Pada Sekaleng Tancho
Oleh: Dwi Asih Rahmawati (Dulu-dulu ngirim cerpen ke Femina pake nama Wiwik Waluyo nggak ada yang nyangkut. Coba pake nama KTP, alhamdulillah :D).
11. P U L A N G
Pada musim Utara yang ganas.
Ketika ombak Laut Tiongkok Selatan kerap menggulung-gulungkan
bahtera.
Aku
pulang ke sebuah teluk kecil.
Demi sebuah hal besar yang tersimpan
dalam sekaleng Tancho.
***
“Macemana
kuliah kau, Nana? Lancar, kan?”
Aku baru masuk rumah beberapa menit lalu
dan masih agak mabuk laut. Dua tahun tidak menumpang transportasi laut
membuatku pening bahkan walau hanya sebentar di atas speedboat (menyeberang
dari Bandara kecil milik perusahaan asing yang eksplorasi migas di laut Natuna
di Palmatak menuju Tarempa). Sebaris tanya milik Cik Hafsah yang bahkan tak
mengandung unsur penekanan sedikitpun, anehnya, menambah pusing di kepalaku.
“Nana!” Seruan Baba kali ini. Pendek
namun berhasil menyentak kesadaran dan membuat segerombolan pening tunggang
langgang berlarian dari kepala. “Kalau ditanya jawab sopan, jangan diam macam
patung.”
“Nana pasti masih teruk betul badannya.
Sekarang kita makan dulu. Cerita-cerita bisa besok, kan Nana?”
Aku mengangguk. Dan tersenyum sedikit
untuk Cik Hafsah.
Aneh. Dulu aku senang sekali tersenyum
pada wanita empat puluh tahun ini. Bahkan, walau ia tak bertanya dan tak
menyapa, aku sebisa mungkin mencari-cari perkara agar bisa berurusan dengannya
dan menghadirkan senyum terbaikku. Tetapi itu dahulu. Dahulu sampai tiga tahun
lalu. Tahun yang membuatku tertekan dan enggan tersenyum bahkan setipis lembar
kertas pun untuknya.
Atas ketersiksaan batin yang bercokol dan
enggan pergi itu, akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan rumah dua tahun lalu
saat lulus SMA. Pada Baba kubuat alasan ingin melanjutkan pendidikan ke
Ibukota. Padahal, oi, niat awalku dulu-dulu, lepas sekolah menengah,
bila datang bujang dambaanku (sementara kurahasiakan dulu namanya) mengungkapkan
perasaannya padaku, rasanya aku sanggup tinggal di Tarempa sampai riwayatku
tamat nantinya.
Menyeramkan sekali cita-citaku, bukan?
Ya, itulah cita-cita anak pulau terpencil
yang sehari-hari menghirup bau busuk limbah pasar ikan (rumah toko Baba hanya
berjarak tiga ruko dari pasar ikan Tarempa) dan hanya mendapat hiburan dari televisi
yang kadang jernih kadang dipenuhi gerombolan semut walau parabola sudah
diputar ke sana- kemari. Malah tempo-tempo, barang penangkap siaran itu jatuh
terjungkal sebab terlalu lelah diputar-putar tak tentu arah. Hanya rahmat
Tuhanlah yang membuat aku dan parabola itu tabah menjalani takdir hidup di
pulau yang seolah dilemparkan Tuhan ke tengah-tengah lautan maha luas dan aku
tak yakin kalian akan temukan nama pulau kami tercatat di dalam peta. Jauh ke
mana-mana, serta mahal ke mana-mana.
“Cik Hafsah buatkan cumi hitam kesukaan
kau. Makanlah yang lahap, Nana.”
Sepiring nasi hangat yang masih mengepul
uapnya disodorkan Cik Hafsah ke hadapanku. Berikut sepiring lonjong cumi berlumur bumbu hitam yang meneteskan
liurku. Langsung hilang gambaran deritaku yang dulu-dulu. Berganti luka yang
sekarang terasa kembali menganga.
Cumi masak hitam. Uh, Cik Hafsah masih
ingat saja apa-apa yang kusuka. Dia tahu benar dan sudah amat tahu segala
tentangku. Dulu aku selalu nambah makan berlauk cumi hitam buatannya, juga
laksa buatannya, juga luti gendang[1]
buatannya. Ya, harus kuakui tangannya itu ajaib. Apa-apa yang dibuat olehnya
terasa sangat enak di lidahku. Tapi itu dahulu. Dahulu sampai tiga tahun yang
lalu. Sebab setelahnya, setelah setiap hari ia memasakkan apapun untukku,
lidahku ini jadi mati rasa.
