Matinya
Sirih Merah Lotta
Oleh: Wiwik Waluyo
Kartik paling bangga dengan menantunya
yang bernama Lotta. Bukan karena Lotta tinggal persis di sebelah rumahnya dan sering
mengiriminya panganan. Bukan juga karena Lotta sering mengajak Kartik pergi-pergi
ke luar, untuk jalan-jalan atau sekadar jajan-jajan. Yang Kartik senangi dari
menantunya yang ini adalah, Lotta memiliki tangan dingin yang bisa menumbuhkan
semua jenis tanaman yang ia tanam.
Sebelum rumah di
samping rumah Kartik selesai direnovasi untuk ditempati Jais anaknya dan Lotta
menantunya, menantunya itu sudah membeli banyak sekali bibit tanaman. Dan walau
Lotta itu perempuan berkarir, ia tetap menanam semua tanaman dengan tangannya
sendiri. Lotta tidak jijik mengaduk-aduk tanah dan tidak menjerit jika bertemu
ulat. Dan lihatlah sekarang, belum dua tahun Lotta tinggal di sana, pekarangannya
sudah menghijau.
Di sisi dalam pagar
Lotta menanam bambu Jepang yang sekarang sudah tinggi rapat dan cukup sebagai
penampik abu jalanan. Pekarangan samping penuh dengan tanaman buah dalam pot
yang mangga dan sawonya sudah tiga kali berbuah. Sementara di teras samping,
terdapat lapangan hijau dengan cemara yang rindang dan perdu yang rapi teratur.
Pot-pot berisi melati dan aglaonema berjajar apik. Dan sirih merah tumbuh subur
menjalar-jalar di tali yang dipasang Lotta sepanjang satu sisi teras. Sirih merah
itu menjadi kerai alami yang meneduhi teras kala siang hari.
Sebagai orangtua, Kartik
sangat mengerti manfaat daun sirih merah. Mulai penyakit ringan berupa jerawat
dan gatal-gatal hingga bronkitis, darah tinggi, asam urat, tumor, diabetes,
juga paru-paru bisa diterapi dengan daun sirih merah. Berulang-ulang Kartik
memuji Lotta karena keberhasilannya menanam tanaman obat dari banyak penyakit
itu. Dan sore ini, Kartik yang merasakan badannya pegal-pegal akibat serentet
penyakit tua yang menggelayuti tubuhnya datang ke rumah Lotta.
“Ibu minta daun sirih
merahnya tiga lembar, ya?”
Lotta memandang wajah
penuh gelambir milik Kartik, “tiga lembar cukup, Bu?”
“Cukup, kata
orang-orang tua dulu memang harus ganjil. Kalau nggak tiga ya lima, atau tujuh.
Pokoknya ganjil.”
“Kenapa harus ganjil?”
Lotta menyerahkan gunting kepada Kartik.
“Nah itu Ibu nggak
faham,” jawab Kartik sambil menggunting tiga lembar daun sirih merah dari
tangkainya.
“Ambil yang banyak, Bu.
Sembilan atau sebelas lembar gitu,” tawar Lotta tulus.
“Wah, ini tiga saja
sudah pahit bukan main,” Kartik mengembalikan gunting pada Lotta. “Lagipula,
nggak semua orang bisa menanam sirih merah seperti kamu Lotta. Ibu saja sudah
coba beberapa kali tapi mati terus-terusan. Jadi yang kau tanam ini harus
baik-baik dirawat, disayang-sayang. Kau bersyukur punya tangan yang dingin.”
Lotta menerima pujian
mertuanya dengan senyuman kecil. Ia tahu benar bahwa yang memumbuhkan segala
sesuatu hanyalah Tuhan. Jika benih dan bibit yang ditanam dengan tangannya
mampu tumbuh besar, itu sama sekali bukan karena kehebatannya. Tapi karena
Lotta memang telaten merawat tanaman dan Tuhan berkenan menyuburkannya.
Kartik terus memuji
Lotta. Lotta bisa menerima pujian itu dengan wajar andai saja Kartik tak
terlalu berlebihan. Lotta jadi jengah. Apalagi, ketika kemudian tetangga,
saudara-saudara bahkan orang-orang entah dari mana datang meminta sirih merah
milik Lotta, Kartik menjadi resah dan keresahannya itu tak masuk di akal Lotta.
