Aku mencium pipi ibu dari belakang. Diam kuhirup
dalam-dalam aroma kelembutan yang murni, menguar sangat jernih dari tubuh ibu
yang ringkih.
“Aku akan merindukan Ibu,” bisikku
sambil mengecupnya sekali lagi, “hanya dua hari aku pergi, Bu.”
Ibu beralih dari layar laptopnya. Bukan.
Perhatian ibu bukan pada layar laptop tetapi pada kertas pudar yang ditempel di
dinding, persis di atas laptop. Ibu menggerakkan kakinya, kursinya berputar
seratus delapan puluh derajat hingga penuh berhadapan denganku. Sepasang matanya
menatapku sembari mengirim permohonan. Ada selaput bening yang rapuh, siap
pecah dan luruh dalam sepelan kedipan.
“Jangan pergi, Arimbi.” Tangan ibu
menggamit lenganku. “Jangan pergi untuk sesuatu yang tidak berguna,” tambahnya
lagi.
Tidak berguna?
Aku menatap ibu dan menusuk-nusuk
manik matanya dengan segala kemarahan yang kupunya. Memangnya apa yang lebih
tidak berguna dari sebuah pelarian diri? Aku tak ingin terus-menerus melihat
ibu berlari dari kenyataan pahit sepanjang kehidupannya dikhianati ayah hingga
kanker menggerogoti tubuhnya. Aku juga tak ingin ibu terus berpura-pura dalam
kebahagiaan artifisial buatannya. Bagiku, semua yang dilakukan ibu adalah
sebuah sikap eskapis, melarikan diri dari yang seharusnya ibu jalani.
“Kalau ini tidak akan berguna buat Ibu,
paling tidak ini berguna untukku.”
Jam berdentang dua kali. Aku harus
pergi agar tak tertinggal kereta pukul empat sore nanti. Kulepas tangan ibu dan
beranjak. Langkahku berhenti sejenak lalu kembali. Kutarik selembar kertas
pudar yang menempel di dinding. Ibu menggumam sesuatu. Aku pura-pura tak
mendengarnya. Aku meyakinkan diri bahwa ibu sudah tak membutuhkan kertas pudar
ini lagi. Aku melipatnya dan menyimpannya dalam saku sambil terus melangkah.
Aku merapatkan punggung di kursi
kereta Gumarang yang akan membawaku ke Semarang. Sejak meninggalkan stasiun
Pasar Senen, mataku nanar melepas gedung-gedung dan rumah-rumah petak yang
berlari di sepanjang bantar rel kereta api.
Apakah orang hidup harus berlari
seperti pemandangan yang kulihat dari dalam kereta ini? Apakah kita tak bisa
tinggal, menyelesaikan satu demi satu masalah tanpa perlu jauh berlari
meninggalkan masalah yang tak pernah benar-benar tercerabut dari akarnya?
“Kita baru tujuh belas tahun, Arimbi,
tak perlu ikut repot-repot memikirkan masalah orang tua.”
Terngiang oceh Arci, teman sebangkuku
yang tak berhasil mengajakku bersenang-senang akhir pekan ini. Ya, saat
kebanyakan temanku menikmati masa muda dengan kehidupan bergelimang senang, aku
justru tersedot pada masalah orang tua. Tidak. Bukan ibu dan ayah menyeretku
untuk memahami bahtera mereka yang terombang-ambing badai. Tapi aku sudah
semenjak kecil tak dapat merasakan keteduhan. Semakin remaja dan beranjak gadis
aku semakin dapat merasakannya. Ayah yang berkhianat dan ibu yang selalu tutup
mata dengan pengkhianatan itu. Penyakit kanker ibu adalah bukti bahwa ibu
–sebenarnya- nelangsa.
“Ibumu asyik dengan dunianya sendiri,
Arimbi. Dia terlalu kuat. Tanpa Ayah juga tetap kuat.” Itu kata ayah. Secara
tak langsung menuduh ibu yang siang-malam menulis karya-karya indah dan laku
keras di pasaran sebagai penyebab terbuangnya waktu ibu untuk membersamai ayah.
Bahkan ketika ibu mengidap kanker dan bergabung dalam cancer survivor belakangan ini, ayah semakin merasa ibu bisa hidup
tanpanya. Suatu pemikiran yang aneh, paling tidak di kepalaku.
“Yang Ibu lakukan hanya cara untuk
bertahan, Arimbi. Ibu yakin pada
waktunya Ayah akan pulang dengan ketulusannya.” Itu kata ibu. Sebuah
keyakinan yang rapuh. Sebab bagaimana mungkin ibu menanti ayah kembali
sementara hampir tak pernah kulihat ibu berusaha memperlihatkan kemarahannya
pada ayah. Hey, aku saja marah ketika Bhadra, cowok yang pedekate padaku terlihat mendekati gadis lain pada suatu kesempatan.
“Api tak akan pernah bisa memadamkan
api, Arimbi,” tambah ibu lagi. “Kisah-kisah yang ibu tulis adalah air bagi jiwa
Ibu, dan Ibu harap suatu saat ayahmu terpercik dinginnya.”
Ugh.