Nafsu makanku hilang dan makanku jauh
berkurang. Dan sebelum tubuhku terdiagnosa kekurangan gizi dan membuat Baba
malu -bagaimana mungkin satu-satunya juragan percetakan di Tarempa, yang makmur
dan tambun memiliki seorang putri yang kekurangan gizi?-, maka pamitlah aku
merantau untuk belajar ke Ibukota. Yang entah bagaimana kisahnya, di Ibukota,
saraf-saraf lidahku kembali berfungsi normal.
Gamang kusendok cumi hitam dan
kupindahkan ke piringku.
“Makan yang banyak,” Baba menambahkan
satu sendok cumi lagi ke dalam piringku. Aku menurut saja. Dan pelan mulai menyendokkan satu suapan ke
mulutku. Seharusnya ini makanan lezat, pedas, gurih, nikmat. Tapi entah, kenapa
lidahku hanya merasa pahit?
“Asin betulkah cuminya, Nana?” Cik Hafsah
menangkap perubahan mimikku.
“Mmm, taklah. Wa cuma rasa
masih kenyang tadi makan di pesawat.”
Hah, kenyang makan apa di pesawat
baling-baling? Makan angin? Aku ingin sekali meninggalkan Cik Hafsah dan Baba,
tapi pasti Baba akan mengataiku sebagai gadis payah. Maka kutabah-tabahkan hati
sembari airmata diam-diam meluncur dan menyumbang rasa bagi cumi yang dipuji
Baba sangat istimewa rasanya.
***
Aku naik ke lantai dua dan segera membuka
pintu kamar yang sudah dua tahun kutinggalkan. Harum. Tak ada sama sekali apak
atau bau khas kamar yang lama ditinggal penghuninya. Pun seprai, cermin di
sudut kamar, dan kayu bingkai jendela bersih mengilap tanpa debu. Semua telah
dibersihkan dengan sempurna oleh Cik Hafsah.
Oh, aku masih saja memanggilnya dengan
‘Cik’. Bukan ‘Mama’ seperti yang selalu diinginkan Baba, atau bukan pula ‘Mak’
seperti kebanyakan temanku memanggil ibu mereka. Rasanya masih terlalu ganjil,
dan berat, juga sakit.
Kulihat seringai bibirku yang tersenyum
tanggung di dalam cermin saat batinku mengucapkan ‘sakit’ sesaat tadi. Kalian
tahu sekarang, wanita yang kusebut ‘Cik Hafsah’ semenjak tadi, senyatalah
beliau adalah ibu sambungku. Walau belum bisa sepenuh hati menerima
kehadirannya, menyebutnya ibu sambung terasa jauh lebih sopan dibanding ibu
tiri walau artinya tiada berbeda.
Pintu kamar dibuka dari luar. Kukira
Baba, ternyata Cik Hafsah. Dia tersenyum lembut. Selalu begitu. Walau aku
selalu menarik diri semenjak pernikahannya dengan Baba, tak pernah senyumnya
dan sikap baiknya padaku berkurang sedikitpun. Ini membuat hatiku semakin
merana.
“Baba kau ganti tilam yang lama dengan
yang baru. Bantal-bantalnya juga. Tapi Cik Hafsah sisakan satu bantal kapuk
untuk kau,” ujar Cik Hafsah sambil tangannya menunjuk ke tumpukan bantal paling
atas.
“Makasih, Cik,” sahutku ringkas. Berharap
ia mengerti aku belum ingin bercakap-cakap dengannya.
“Maaf kalau cuminya kurang sedap, ya,
Nana. Besok Cik buatkan yang lebih lezat,” janjinya sambil melangkah ke luar.
Aku tak menanggapi apapun lagi, takut esok akan membuatnya kecewa dengan selera
makanku yang kembali payah.
Selepas pintu ditutup Cik Hafsah, aku
melangkah ke bingkai jendela. Mataku terlempar ke seberang. Nanar menatap
sebuah rumah kayu dengan seng usang karatan yang kerap bergelontang diterpa
angin laut. Di depan rumah itu, menggantung miring satu buah papan bertuliskan
Kedai Kopi Sambung Hidup.
Kedai itu tak seramai dahulu. Dahulu, tak
hanya Pakcik-Pakcik, aku dan beberapa kawanku pun ikut memenuhi sesak kedai. Aku
bahkan menjadi salah satu tamu tetapnya semenjak kanak-kanak. Anak perempuan
bermata sipit dan berkulit putih yang suka nongkrong di kedai kopi, akulah
orangnya.
