Ini adalah cerpen lama yang mangkrak di folder laptop selama bertahun-tahun. Setelah diedit sedikit (dan ketahuan ngeditnya nggak rapi xixixi) lalu mendapat ilham untuk mengirimkannya ke Riau Pos 14 April 2016. Alhamdulillah tayang Minggu 24 April 2016. Selamat membaca...
PULANG
Oleh: Wiwik Waluyo
“Pulang?”
Seperti diserbu ribuan
laron yang biasanya mengerubungi lampu-lampu neon di gubugnya pada malam hari,
terangnya pikiran Anin pagi itu jadi sedikit memburam. Sesorang di seberang
sana, yang tiba-tiba menghubunginya padahal mengirimkan pesan singkat saja sangat
jarang. Apalagi menelepon menanyakan kabar. Lalu tiba-tiba menghubunginya dan
memintanya untuk pulang.
Pulang?
“Kita
cuma punya waktu tiga hari. Kalau hari ini Adek berangkat ke Tembilahan, besok
pagi bisa nyebrang dan lusa kita ke bank. Tagihan itu harus cair dalam tiga
hari ini. Ya?”
Anin lekas
menimbang-nimbang. Saat ini sudah pukul 10.00 Wib. Kalau sekarang ia berkemas,
paling lambat pukul 14.00 nanti ia bisa menumpang travel. Paling tidak lepas
magrib baru sampai Tembilahan. Menginap semalam di losmen dan check out lepas sarapan esok harinya.
Pukul 09.00 pagi ia sudah berspeedboat
ria menuju Batam. Dan kehidupannya kembali normal.
“Halo, Dek…pulang, ya?”
Suaminya kembali
bersuara di seberang sana. Ia meminta. Sungguh meminta kepulangan Anin
istrinya. Jika tidak karena Anin, lebih tepatnya tanda tangan Anin yang harus
terbubuh di atas cek untuk pencairan tagihan pekerjaan CV yang di atasnamakan
Anin, belum tentu ia meminta dengan sesungguh ini. Sekali lagi suara di
seberang coba membujuknya.
“Dek,
pulang, ya. Abang minta maaf nggak bisa jemput seperti janji abang. Maaf, ya…”
Ini adalah tentang maaf
yang layu. Permohonan yang telah kehilangan kekeramatannya sebab terlanjur
menjadi lip services belaka.
***
Anin mengalah. Bersama
Yana putri kecilnya ia menumpang travel menuju Tembilahan. Setelah berjalan
empat jam, Anin dapat melihat jingga menyepuh rawa-rawa dan membuat bayang
senja pada muka air tenangnya.
Satu persatu penumpang
turun.
“Turun di mana, Kakak?”
Supir travel menoleh ke
belakang. Muka kusamnya menghujam tepat ke wajah Anin yang tampak gelagapan.
Turun di mana? Menginjak bumi rawa ini saja baru pertama, mana ia tahu ke mana
hendak turun.
“Tolong turunkan saya
di penginapan, ya, Bang,” pinta Anin akhirnya.
Dan sang supir menurunkan ibu beranak itu di
depan sebuah losmen. Sekelebat hal buruk segera Anin enyahkan. Sayup azan magrib
mengiringi langkahnya memasuki kamar seharga dua ratus ribu rupiah. Sungguh ia
tak ingin memikirkan apapun juga, namun pikirannya terbang dengan sendirinya.
“Lebih
baik menikah dengan laki-laki yang mencintai lebih banyak daripada dirimu
mencintainya. Ia akan mengerti dan selalu berusaha memahamimu.”
Teringat nasihat ibunya
lebih lima tahun lalu. Kalimat itu tiba-tiba memantul dari tiap sisi dinding
kamar losmen. Mengerti lebih banyak?
Meninggalkan anak dan istri di rumah papan yang atap sengnya selalu tertembus
air jika hujan dan membuat lantainya basah di mana-mana. Tak juga ada
penerangan kecuali mesin genset yang hanya dioperasikan pukul enam sore sampai
sembilan malam saja.
Lalu setelahnya
berteman temaram teplok kecil yang meninggalkan jejak hitam di dinding papan
dan menjadi pemandangan paling getir ketika berpadu dengan irama pintu yang jika
dibuka tutup akan bersuara ngieeek…ngieeek sebab engsel yang tak
lagi rata. Karenanya jangan tanyakan apa yang bisa Anin update dari alat elektronik yang akhirnya hanya jadi pelengkap
penderita di gubug artistik itu. Itu hanya akan memperbanyak duri yang
menggores-gores hatinya. Sementara suaminya, dengan ringan saja atas nama
tugas-tugasnya tak bisa meninggalkan Batam yang gemerlap.