Bagaimanapun indahnya retorika ibu,
yang tampak olehku adalah ayah dan ibu yang saling berlari meninggalkan diri
mereka sendiri. Aku barangkali akan lebih lega –walau tak bisa kukatakan akan
senang- jika ibu terang-terangan minta berpisah dari ayah jika ayah tetap egois
dengan pemikiran dan sikapnya. Aku sudah memikirkannya matang-matang, selama
air tak masuk ke dalam bahtera ibu dan ayah, aku yakin bahtera ini tidak akan
karam. Dan aku bisa coba menyelamatkannya. Melalui secarik kertas pudar dalam
sakuku ini.
Tanganku refleks menarik kertas itu
dan membukanya.
“Hey muka badak, menulis fiksi itu ada
teorinya. Sudah tua sok toy lagi. Pingin Ed biarin tapi sayang kalau punya
temen yang begonya sampe kebawa mati.”
Aku menutup kertas itu. Kertas
‘mantra’ yang ditempel di dinding dan selalu dipandangi ibu dan melejitkan
semangat ibu untuk menulis. Kertas ‘mantra’ yang membuat ibu tak peduli pada
rasa sakitnya dan membuat pikirannya hanya terfokus pada menulis. Menulis
adalah pelarian diri ibu. Dan kepergianku ini demi memutus jalan pelarian itu.
Aku melipat kembali kertas itu. Hatiku
sibuk bermonolog hingga lelah dan mataku menyerah mengikuti apapun yang berlari
di luar kereta. Aku jatuh tertidur, lelap tanpa mimpi. Aku terbangun oleh
dentam suara dan jeritan-jeritan. Dimensiku berubah menjadi gelap dan tubuhku
seperti tercampak lalu tertindih entah apa. Aku dicekam takut. Takut tak bisa
melanjutkan perjalananku. Namun tiba-tiba, seberkas sinar putih membuatku
gembira. Aku tak peduli apapun yang terjadi asalkan aku bisa melanjutkan misi
ini.
***
“Bagaimana cara berhenti berlari dari
kenyataan, Paman?”
Laki-laki seusia ayah itu terkejut.
Paman itu baru saja selesai membawakan syair-syairnya pada sebuah acara seni
budaya di Taman Srigunting. Aku telah mengikuti jadual Paman penyair ini dari
akun media sosialnya demi bisa menjumpainya, dan juga demi mengajukan
pertanyaan seperti yang baru saja kuutarakan. Demi misiku. Tapi Paman itu tetap
geming. Ia hanya melihatku selewatan sambil terus membereskan urusannya.
“Di mana ujung pelarian diri itu,
Paman?”
Agaknya pertanyaanku berhasil kali
ini. Paman itu menatapku dalam. Aku berdeham untuk menghilangkan kegugupanku.
“Apa kau lapar?”
Hah?
“Aku lapar sekali. Akan kujawab
pertanyaanmu di sebuah tempat makan kalau kau mau. Dan kupikir, kau juga perlu
makanan hangat untuk menyegarkan tubuh. Wajahmu pucat sekali.”
Oh. Aku memang belum makan semenjak
malam tiba di Semarang. Kecelakaan kecil kereta yang kutumpangi sesaat sebelum
sampai Semarang membuatku terkejut dan berantakan. Evakuasi memakan waktu agak
lama dan waktu sisanya kuhabiskan untuk merancang pertemuan ini agar aku tenang
setelahnya.
“Aku ikut Paman,” putusku segera
mengikut langkahnya. Kami berjalan sedikit tergesa. Pada sebuah restoran
Tionghoa kami berbelok. Paman penyair itu memesan sup hi piu dan fu yung hai.
Aku meminta i fu mie kesukaanku. Bukan. Bukan kesukaanku tapi kesukaan ibu.
Belum-belum, aku sudah sangat rindu pada ibu.
“Kenapa Paman menulis Eskapis[1]?”
Aku benar-benar tak sabar. Aku
mengeluarkan buku Eskapis karangan Paman itu dari dalam tas dan memintanya
untuk membubuhkan tanda tangan.
“Namaku Arimbi, Paman. Tapi Paman
tulis saja buku itu untuk ibuku. Namanya Moktika. Dan kumohon, Paman menuliskan
pesan yang dapat membuat ibuku berhenti lari dari kenyataan hidupnya.”
Pelayan datang dengan dua cangkir teh
krisan. Paman menyeruputnya tak sabaran, padahal uap panasnya masih mengepul
tebal.
“Eskapis ini buku puisi pertamaku,”
Paman mulai menjawab pertanyaanku sembari mengangkat bukuku, eh ralat, buku
milik ibu maksudnya. “Aku menulis ini dulu saat muda, saat aku asyik menyendiri
dalam kamar dan orang lain yang mengintipku dari lubang pintu adalah ancaman
bagiku. Aku tersesat dalam prasangka yang kubuat-buat. Dan kau, anak-anak
zamanmu mungkin akan menyebut itu dengan galau.”
Paman itu terkikih. Aku memutus kikihannya
dengan sepotong tanya, “Bagaimana mengakhiri itu, Paman?”