Tiba-tiba, pelupukku merebak. Di
hadapanku, kedai kopi yang tak terlalu ramai itu seketika didatangi
orang-orang. Satu, dua, tiga, terus, dan aku seperti tersedot ke sana, larut bersama
riuh orang-orang yang membuang segala penat dalam becangkir-cangkir kopi buatan
Cik Hafsah, pengelola kedai kopi paling jelita di Tarempa.
***
Seorang anak lelaki menatapku dengan
penuh selidik. Dia duduk di pojok dekat rak yang menyimpan stoples berisi kopi
dan gula. Badannya yang kurus tertutup oleh Pakcik-Pakcik yang minum kopi
sambil main catur dan membual soal-soal kenegaraan seolah mereka penasehat
Presiden.
Kuperhatikan dengan menajam-najamkan mata
sipitku; kulitnya bersih, rambutnya ikal dan ada garis melintang bekas luka di
pipi kanannya. Sejak hampir sepuluh menit lalu aku datang dan duduk di kursi
kayu yang beseberangan dengan kompor tempat Cik Hafsah menjerang air dan
mengolah kuah laksa, anak laki-laki itu terus mengawasi gerak-gerikku.
Aku baru sekali ini melihatnya di kedai
Cik Hafsah. Namun sepertinya, aku sudah melihatnya sebelum ini tapi lupa di
mana. Karena dia masih terus menatapku,
maka kubalas tatapannya dengan balik menatapnya galak.
“Janganlah kalian diam-diaman macam budak
begadoh (bertengkar).”
Cik Hafsah mendekati anak laki-laki itu,
lalu menarik tangannya dan membawanya dekat kepadaku. Satu tangan kecilnya yang
mirip batang muda segera dijulurkan kepadaku, “Nana, kenalkanlah adek paling
kecik Cik Hafsah, baru tiba dari Durai dua hari lalu.”
Aku membuang tatapan galakku dan balas
mengulurkan tangan, “Nana.”
Dia balas, “Hazri.”
Cik Hasfah menimpali, “Nah, mulai
sekarang kalian berkawan. Kau Hazri, tak boleh nakal dan harus jaga Nana kalau
main dan sekolah.”
Kata terakhir Cik Hafsah membuatku
tersadar. Aku sudah melihat Hazri di sekolah. Ya, kami satu sekolah. Saat kemarin
Baba mengantarku hari pertama Sekolah Dasar,
sepintas kulihat Cik Hafsah juga ada di sekolah. Aku tak sempat
menegurnya dan bertanya mengapa ia ada di sekolah, teryata, Cik Hafsah
mengantar adiknya.
Sejak saat itu Hazri menjadi temanku.
Mulanya ia pendiam sekali. Cik Hafsah bilang, itu akibat dia selama tujuh tahun
semenjak lahirnya tinggal di Durai, pulau kosong yang hanya disinggahi penyu.
Tak ada temannya kecuali mak dan ayahnya, juga tukik-tukik (bayi penyu).
Bisa kubayangkan bagaimana kikuknya orang
yang sehari-hari hanya bermain dengan tukik, kini harus bermain denganku dari
golongan manusia. Dan aku ini, entah menurun siapa, punya bibir yang susah sekali
mengatup alias hobi bicara. Maka mulutku yang bising ini, agaknya, membuat
teman baruku itu meriang. Bagaimanapun, aku tidak menganggap enteng seseorang
yang kewalahan beradaptasi dari penyu dan tukik yang pendiam kepada aku yang
berisik.
“Apa kau pernah tengok penyu bertelur?”
tanyaku suatu hari, saat dia sudah mulai terbiasa dengan keberadaanku sebagai
temannya dan aku mulai bosan dengan pertemanan yang hanya diam-diaman.
Sayangnya, percobaan pertamaku itu hanya dijawab dengan anggukan.
“Apa kau jago menyelam?” tanyaku hari
yang lain lagi. Dan dia mengangguk lagi.
“Kau senang tak tinggal di Tarempa?” esok
hari coba kutanya lagi, masih dijawab anggukan lagi. Kalau tak mengingat dia
adiknya Cik Hafsah, aku pasti malas untuk tanya-tanya lagi. Oh, bukan. Kupikir
bukan sebab dia adiknya Cik Hafsah atau bukan, melainkan aku yang butuh teman
bicara dan bermain, maka aku masih tetap mencoba.
“Kau tak rindu tukik-tukik teman main kau
di Durai?”
Dia diam. Berpikir entah apa. Tak ada
anggukan pun gelengan. Apa aku salah bertanya?
“Kau pernah melepas tukik?”
Kemajuan, dia buka mulut sekarang. Maka
cepat-cepat kupergunakan kesempatan ini untuk menggali kemungkinan apapun agar
kami bisa segera pergi main ke luar dari Sambung Hidup. Mungkin main balap engrang
batok kelapa atau melompat dari pelantar kayu dan terjun ke air untuk
lama-lamaan waktu menyelam.