“Itu Uwak Liang,
kemarin datang minta sirih merah lagi, ya?”
“Iya, Bu. Luka
diabetesnya lumayan kering setelah minum rebusan sirih,” jawab Lotta jujur.
“Lha, tapi ya jangan
terus-terusan minta ke mari. Cari di tempat lain kan ada!”
“Nggak apa-apa, Bu.
Lotta malah senang kalau yang kita tanam ada manfaatnya untuk orang-orang.”
“Iya, tapi ya jangan
keseringan. Ibu saja sungkan kalau mau minta ke Lotta.”
Ups,
Kartik kelepasan. Lotta memandang sekilas ke wajah Kartik yang serba salah.
“Ibu nggak perlu
sungkan. Kalau ibu mau, setiap hari juga nggak masalah ibu petik sirih
merahnya.”
Kartik mengendurkan
nada bicaranya. “Bukan apa-apa, sirih merah itu susah menanamnya. Kalau sembarang
orang petik nanti bisa mati. Kalau mati susah ditanam lagi.”
Dan, apa yang dikatakan
Kartik itu serupa kaset yang selalu diputar-putar saat datang bertandang ke
rumah Lotta. Bahwa tak mudah menanam sirih merah, tak boleh orang sembarangan
memetiknya dan karenanya harus Lotta awasi tiap-tiap yang meminta ke rumahnya.
Dan itu sungguh membuat Lotta tidak nyaman. Terlebih, Kartik beberapa kali
meneriaki tetangga yang datang meminta sirih merah ke rumah Lotta.
“Heh, jangan
banyak-banyak!”
“Jangan asal petik!”
“Kalau mau banyak beli
di pasar!”
Sikap Kartik membuat
Lotta mengurut dada. Satu sisi hati ia tak ingin bersikap buruk di hadapan ibu
mertua, namun sisi lainnya ia juga tak bisa menerima sikap Kartik yang terlalu
perhitungan. Di antara ketidak enak hatian itu, daun-daun sirih merah mengalami
perubahan. Daunnya yang berwarna merah hijau dengan corak abu-abu berubah menjadi
kuning. Daun-daun kuning itu lantas kering seolah terbakar dan gugur satu per
satu diterpa angin.
Lotta mengira perubahan
itu hanyalah akibat anomali cuaca. Karenanya ia memotong sulur-sulur sirih
merah yang daunnya telah mengering. Ia juga menambahkan volume air saat
menyiramnya. Namun usaha itu tak membuahkan hasil. Kian hari sirih merahnya
semakin berubah. Daun-daun yang menguning itu seolah menular. Maka perlahan,
helai-helai daun berubah menjadi kuning. Terbakar. Luruh.
Kartik menjadi naik
darah. Uwak Liang yang datang ke rumah Lotta mengantar makanan mendapat sasaran
kemarahannya.
“Itulah, karena terlalu
sering dipetik, mati dia.”
Uwak Liang yang
mendengar itu merasa bersalah. Sementara Kartik puas telah menumpahkan uneg-unegnya. Dan Lotta cepat-cepat
meredakan suasana.
“Mungkin hanya karena
cuaca, Bu. Selama batang utama masih segar, sirih kita masih bisa tumbuh
sulur-sulur yang baru.”
Kartik tak puas dan
terus menggerutu. Uwak Liang berulang-ulang meminta maaf. Dan berhari-hari
setelahnya, Lotta tetap merawat sirih merahnya. Bahkan, Lotta selalu berbicara
dengan sirih merahnya yang semakin meranggas, setiap malam menjelang tidur.
“Kalau kau lelah
mendengar orang-orang meributkanmu, aku ikhlas kau pergi dan beristirahat.”
Dan, pada sebuah pagi
yang ribut cericit emprit, saat Lotta membuka pintu teras sampingnya, ia
melihat daun-daun sirih merahnya yang menguning dan terbakar luruh sepenuhnya
menutupi tanah. Batang utamanya kisut dan kering. Lotta mengerti, sirih
merahnya butuh jeda untuk kembali hidup dan tangguh pada angkara yang
membumbung semesta.[]
Cerpen ini tayang di buanakata.com hari Minggu, tanggal 31 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.