Pelayan datang mengantar pesanan. Aku
harus bersabar karena Paman langsung mendekatkan makanannya dan menyendok
sedikit demi sedikit. “Makanlah, Arimbi. Kau semakin pucat.”
“Aku pucat menanti jawaban dari
Paman,” sanggahku, lepas.
“Baiklah.” Paman itu mengalah,
“bayangkan kau menjadi penumpang gelap di sebuah kereta. Kau akan mondar-mandir
dalam gerbong dan takut tertangkap petugas karcis. Lalu saat akhirnya tiba di
stasiun tujuan, ternyata, tak ada seorang pun yang menunggumu. Dalam keadaan
seperti itu, apa hidupmu masih terasa berarti?”
Aku menggeleng, “Orang lain dan segala
aturan sangat perlu untuk bantu mengarahkan jalanku, Paman. Tanpa orang lain, memangnya
aku bisa apa?”
Paman itu menyeruput sup hi piunya,
“Kau gadis cerdas, Arimbi.”
Aku mendadak mengerti satu hal. Ibu,
ya, ibuku harus mengerti bahwa ikatan pernikahan seharusnya membuatnya memiliki
tujuan. Kesakitan-kesakitan yang ada di dalamnya bukan untuk dinafikan. Sebab
itu hanya membuat ibu merasa menjadi penumpang gelap yang hanya mondar-mandir
tak karuan dalam bahteranya sendiri.
“Apakah Paman mengingat ini?”
Aku memberikan secarik kertas pudar
pada Paman. Ia membacanya dengan lirih.
“Hey muka badak, menulis fiksi itu ada
teorinya. Sudah tua sok toy lagi. Pingin Ed biarin tapi sayang kalau punya
temen yang begonya sampe kebawa mati.”
Keningnya berlipat. Aku sangat berharap Paman
mengingatnya. Itu adalah komentarnya terhadap karya ibu, pada masa lalu.
“Kata-kata dan tulisanku pada masa
lalu memang sangat busuk.”
“Benar Paman yang menuliskan? Ed itu
berarti Edgar nama Paman, bukan?”
Paman itu mengangguk. “Kau dapat dari
mana?”
“Oh, aku setiap hari membaca komentar
pedas Paman ini. Ibuku menjadikannya mantra. Kehidupannya yang gersang
membuatnya berlari. Mantra dari Paman itu mencungkil keberanian ibu untuk lesat
meninggalkan siapapun. Ibu tak peduli. Ia tak pernah benar-benar peduli pada
apapun kecuali pada kemegahan semu yang dibangunnya melalui karya-karyanya yang
best seller.”
“Siapa ibumu?”
“Tadi sudah kusebut, Moktika yang
terkenal itu adalah ibuku.”
Kening Paman kembali terlipat.
“Moktika penulis yang tak pernah menampakkan jati dirinya?”
Aku mengangguk mantap, “Benar. Paman
masih ingat tidak, kalimat pedas Paman itu pernah Paman tujukan pada siapa?”
Paman itu memejamkan kedua mata, agak
lama. “Julia. Dia teman kuliahku belasan tahun lalu. Dia senang membuat cerpen.
Dan aku sering memberinya komentar busuk agar dia tak cepat puas dengan
karya-karyanya. O, ternyata dia sudah berhasil sekarang.”
“Tapi tidak dengan rumah tangganya,
Paman,” potongku cepat dan kembali menambahkan bahwa ibu sekarat sekarang ini.
“Aku mohon, sebagai teman lamanya, Paman menemui Ibu dan berbicara sedikit. Aku
yakin yang sedikit itu akan membuat ibu berhenti dari pelarian dirinya.”
Selesai, aku telah mengatakan apa yang
menjadi misiku. Aku sangat berharap Paman penyair ini mengasihaniku dan
menjumpai ibu.
“Paman, traktiran Paman membuat
perutku penuh. Aku ke toilet, ya.”
Aku pergi meninggalkan Paman, tas,
buku Eskapis juga secarik kertas pudar di atas meja. Lima belas menit, setengah
jam, satu jam, dan Paman mencium gelagat tak beres kenapa aku tak kunjung
kembali.
Dari tempatku bisa kulihat Paman sibuk
menanyai pelayan yang mereka sama bingungnya seperti Paman. Paman membereskan
barang-barangku lalu bersiap pergi. Langkahnya mendadak terhenti ketika
televisi dari sudut restoran menayangkan berita sore. Kecelakaan kereta Gumarang
malam tadi telah merenggut sebelas korban jiwa termasuk seorang gadis bernama
Arimbi. Termasuk aku.[]
*Cerpen ini tayang di Gogirl!Magz.com tanggal 10 Desember 2016
Bagi yang ingin mengirim cerpen ke sana sila email ke metha@gogirlmagazine.com. Format A4, Calibri 11, spasi 1, minimal 900 kata.
Honornya Alhamdulillah, setengah juta potong pajak ^_^
[1]
Eskapis adalah judul buku kumpulan puisi karya Arif Fitra Kurniawan
Wah, endingnya bikin nangis
BalasHapusHatiku luruh bacanya mbak :')
BalasHapusSalam,
Oca