Ini adalah ending dari kisah cinta yang dibuat sebelumnya oleh Bunda Maya. Setelah lirik-lirikan di angkot dan berdebar saat pertemuan bertahun kemudian, maka inilah endingnya versi saya...
***
“Lah, Herly, kok elu
bisa nyasar sampe ke rumah gue?”
Tiba-tiba saja, abang
saya yang galaknya lebih-lebih dari guguk tetangga ke luar dari kamarnya. Ia berganti-ganti memandangi kami dengan
tatapan seorang jaksa kepada tersangka. Herly baru saja akan membuka suara
ketika abang galak menggerakkan kepalanya, mengistruksikan Herly untuk
mengikutinya ke luar.
Hah.
Saya terduduk di sofa
dan segera menegakkan telinga. Memangnya abang galak itu sudah mengenal Herly?
Bagaimana bisa mantan ketua preman Pasar Uler berteman dengan pria baik-baik,
bertutur lembut, setia juga gentleman seperti Herly yang ternyata, keluarganya sangat religius. Paling
tidak, ini penilain zahir setelah tadi di rumah sakit saya melihat mami dan
saudara perempuan Herly mengenakan hijab semuanya.
Ah.
“Kalau lu bener serius
sama adek gue, jangan pernah setetes pun air matanya jatuh!”
Suara abang galak hinggap di telinga saya. Itu
ancaman pamungkas yang mengakhiri diskusi mereka di luar. Dan serentak langkah
mereka kembali ke dalam.
“Gue nggak jamin sih
bisa jaga airmata Maya jatuh apa nggak.” Jawab Herly tersipu. Abang galak saya kembali melotot,
mengintimidasi. "Kita dulu pernah se-band, udah lama gue nggak gebug drum. Kalo lu bikin Maya nangis, gue nggak segan-segan nggebug-in lu..."
“Emang apa salah gue
kalau ntar kapan waktu Maya nangis saking terharu dapet suami romantis kayak
gue?”
Apa? Suamiii?
Belum-belum, air mata
ini rasanya sudah menggenang karena senang. Pria berdenim dengan soft case
gitar yang saya temui di angkot dan sudah mentah-mentah saya tipu perihal
alamat rumah, oh, apakah pria ini serius dengan ucapannya? Apakah dia diam-diam
juga mencitai saya seperti perasaan yang terus bertumbuh dalah hati saya?
“Eh, elu apaan
senyum-senyum sendiri?”
Yeee, abang galak ini
ngerusak suasana saja sih. Pake
nimpuk-nimpuk bantal segala. Herly jadi ikut senang melihat sikap saya. Pasti
dia merasa menang deh.
“Sono cepet panggil
papa sama mama, bilang calon menantu mau kenalan.”
Belum sempat saya
beranjak, Papa sudah terlebih dahulu hadir. “Ada apa sebut-sebut Papa?”
Saya yang akan buka
suara kalah sigap dengan Herly yang langsung menyalami Papa. “Saya Herly teman
Maya, Om.”
Papa mengernyit. Belum hilang
gurat di keningnya, Herly melanjutkan kalimatnya, “Maaf baru sekarang ke rumah,
Om. Sebenarnya, saya dan Maya sudah lama saling kenal, dan… cocok. Saya mohon
restu Om untuk selanjutnya membawa keluarga dan melamar Maya.”
Apa?
Wah Herly benar-benar
membuat jantung serasa dipetik-petik hari ini. Lha, itu jantung atau gitar? Hehe…
walaupun saya diam-diam menaruh hati padanya, tetapi diajak bertemu keluarga
besarnya walau di rumah sakit dan sekarang berbicara soal lamar-melamar, ya
ampuuun… Jangan-jangan abang galak itu sudah mengintimidasi Herly untuk cepat
melamar saya agar dia mendapat ‘harta pelangkah’? Ya Tuhan, pikirannya masih
saja kriminal…
“Sebentar Nak Herdy…”
“Her-ly, Om…”
“Nah, iya, Her-ly,
Bapak perlu tahu, apa yang membuat kamu merasa cocok dan cepat-cepat ingin
melamar Maya? Lha, Maya ini kalau masak sayur asam rasanya asin banget, lho?”
