Dalam
kajian berjudul GR, ustad Hanan Attaki berkelakar bahwa GR itu beda tipis saja
dengan yang namanya husnudzon sama Allah (saya ketawa sambil istighfar mendengarnya). Beliau menyampaikan ‘ayat GR’:
Al-Kahfi:32-44 yang mengisahkan dua laki-laki dan satu di antaranya kafir.
Orang kafir ini memiliki kebun yang subur dan melimpah hasilnya. Dia menyombongkan
hartanya kepada temannya yang mukmin. Mengatakan bahwa kebunnya akan kekal. Hingga
Allah mencabut nikmatnya dan hartanya habis. Ia menyesal. Ternyata, selama ini
ia hanya geer belaka.
Lebih mudah memahami perbedaan GR VS baik sangka kepada Allah
bisa kita lihat pada permisalan, dulu kita seorang yang sesat, lalu Allah
berkenan memberi hidayah.
Respon Orang GR: “Ada untungnya dulu pernah tersesat, jadi
sekarang bisa ngerti kalau anak mulai sesat, bisa ngelurusin anak.”
Respon Orang baik sangka; “Allah itu maha baik, dulu tersesat
jauuuh banget, tapi Allah masih kasi kesempatan untuk taubat.”
Poinnya, jika kita membesarkan ‘kita’ maka itu disebut GR. Tapi jikalau kita menghebatkan Allah, barulah disebut baik sangka. Saya ngaji bab GR ini dua pekan lalu. Dan kenapa baru
diceritain sekarang, adalah karena hampir saja ada yang jatuh pada lembah perasaan gede rasa.
***
Terkisah, seorang teman (A) membaca status temannya (B). Itu
status mengandung unsur kebaikan namun juga senda gurau. A merasa senda gurau B
garing, pun, itu menyendaguraukan satu bagian kecil dalam agama. Hampir
saja A menulis komentar ‘garing’ namun ia urungkan. Nantilah,
dua-tiga hari insyaAllah ia akan ngobrol dan mengingatkan B, batin A.
Alhamdulillah, Allah beri kesempatan mereka ngobrol di ruang
tertutup (WA) saat itu juga dan bahasan status itu mengalir begitu saja.
B yang basicly paham agama dan lembut hati menerima nasehat itu dan
segera menghapus statusnya.
Lepas dari obrolan itu, pikiran A masih terpaut soal status
yang sudah di-delete B. Adakah B melakukan itu sebab terpaksa? Adakah B
marah dengannya? Adakah caranya bernasehat terlalu ‘ketus’ dan menyakiti hati
B? Serta serangkaian pikiran-pikiran yang menggelisahkan.
A kemudian membuka mushaf Qur’an dan melanjutkan tilawahnya
pada QS.Al-An’am. Betapa terkejut ia ketika tilawahnya sampai pada ayat 68-70.
“Dan apabila kamu melihat orang-orang
memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka
membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan
larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu
sesudah teringat (akan larangan itu).
“Orang-orang yang bertakwa tidak ada tanggung
jawab sedikit pun atas (dosa-dosa) mereka; tetapi (berkewajiban) mengingatkan
agar mereka (juga) bertakwa.
“Tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan
agamanya sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah tertipu oleh
kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran agar setiap orang
tidak terjerumus ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak ada
baginya pelindung dan pembela (dari azab) selain Allah. Dan jika dia hendak
menebus dengan segala macam tebusan apa pun, niscaya tidak akan diterima.
Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, disebabkan
perbuatan mereka sendiri. Mereka mendapat minuman dari air yang mendidih dan
azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.”
Tiga ayat di atas benar-benar membuat hati A
bergetar. Bagaimana bisa tepat? Soal status senda gurau dan nasehat. Sebelum
ini, pada peristiwa-peristiwa tertentu, A kerapkali mencari petunjuk dengan
cara membuka acak Quran. Namun, saat itu, yang dilakukannya hanya melanjutkan
tilawah, bukan mencari-cari ayat tertentu. Dan ini membuat A berpikir bahwa ia
telah DIBERI. Allah memberikan kasihsayang padanya bahkan walau ia belum
meminta. Sungguh, ayat ini membuat hatinya lapang, insyaAllah ia telah
melakukan tugasnya sebagai teman (mengingatkan) dan ia berharap temannya tak
marah padanya.
Melalui WA, A menyampaikan pengalamannya di
atas dan B menimpali, “Soal petunjuk, aku tadi buka acak Qur’an.” Lantas ia mengisahkan
temuan ayatnya (dia lupa pada surat apa saja) tentang orang yang tak mensyukuri
nikmat. Lalu ia acak lagi, dan menemukan ayat tentang Ibrahim yang salah
menyangka bahwa bulan adalah Tuhannya.
“Aku kok nggak dapat hikmah dari ayat-ayat itu,
ya? Aku takut masuk golongan orang yang nggak peka dengan petunjuk.”
Dan, dua-tiga menit berikutnya mereka isi
dengan diskusi kecil, tentang bagaimana memiliki hati yang peka oleh petunjuk.
B juga mengaku teramat menyesal atas status yang sudah dideletnya kemarin. Obrolan
merekan ditutup dengan kata, “Sudah, ya,” oleh B dan itu membuat A merasa,
temannya itu sedang benar-benar gundah.
Kegundahan itu ikut merambati hati A. Ia
kembali membuka mushafnya, melanjutkan tilawahnya pada surat Al-An’am. Lagi-lagi
ia terkejut. Ia melewati ayat ke-77; “Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku".
Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku
tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat".
Surat Al-An’am itu, dimulai ayat 74 sampai ayat
83 memang mengisahkan tentang cara Nabi Ibrahim as memimpin kaumnya menuju
agama tauhid. Ayat-ayat di atas memuat tentang hidayah dan petunjuk. Terkhusus
ayat ke-77 tentang bulan, ini ayat yang ditemukan secara acak oleh B dan
membuat ia risau. Risau mengapa ia tak menemukan hikmah. Risau dengan hatinya,
mengapa ia kehilangan kepekaannya akan petunjuk.
Dan A, ia pun risau.
Mengapa bisa paralel begini? Padahal ia dan B
tinggal di kota yang jauh. Dan mereka tak merencanakan/janjian untuk saling
membuka mushafnya. Lagipula, A hanya menyambung tilawah sementara B membuka
acak mushafnya. Tapi, mengapa yang ke luar adalah ayat yang se-tema dengan
status milik B, dan yang kedua bahkan ayat yang sama?
Hampir-hampir A diliputi GR. Merasa bahwa
mereka punya ‘sambungan’ yang bagus. Merasa sefrekwensi. Ah, A cepat-cepat
istighfar. Mohon ampun. Tidak, dia tak boleh GR. Bahwa apa yang sedang terjadi,
adalah murni Kuasa Allah dan sudah tertakdir. Adapun tugasnya sekarang adalah membaca
apa pesan yang dituliskan Allah lewat takdir ini.
Begitulah, A coba lebih banyak diam. Membaca pesan
dari kata kunci GR dan petunjuk. Ah ya, A paham, dia tak boleh GR, dan ia harus
mengikuti segala petunjuk yang telah ia dapatkan terkait pertemanannya dengan
B. Ikuti petunjuk, dan tinggalkan sesuatu yang terasa berat (karena itu pasti
nafsu).
***
Pada ujung hari ini saya berdoa untuk keduanya,
semoga mudah menempuh jalan yang dikehendaki oleh Rabb mereka. Jalan cahaya,
jalan hidayah, jalan cinta.
Kalian bisa, insyaAllah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.