Aku menggeleng. “Asyik ya?”
Dia mengangguk. “Kalau aku balik ke
Durai, kau bisa ikut dan lepas tukik ke laut.”
Wow. Aku langsung kesenangan. Pertama,
temanku sudah mulai bicara. Kedua, dia langsung mengajakku bermain ke pulaunya.
Tapi sayang, setiap satu bulan sekali Hazri akan pulang menjenguk ayah dan
maknya juga tukik-tukiknya tentu saja, Baba tidak mengizinkanku turut.
“Durai itu jauh, Nana!” larangan Baba
bulan pertama.
“Kau masih kecik, naik pompong (perahu
tradisional) nanti mabok siapa urus?” tanyanya di bulan kedua.
“Tak payah tengok tukik, nanti malam Baba
antar naik komidi putar di pasar malam,” alih Baba bulan ketiga. Dan seterusnya
macam-macam larangan hingga aku tetap memohon selama setahun penuh dan Baba
tetap belum habis ide melarangku.
“Kau tahu, Nana. Di Durai sana sepi tak
ada siapa-siapa kecuali hantu-hantu. Hantu di sana lebih seram dari hantu-hantu
di kuburan Gan Ban Tong.”
Baiklah, aku tak lagi merengek sampai
suatu hari akhir pekan saat aku kelas empat, tiba-tiba saja Baba mengatakan
kalau aku masih ingin ke Durai, ia akan mengizinkan.
Aku berangkat bersama Hazri dan Cik
Hafsah pada Sabtu sore. Walau sehari-hari melihat pemandangan laut, tapi Durai
berbeda. Tidak ada dermaga walau cuma kayu. Saat pompong kami sampai di pantai,
Pak Ngah tekong (pengemudi pompong) kami melepas jangkar. Dan kami menunggu ayah
Hazri menjemput dengan jongkong. Itu jenis sampan kecil yang hanya muat dua sampai tiga orang.
Di Durai, Cik Hafsah mengurusku macam
mengurus bayi. Perut dan punggungku dioles minyak, makanku diambilkan, dan aku
sebentar-sebentar ditanya apakah pusing apakah lapar. Mungkin, ini akibat Baba
terlalu banyak berpesan kepadanya.
Dua hal yang sangat membuatku gembira,
Hazri mengajakku melihat penyu bertelur saat malam hari dan membawakan satu
ember kecil berisi tukik pada Minggu paginya. Tukik-tukik itu dirawat oleh ayah
Hazri sampai tiba waktunya kuat untuk dikembalikan ke laut.
“Ambil satu,” Hazri mengajariku dengan
terlebih dahulu ia mengangkat satu tukik dan diletakkan di telapak tangannya.
Aku geli. Beberapa saat hanya diam melihat Hazri yang khusyuk dengan tukiknya.
Hazri meletakkan tangannya di pasir dan
membiarkan tukiknya merangkak. Sebuah buih sisa ombak menyapu mahluk kecil itu.
Dia berjalan terus. Hazri menyorakinya. Dan sebuah sapuan ombak membawa tukik
itu pergi, berenang ke rumah aslinya.
“Ayo, cobalah.”
Hazri mengambil tukik lagi dari ember.
Enam sekaligus dan langsung dijajarkan di pasir.
“Tiga yang sana milik kau, tiga yang ini
punyaku. Siapa dulu yang masuk pantai dia yang menang.”
“Ayo.”
Dan kami bersorak-sorak menyemangati
tukik-tukik kami. Hazri sampai rebah ke pasir dan tak peduli pada bajunya. Ia
terus merayap mengikuti tukik-tukiknya yang berjalan gesit. Tak mau kalah, aku
ikut telungkup di pasir. Kusemangati tukik-tukikku dengan yel-yel. Kami terus
merayap di pasir yang basah. Tak peduli baju dan rambut ikut basah. Aku sangat
senang walau akhirnya ketiga tukik Hazri hilang terlebih dahulu ketimbang
punyaku.
“Aku menang,” umumnya bangga.
“Yalah, kau, kan, semenjak lahir dah
lepas tukik ke laut. Macamana bisa kalah?”
Hazri tertawa lepas. Dan matanya menjadi
begitu bersinar. Untuk kali pertama sejak aku mengenalnya, baru itulah kulihat
Hazri yang lepas dan apa adanya. Mungkin, karena di sinilah rumahnya. Rumah
yang nyaman bagi jiwanya.
Nah bikin penasaran
BalasHapusLanjut ke bagian kedua