Apakah harus berdandan untuk menjadi cantik, Tobi?
Ugh, maaf kalau aku bertanya itu padamu. Kupikir kau akan ligat menjawab tanpa perlu meramu kata per kata. Sebab di sini, aku merasa pipiku masih sangat gatal dan bibirku jadi terlalu kering akibat bedak dan lipstik yang -kurasa- terlalu tebal dibubuhkan Bibi Selena pagi tadi.
Kami berangkat dari rumah pukul sembilan setelah sebelumnya Bibi meminta izin Paman Lintar untuk menculikku dari tugas negara; mengusir ulat dari daun tomat dan menyiram sekebun kol.
Gaun yang kupakai, yang dibelikan Bibi Selena kemarin, adalah sebuah gaun bermotif bunga sewarna peach yang entah berbahan apa tetapi sangat lembuuut sekali. Tapi karena terbiasa memakai baju longgar, rasanya aku menjadi kikuk harus memakai gaun yang melekat sempurna mengikut lekuk tubuh seperti ini. Apalagi, Rambut yang sehari-hari kusanggul diturunkan oleh Bibi dan ia memaksaku untuk membiarkannya tergerai.
Lantas, sebuah kalung berliontin dipasangkan ke leherku sebelum Bibi menyemprotkan minyak wangi yang harumnya sangat manis dan mistis seperti milik putri-putri raja. Bibi Juga memakaikan sepatu bertumit yang untungnya, itu bukan sepatu kaca. Aku bersyukur karena tak perlu khawatir akan bertemu seorang tampan di pesta dan membuatku gugup lantas meninggalkan sebelah sepatu yang akan ditemukan oleh panger ... oh stop!
Aku masih tetap Anna walau Bibi Selena mengatakan aku secantik Cinderella. Cantik? Oh, Aku yakin kau akan menggeleng lantas lari ketakutan macam melihat hantu, Tobi.
"Apa kau masih senang membaca dan menulis, Anna?"
Bibi Selena membuka percakapan saat mobil yang dibawanya baru saja melewati tugu jeruk. Kesempatan itu kupergunakan untuk memberi tahu Bibi bahwa aku baru saja masuk nominasi dua puluh terbaik dari tiga ratusan naskah novel yang ikut kulombakan.
Bibi Selena tersenyum, tulang pipinya yang terangkat membuat wajahnya sungguh jelita saat tersenyum seperti itu. "Kau beruntung bisa menulis, Anna."
Aku menatap intens ke mata Bibi, "Sastrawan Korrie Layun Rampan seharusnya tak perlu repot membuat artikel miris sebelum kematiannya, jika memang menjadi penulis itu membawa banyak keberuntungan, Bibi."
"Oh, bukan, bukan soal itu, Anna." Sanggah Bibi Selena dengan gerakan satu tangannya terayun ke udara. "Maksudku, dengan menulis, kau beruntung bisa terus menghidupkan apa-apa yang telah mati."
Sekonyong-konyong, ingatanku terjerembab kepadamu, Tobi. Apakah Bibi Selena mengetahui bahwa kematian hubungan kita tak jua membuatku mati mengenangmu?
"Tapi, kupikir walau tak menulis, aku juga patut bersyukur karena masih bisa tetap menghidupkan cinta di hatiku," imbuh Bibi seperti menegaskan pada dirinya sendiri. "Mempelai wanita yang akan kita datangi ini, dia adalah prasasti dari cinta yang tetap hidup di hatiku." Sambung Bibi, lagi. Aku baru akan membuka mulut untuk mengeluarkan tanya yang serentet peluru ketika Bibi Selena kembali bersuara.
"Kau akan lihat dia nanti, Anna. Sekarang, terima kasih kau sudah menemani Bibi. Kau cantik sekali."
Mendengar pujian dari Bibi Selena, ingatanku segera surut ke liang paling dalam. Cantik? Oh, tubuhku kembali susut. Badanku sangat kurus, kulitku gelap, rambutku berulir seperti mi instan. Tiap-tiap peringatan Hari Besar Nasional saat seragamku masih putih biru, tak sekalipun aku menjadi murid terpilih untuk memakai pakaian adat dan dirias untuk memeriahkan karnaval. Aku tahu, aku tidak cantik. Tapi Tobi menghiburku.
"Anna, menurutku, kau jauh lebih cantik dari teman-teman kita. Itu saat kau menulis."
Dan sekarang mataku basah. Bibi Selena menatapku resah dari belakang kemudinya.
I miss you, badly, Tobi...
#30Harimenulissuratcinta hari ke-7
kemana Tobi?
BalasHapusbesok nulis surat bertemaa yaa
-ikavuje
Tobiiiiii dia... kasi tau ga ya?
BalasHapus*siap...
aku membayangkan anna dalam balutan gaun dan rambut terurai
BalasHapus