Hah, padahal tugas apa?
Memiliki perusahaan pribadi tentu tidak terikat kentungan eight to five dan enam hari kerja, kan? Lalu kenapa seolah hanya
Anin saja yang pantas bertanggung jawab atas puluhan hektar kebun sawit buah
warisan mertua yang lama tak terawat itu?
Tanpa sedikitpun suaminya merasa berat hati, paling tidak telah
meninggalkan anak nun jauh di jalur Lintas Timur Sumatera yang sepi dan angker.
Anin melenguh mengingat
itu.
***
Taxi-taxiii…Aqua-qua-quaaa…keripik
singkooong, tiga sepuluh ribuuu…
Kolaborasi suara-suara bariton
menjadi backsound Pelabuhan Sekupang
yang basah tengah hari itu. Genang air pada lekuk tanah berkilau-kilauan
diterpa matahari seronok pukul dua siang. Pria-pria kekar dan tak jarang sangar
memberondong Anin yang kepayahan menggendong Yana dan menjinjing dua buah tas
yang terlihat amat berat. Bisa ditaksir, bobot barang plus anak yang digendong
melebihi bobot tubuhnya sendiri.
Anin menyandarkan
tubuhnya yang terasa menciut pada tiang
beton beranda pelabuhan. Gurat lelah jelas terpampang pada wajahnya yang tanpa make up. Perjalanan Tembilahan-Batam
selama lima jam memang tak membuatnya mabuk secara fisik. Namun batinnya
sempoyongan menahan tekanan.
Bukan dengan
keikhlasannya sendiri Anin pulang, tepatnya hanya diminta pulang. Untuk sebuah
urusan yang memerlukan kehadiran dirinya. Pun tanpa dijemput. Dan ia tak
kunjung bisa menghadirkan setitik saja rasa yakin, akankah beban itu berakhir
dengan kepulangannya.
Anin menurunkan Yana dan membiarkannya
bergelayut pada pahanya yang kering. Kemudian
mengeluarkan hand phone dan
memencet-mencet keypad-nya. Sesekali
terlihat menelepon, sesekali memainkan keypad.
Di antaranya terdengar dengus napas, berat.
Kecut dilihat wajah Yana
yang merengek-rengek minta dibelikan es krim. Hampir tiga puluh menit dan
seseorang yang ditunggunya dan kemarin bersungguh-sungguh memintanya pulang tak
kunjung datang. Begitu mengesalkan.
Padahal sudah dikabarkan dengan amat jelas, satu jam lagi mereka sampai. Tadi
ketika speedboat yang mereka tumpangi
bersandar di pelabuhan Moro. Dan barangkali, ini akan menjadi awal yang sungguh
tak indah setelah lima bulan terpisah.
***
“Batam Center delapan
puluh ribu, Kak. Sudah murah kali itu,” rayu seorang sopir taksi dengan logat
Batak, kental.
Anin tetap bergeming. Ia masih berpikir bahwa suaminya
benar terjebak macet. Oh, macet? Pada
ruas jalan mana dari kota ini yang pernah terlihat macet. Bahkan pada jam-jam
sibuk pun arus kendara tetap lancar di kota ini.
“Ayah lama banget, sih,
Ma,” rengek Yana mulai menggoyahkan hatinya.
Anin mulai kesal.
Jengkel. Ia merasa hidupnya ke depan masih akan sama saja. Diabaikan. Buktinya,
bahkan hanya untuk sekedar menyenangkan hatinya saja setelah sekian lama
berpisah dengan menjemput tepat waktu, tak dilakukan.
“Jadi taksinya, Kak?”
gelegar calo taksi lagi-lagi mengusir gundahnya.
Pada menit hampir keempat
puluh , sesaat ketika ia memutuskan untuk menumpang taksi saja, sebuah Rover
silver yang begitu dikenalinya mendekat. Membunyikan klakson mengusir sopir
taksi yang masih mendekati Anin.
“Maaf, macet, Dik…,”
tergopoh seorang lelaki yang menyebut dirinya abang pada Anin. Ia keluar dari
mobil dan menghampiri mereka. Walau getir, perempuan itu menyalami dan mencium
punggung tangan sang abang yang tak lain adalah suaminya. Lelaki itu kemudian berjongkok
dan mengangsurkan sekotak es krim mini concerto kegemaran putrinya. Melihat
Yana begitu gembira, hati Anin meleleh seketika.