Duh, Papa… Herly dan
abang galak jadi tertawa.
“May, elu ke belekang
sana, buat teh atau jus gitu…”
Untung-untung…
“Sebentar, May,” suara
Herly menahan langkah saya. Saya kembali duduk, gelisah. “Saat pertama bertemu
Maya di angkot, saya melihat Maya sedang membaca sebuah buku, Pak. Dalam hati
saya timbul keyakinan, gadis ini yang akan merawat anak-anak saya dengan akidah
dan akhlak yang baik. Kalau soal sayur asam yang terlalu asin, saya juga kalau
cuci piring kadang-kadang diprotes Mami juga karena kurang licin, Pak.”
Herly tertawa enteng
sekali. Papa dan abang galak berpandangan, lalu ikut tertawa. Saya? Rasanya
ingin melongok ke bawah, apakah kaki saya masih menjejak dunia?
Ya Allah, pasti wajah
saya sudah mengalami degradasi warna karena menahan sipu.
"Emangnya dulu
adek gue baca buku apaan di angkot sampe elu segitu yakinnya?"
Eh?
Herly dan Papa menatap
saya. Saya menggeleng, lupa.
"Sirah
Nabawiyah," jawab Herly dibingkai senyum terbaiknya.
Setelahnya, kehidupan
saya seolah hanya diisi oleh satu berita. Beritanya bahagia. Tak peduli walau
Herly telah terbukti melakukan tindak percobaan kebohongan. Oh ternyata, ajakan
menonton Herly hanyalah sebuah trik belaka.
"Aku yakin kamu
nggak mau keluar sama aku kalau saat itu aku jujur. Memangnya, siapa yang mau
diajak kencan pertama ke rumah sakit? Lagian, kamu bisa-bisa pingsan duluan
kalau kubilang bakal ketemu keluarga besarku."
"Kok sepele? Aku
melahirkan tiga penerusmu itu nggak pernah takut apalagi sampai pingsan,
lho!"
Herly menjentik pelan
jemari saya, "Aku bukan khawatir kamu pingsan karena takut, May. Tapi
karena kamu terlalu happy bertemu arjuna secool ini..."
Nah kan, bagaimanalah
saya tak selalu bahagia ada di samping dia yang begitu jenaka?
"May,"
"Hem..."
"Trimakasih
ya..."
Sebuah kecupan
mendarat mulus di ubun-ubun.
"Untuk?"
"Untuk menjadi
partner hidupku, sampai matiku, sampai kita kelak berpeluk erat di atas
permadani cinta yang di bawahnya mengalir susu dan madu yang murni..."
"Oh, apakah itu
di surga?"
"Yang jelas bukan
kali Ciliwung, May."
Sebuah kecupan lembut
seringkali menjadi penutup kisah-kisah tak sempurna kami sebagai dua insan
manusia.
"Terimakasih,
May..."
"Bukannya tadi
sudah bilang terimakasih?"
"Aku mulai pikun,
May..."
"Bukan pikun, itu
modus."
Kecupan lembut
mendarat lagi. Tak peduli rambut kami sewarna tembaga saat ini. Herly tetap
jenaka. Saya selalu jatuh cinta, pada dia, pada dia, pada dia...[]
wkwkwkwkwk..
BalasHapuslucuuukkkk
makasi udah mampir dan baca cerpen ini, mba inda.... ;)
HapusMksh nih mba bc ini jd diingetin ikut lombanya biar terasah tulisan fiksinya
BalasHapussalam kenal mba kania, ayo ikutan juga, masih ada waktu smp besok...
HapusIjin menyimak ceritanya ya mba. :)
BalasHapusSalam kenal..
salam kenal juga, mas ardy... Alhamdulillah, nyantol juga cerita ini akhirnya...)
Hapus