Dari Jalan Karya di Medan Barat.
2 Agustus 2016, hampir pukul 23.00 Wib.
Bu,
orang-orang bilang skill menulisku lumayan. Tapi selama dua ratus enam
puluh lima purnama -sejak kepergianmu pada sore yang basah dan membuat
tanah merah menempel tebal di selop jepitku saat pemakamanmu- belum
pernah sekalipun aku secara khusus menyapamu dalam tulisan; hai Ibu, apa
kabarmu hari ini?
Ibu,
saat kutulis surat ini, usiaku sudah mencapai tiga puluh tiga tahun, satu bulan dan
dua hari. Aku telah melahirkan tiga cucu untukmu, Bu. Yang sulung malah
sudah hampir berumur sepuluh tahun. Itu sama dengan umurku saat kau
diam-diam pergi meninggalkanku dan tak pernah kembali lagi, kan, Bu? Oh,
aku jadi ingin bertanya pada Bapak, apakah umur Ibu sudah tiga-tiga
saat mengembuskan napas terakhir dulu?
Kusebut nama Bapak, apakah Ibu menjadi tak sabaran untuk mengetahui kabar tentang Bapak?
Sebentar,
mumpung ingat, sebaiknya kutulis dulu perihal kenapa tiba-tiba, setelah
masa yang begitu panjang aku tergerak untuk menuliskan surat kepada
Ibu.
Bu,
aku punya teman. Cuma teman maya, sih. Kadang aku bertandang ke blognya dan
selalu kubaca surat-surat yang dia tulis untuk ibunya. Woaaa,
jangan-jangan, ibu dan ibunya malah sudah sering masak bareng ya di
sana?
Aku
jadi berpikir, dia yang pria saja bisa begitu intim dengan ibunya dan
tak malu mempublish rasa kasih sayangnya. Lalu, kalau dia sangat bangga
dengan mendiang ibu yang sering dia bilang pesek, kenapa aku tidak
bangga dengan Ibu yang cantik dan mantan kembang desa (aku baru banget
tahu soal ini, kapan-kapan secara khusus aku tulis soal ini, ya, Bu.
Sudah, tak usah protes.)
Itu
tadi alasan klisenya. Alasanku yang sebenarnya kenapa ingin menulis
surat secara berkala, ialah karena waktuku yang semakin pendek. Kalau
dulu Ibu mati muda, belum tentu aku esok akan mati tua. Oh, kadang saat
diserang sakit kepala saja pikiranku jadi ngelantur apakah aku akan bisa
bertahan merawat cucu-cucumu sampai ke depan pintu gerbang kedewasaan
mereka, ataukah aku akan segera menyusul dan berjumpa denganmu yang
terlampau sering kurindukan?
Jadi,
karena waktu yang semakin sempit ini dan karena aku belajar banyak
darimu -yang pergi tak meninggalkan jejak untukku bisa lebih mengenalmu-
maka aku melakukan ini. Semoga saja, surat-suratku ini kelak menjadi
abu penanda bagi cucu-cucumu dalam mengenali jejakku, jejakmu, jejak
kita. Ih, so sweet banget ya kebacanya.
Nah, tadi sampai di mana? Ouw, Ibu ingin membaca kisah tentang Bapak?
Bapak
sehat, Bu. Stroke ringan yang pernah memaksanya berbaring di brangkar
rumah sakit membuatnya sadar dengan pola makan sehat. Sarapannya ubi
pisang jagung godog. Sayurnya juga direbus-rebus saja. Lauknya
kebanyakan protein nabati. Dan itu semua sukses dijalani Bapak atas
sokongan Ibu sambung -penerusmu- yang tak lain tak bukan mantan guru
mengajiku dulu. Kalau Ibu tak keberatan, kapan-kapan kuceritakan tentang
ibu sambung secara detail ya.
Yang
jelas saat ini, setelah pensiun, Bapak malah sibuk bukan main. Sibuk
mengisi pengajian sampe sibuk mengurusi warung-warung BPK dan segala kericuhan
umat belakangan ini. Di sana ada internet ga sih, Bu? Kalau ada, coba
deh buka situs berita tentang kerukunan umat di Sumatera Utara sekarang
ini. Pasti ibu bisa lihat itu wajah kusut masai Bapak nongol di tipi.
Apa Ibu kaget membaca perkembangan tentang Bapak? Ah, semua manusia
berubah, Bu. Dan Bapak, satu penyebab terbesar perubahan hidup yang
menjadikannya religius adalah karena kepergianmu, Bu. Aku sebenarnya tak
suka menuliskan kesimpulan purba bahwa kehilangan adalah cermin terbaik
untuk memandang wajah cinta. Seolah-olah manusia ini banyak bebalnya.
Menunggu kehilangan baru kecarian. Tapi, yah, mau bagaimana lagi. Aku
harus tunduk pada kesimpulan itu serupa aku mentakzimi kecintaanku pada
ibu, pada kau yang ingatan selalu melemparkanku kepada fragmen pagi
ketika kau menjewer telingaku jika alpa dan pura-pura alpa menyapu teras
rumah sebelum berangkat sekolah.
Bu,
sebagai surat perdana aku khawatir ini terlalu panjang dan akan banyak
menyita waktumu di sana. Lagi pula, aku sudah mengantuk sekali. Dua hari
ini aku kekurangan waktu tidur karena merawat cucumu (Sulthan) yang
muntah mencret muntah mencret muntah dan teruuus saja mencret. Tapi
tenanglah, nggak usah buru-buru nyari stetoskop gitu. Aku tahu Ibu
perawat sejati. Syahdan, aku mewarisi bakat merawat Ibu yang luar biasa
(ini geer-geernya aku aja sih.)
Nah
aku jadi ingat, sewaktu Bapak dirawat di RS GL Tobing, aku tak sengaja
bertemu perawat senior di sana. Kau tahu siapa dia, Bu? Dia mengaku
sebagai temanmu. Duh, aku langsung takzim mencium tangannya. Kubayangkan
bahwa begitulah punggung tanganmu yang mulai ditumbuhi keriput.
Ibu,
ibuku yang cantik dan dahulunya kembang desa, sudah dulu ya. Aku janji
ini bukan surat pertama dan terakhir. Aku toh belum cerita tentang
rumah puskesmas kita dulu yang sepi di tengah kebun sawit. Kapan-kapan
pasti kuceritakan gimana rumah itu sekarang.
-peluk ya-
Makasih ya mbak, mbak bikin aku pengen pulang ke rumah dan peluk mama papa, mudah-mudahan alm. Ibu beneran bahagia di sana mbak, aamiin <3
BalasHapusSalam,
Senya