***
Rover silver mulai
merangkak. Meninggalkan kompleks
Pelabuhan yang membuat pekak. Menyusuri jalan-jalan yang mulus dan tak pernah
macet, membuat hati Anin kian berdesir. Bukit-bukit cadas, telaga Seiladi yang
sendu dibayang pucuk-pucuk pinus, rumah-rumah liar kardus dan tripleks di
belakang kompleks elit yang kontradiktif, ooh Batam. Pada kota kecil ini pernah
ia tautkan segenap cinta. Cinta yang murni. Cinta yang tak ingin ia gali sejauh
mana hatinya telah dalam menyemai bibit-bibitnya. Dahulu.
Anin terpaku sepanjang
perjalanan. Sedangkan Yana di kursi belakang asyik dengan es krim yang lima
bulan lalu jarang ia dapatkan. Sementara sang suami dari belakang kemudi terus
menanyakan ini-itu tanpa canggung. Tanpa merasa bahwa perempuan di sampingnya
itu tengah menakar-nakar. Rasa yang kian tawar.
“Ada apa?” ulang lelaki
itu. Entahlah. Anin merasa tak yakin adakah benar ia sungguh telah pulang.
Pulang?
Adakah ia telah benar pulang, menjejak pada tanah yang sempat ingin ia
tinggalkan. Semua begitu kabur bagi Anin ketika tiba-tiba waktu dua tahun yang
mereka sepakati untuk Long Distance Love
hanya menjadi lima bulan saja. Dua tahun, atau bahkan selamanya, telah pernah
ia benamkan sebuah kota bernama Batam pada lubang yang paling dasar di hatinya.
Hingga kakinya begitu lumpuh. Memorinya berkunang, slide berputar seolah
mendobrak kesadaran. Ia benar telah
pulang. Hatinya kian berdesir-desir.
Memasuki kompleks
perumahan mereka, Anin kian terpana dengan jalan belakang kompleks yang telah
mulus menghubungkan beberapa kompleks perumahan. Ia terkagum-kagum dengan
cepatnya pembangunan, namun juga getir sebentar lagi akan kembali memasuki
rumah yang sama. Rumah di kompleks mewah yang dingin. Rumah yang hanya menyimpan
raga-raga dari panas dan hujan. Sebuah rumah yang penuh sesak dengan perabot
kehampaan. Bukan rumah bagi jiwa-jiwa yang hangat dan penuh cinta.
***
“Sudah sampai, Dik,”
lirih sang suami menghantarkan Anin ke alam nyata.
Rumah dua lantai bercat
putih masih seperti lima bulan lalu saat Anin meninggalkannya. Hanya saja,
pohon markisa yang dulu ia tanam dan masih malu bertumbuh sekarang telah
merambat kian kemari di pagar depan rumah. Mulai berbunga dan sebentar lagi
berbuah. Ada getar yang menghangatkan hatinya. Paling tidak, pohon markisa itu
bersuka cita atas kehadirannya, begitu pikirnya.
Beberapa pot adenium
yang tampak tak terurus juga tengah memamerkan kembang dengan warna-warna
tercerahnya. Anin tambah bersuka cita. Tanaman-tanaman itu seolah mengerti
bahwa ia akan pulang. Bahwa ia akan kembali berbicara dengan mereka. Merawat
penuh khidmat seolah tanaman itu mengerti apa yang ia maksudkan.
Suka cita itu seketika
redup. Matanya tertumbuk pada dua pot aglaonema Lady Valentine hadiah dari
suaminya satu tahun lalu. Hadiah yang tak disangka-sangka. Sebuah kejutan
langka. Bahkan sejak mereka menikah empat tahun sebelumnya, baru kali itu sang
suami berinisiatif memberikannya hadiah.
Sekarang di hadapannya
hanya ada sisa batang dan akar yang mengering. Memang telah sungkan hidup
ketika ia tinggalkan. Dan saat ini, saat dirinya kembali pulang, Lady Valentine
itupun telah sebenar berpulang. Anin masygul. Matanya mengembun. Jiwanya
mengelana bersama doa. Semoga, tak sesingkat itu pula usia kasih sayang sang
suami padanya. Tak sepenggalan kisah Lady Valentine.
“Dik,” panggil suaminya
kencang dari dalam rumah, “Abang langsung ke lapangan lagi, ya. Mungkin pulang
malam. Besok pagi jangan lupa siap-siap urusan kita ke bank!”
Sang suami memang terlalu
sibuk. Tak ada basa-basi penyambutannya, bahkan sekadar mengharapkan duduk dan
menikmati jamuan bersama untuk pertama kalinya setelah lama berpisah pun tidak.
Sekarang Anin sebenar
sadar; ia telah pulang! []
Medan,
April 2016
keren, sampai akhirnya nangkring di media :)
BalasHapussalam hangat dari jogja
jarwadi
Rasa2nya noni pernah denger cerita ini aslinya loh kak wik,hihi jadi kangen ririn trus bronis selai stroberinya kakak������
BalasHapus