Rasa yang kian tawar. 

“Ada apa?” ulang lelaki itu. Entahlah. Anin merasa tak yakin adakah benar ia sungguh telah pulang.

Pulang? Adakah ia telah benar pulang, menjejak pada tanah yang sempat ingin ia tinggalkan. Semua begitu kabur bagi Anin ketika tiba-tiba waktu dua tahun yang mereka sepakati untuk Long Distance Love hanya menjadi lima bulan saja. Dua tahun, atau bahkan selamanya, telah pernah ia benamkan sebuah kota bernama Batam pada lubang yang paling dasar di hatinya. Hingga kakinya begitu lumpuh. Memorinya berkunang, slide berputar seolah mendobrak kesadaran. Ia  benar telah pulang. Hatinya kian berdesir-desir.

Memasuki kompleks perumahan mereka, Anin kian terpana dengan jalan belakang kompleks yang telah mulus menghubungkan beberapa kompleks perumahan. Ia terkagum-kagum dengan cepatnya pembangunan, namun juga getir sebentar lagi akan kembali memasuki rumah yang sama. Rumah di kompleks mewah yang dingin. Rumah yang hanya menyimpan raga-raga dari panas dan hujan. Sebuah rumah yang penuh sesak dengan perabot kehampaan. Bukan rumah bagi jiwa-jiwa yang hangat dan penuh cinta.

***

“Sudah sampai, Dik,” lirih sang suami menghantarkan Anin ke alam nyata.

Rumah dua lantai bercat putih masih seperti lima bulan lalu saat Anin meninggalkannya. Hanya saja, pohon markisa yang dulu ia tanam dan masih malu bertumbuh sekarang telah merambat kian kemari di pagar depan rumah. Mulai berbunga dan sebentar lagi berbuah. Ada getar yang menghangatkan hatinya. Paling tidak, pohon markisa itu bersuka cita atas kehadirannya, begitu pikirnya.

Beberapa pot adenium yang tampak tak terurus juga tengah memamerkan kembang dengan warna-warna tercerahnya. Anin tambah bersuka cita. Tanaman-tanaman itu seolah mengerti bahwa ia akan pulang. Bahwa ia akan kembali berbicara dengan mereka. Merawat penuh khidmat seolah tanaman itu mengerti apa yang ia maksudkan.

Suka cita itu seketika redup. Matanya tertumbuk pada dua pot aglaonema Lady Valentine hadiah dari suaminya satu tahun lalu. Hadiah yang tak disangka-sangka. Sebuah kejutan langka. Bahkan sejak mereka menikah empat tahun sebelumnya, baru kali itu sang suami berinisiatif memberikannya hadiah.

Sekarang di hadapannya hanya ada sisa batang dan akar yang mengering. Memang telah sungkan hidup ketika ia tinggalkan. Dan saat ini, saat dirinya kembali pulang, Lady Valentine itupun telah sebenar berpulang. Anin masygul. Matanya mengembun. Jiwanya mengelana bersama doa. Semoga, tak sesingkat itu pula usia kasih sayang sang suami padanya. Tak sepenggalan kisah Lady Valentine.

“Dik,” panggil suaminya kencang dari dalam rumah, “Abang langsung ke lapangan lagi, ya. Mungkin pulang malam. Besok pagi jangan lupa siap-siap urusan kita ke bank!”

Sang suami memang terlalu sibuk. Tak ada basa-basi penyambutannya, bahkan sekadar mengharapkan duduk dan menikmati jamuan bersama untuk pertama kalinya setelah lama berpisah pun tidak.

Sekarang Anin sebenar sadar; ia telah pulang! []

Medan, April 2016


2 komentar:

  1. keren, sampai akhirnya nangkring di media :)

    salam hangat dari jogja
    jarwadi

    BalasHapus
  2. Rasa2nya noni pernah denger cerita ini aslinya loh kak wik,hihi jadi kangen ririn trus bronis selai stroberinya kakak������

    BalasHapus

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.