Ibu, sedang
musim apa di sana?
Di sini,
meski terang meski hujan, musimnya tetap sendu, Ibu.
Orang-orang
tumbang terlalu banyak menelan asap racun.
Orang-orang
tergelimpang dicincang-cincang kebengisan pisau politik.
Yang lucu,
entah ini benar atau hoax (izinkan sekali ini aku berbagi kabar gossip), di
Senayan sana, seorang anggota DPR RI yang baru dilantik dan berfoto dengan tiga
istrinya yang kinyis-kinyis sekaligus, dia, bapak berdasi itu justru tertidur
di sidang pertamanya. Aku selalu takjub dengan mata kamera yang dapaaat saja
pemandangan bagus dan membuat lambe netijen nyinyir, “Beliau terlalu lelah
dengan tiga istrinya.”
Ah. Di sini,
sungguh musim hanya sendu serupa itu, Ibu. Saling hujat, saling hajar, saling
menebalkan hati yang semestinya digunakan untuk memahami.
Lalu, demi
apa aku mengabarkan hal-hal yang tak penting bagimu itu?
Entah ya.
barangkali karena hanya dengan ibu aku bisa mengatakan ini. Di ruang lain
bersama orang lain, aku tak sanggup menuliskan soal-soal itu. Ngeri. Nanti aku
jadi ratu gossip pula. Aku kasihan ibu, malu punya anak macam aku. Haha.
Jadi, Bu,
aku mimpi aneh malam kemarin.
Terlempar aku
di rumah berdinding gedeg milik Bulik Yus yang dulu bersebelahan dengan rumah Puskesmas
kita. Bulik Yus masih sama mudanya saat terakhir kali aku melihatnya ketika SD dulu.
“Si Mbah apakah sudah meninggal?” Aku menanyakan si Mbah kurus yang rambutnya putih rata
dan jalannya membungkuk disanggah tongkat. Lupa aku namanya.
“Masih,
Mbah masih. Itu…”
Pandanganku
dituntun oleh tangan Bulik Yus. Di pojok ruang, ada si mbah yang berbaring
membelakangi kami, badannya mencakung. Dalam hatiku, oh, panjang sekali umur si
mbah.
Lalu aku
tak tahan untuk tidak bertanya soal rumah kita.
“Rumahmu
sudah diratakan, hanya tinggal Puskesmas di depan sana.”
Diratakan? Kenapa
diratakan?
Bulik Yus
mengajakku ke luar. Kami berjalan melewati si Mbah. Anehnya, Bulik Yus
menginjak –tepat di bagian- perut si Mbah namun pijakannya tembus. Maksudku,
Bulik seperti tak menginjak apa-apa. Malah si Mbah tidak menjerit, merintih pun tidak. Aneh sekali.
Lalu kami
melewati dapurnya yang berjelaga, pengap, bersawang. Perkakas masak yang
bergelantungan juga berjelaga. Dapur kayu menyisakan abu tebal. Lantai tanah
yang dingin. Dinding gedeg yang bolong-bolong. Itu pemandangan kusam dari yang
paling kusam, Ibu.
Oh, hatiku
terhimpit melihatnya. Dan aku merasa bersalah tak sekalipun pernah
bersilaturahmi ke sana selepas kepergian Ibu.
Apakah ibu
menginginkan aku pergi ke sana? Apakah ada sesuatu yang harus kukatakan pada
Bulik Yus atau mungkin Bulik Yus ingin mengatakan sesuatu padaku? Oh, maafkan
aku yang tak bisa menjaga hubungan baikmu dengan orang-orang yang dulu dekat
denganmu, Ibu.
Uh, aku
belum selesai menuliskan seluruh adegan mimpiku. Tiba-tiba jadi begitu sulit
karena sesak oleh bayangan bahwa mimpi itu adalah isyarat Ibu menginginkan aku
ke sana sementara aku belum tahu kapan bisa ke sana. Tolong jangan marah
padaku, Ibu.
Allahummaghfirlaha
warhamha wa’afiha wa’fu anha…
Bagian
akhir mimpiku adalah, kami sampai di tanah bekas rumah kita. Memang tak ada apa-apa
lagi kecuali bangunan Puskesmas di depannya. Kami masuk ke Puskesmas yang lama
tidak digunakan. Aroma obat dan ibu jadi satu. Terbayang ketika ibu bekerja di
sana menolong pasien. Tapi tak ada lagi. Puskesmas itu benar-benar serupa rumah
duka. Barang-barang kita menumpuk di sana. Yang kulihat pertama kali dan begitu
jelas adalah gulungan tilam kapuk. Itu tilam kita dahulu. Aku ingat betul, juga
ranjang besi berwarna biru. Itu, itu ranjang kita.
Bu, kenapa
tiba-tiba aku sampai ke sana di dalam mimpi? Apakah Ibu sungguh ingin aku ke
sana?
...dari mimpi hari kemarin (04/10/19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.