ESKAPIS[1]
Oleh:
Wiwik Waluyo
“Di dalam diriku sudah aku ciptakan
ribuan pasang mata yang menangis, bangsal-bangsal rumah sakit bersalin, jarum
suntik, kapsul penenang dan rumit rumusan demi menebus kehilangan. Masa depan
orang-orang terlanjur bibit penyakit, menunggu waktu tepat sembari memeluk
pertanyaan kapan dirimu akan berulang-ulang bangkit…[2]”
Puisi yang kau bawakan membuat panggung seni Kampoeng
Jawa di Festival Kota Lama Semarang bergetar oleh nyeri yang
menjalar-jalar. Penonton hening, bulu kuduk merinding. Seorang gadis geming
dalam perasaannya yang ambring. Ia datang dari tempat yang jauh, menyiapkan
hari dan perjalanan ke Semarang secara khusus untuk menonton pertunjukanmu. Oh,
bukan hanya menonton, namun juga demi sebuah misi.
Gadis
itu menikmati seluruh puisi yang kau bawakan dengan khidmat. Kadangkala ia
menyeka sudut mata yang berair dengan punggung tangan, saat lain ia
tersenyum. Penonton riuh bertepuk tangan pada akhir pertunjukan dan perlahan panggung
seni mulai ditinggalkan, namun ia tetap di sana. Menunggumu.
***
"Apakah
seseorang yang lari dari kenyataan bisa tenang menjalani hidup,
Paman?"
Gadis
itu menghampirimu yang sedang bergegas. Kau berhenti, sebentar menatap
wajah putih pucatnya yang merona tertimpa bayang senja.
"Paman?"
Gadis
entah siapa itu memanggilmu. Kau baru saja selesai membawakan
syair-syairmu dan tiba-tiba saja ia berada di sebelahmu bagai hantu. Menanyakan
ihwal paling kelam dalam diri. Sebuah pelarian. Dari kenyataan, dari realitas.
“Aku
tak mengira, pertunjukan Paman jauh lebih memukau dari yang selalu
kubayangkan." Dia mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas sambil tersenyum
manis. Dan kepalamu keras bekerja, mengaduk liang penyimpan ingatan jangka
panjang. Siapa gerangan gadis di hadapanmu ini?
"Aku
menyukai semua puisi-puisi Paman.” Dia mengayunkan buku itu serupa mengayun
bayi. Hatimu tersentuh. “Kalau harus ada yang paling kusuka, aku pilih
Eskapis."
Oh,
kau melunakkan persangkaan yang sempat menggerogoti pikiran. Gadis belia ini
hanyalah salah satu pengagummu. Kau segera mengosongkan perkiraan-perkiraan
dari kepala. Kau bangkit, memakai jaket jeans juga ranselmu.
"Aku belum
mengisi perutku semenjak pagi, apakah kau berkenan melanjutkan semua yang ingin
kau katakan di sebuah tempat makan?"
Sigap
gadis itu berdiri di sampingmu. Satu tangannya mendekap erat Eskapis di dadanya
dan kau terharu melihatnya. Kalian lantas berjalan menuju sebuah mobil VW
bertulis De Oudestad Bank. Kau segera mengeluarkan beberapa lembar
rupiah untuk ditukar kupon berupa uang-uangan dalam mata uang Belanda yang
menjadi alat transaksi di Festival Kota Lama ini. Kalian kembali beranjak. Di
antara rengekan anak kecil yang tak sabaran mengantri di gerai-gerai kuliner
dan sayup tembang Gambang Semarang dari dalam Gereja Blenduk, kalian melangkah
dalam diam.
“Paman
tak bertanya siapa aku, dari mana asalku dan bagaimana aku bisa sampai di
sini?”
Kau
menatapnya sekilas. Suasana sangat berisik. Kalian melewati satu grup
musik yang semua personilnya berkostum opsir Belanda di dekat Semarang Contemporary
Art Gallery. Di dalam gedung itu ditampilkan karya seni perekam sejarah
kejayaan Semarang tempo dulu juga pameran De Vrouw yang menampilkan kiprah
tokoh-tokoh perempuan Jawa Tengah. Kau terus menyeret langkah, membungkam
bibir ceriwis gadis itu dengan jejak yang tergesa-gesa.
“Namaku
Arimbi.”
Langkahmu
terhenti.
Bugh…
Seseorang
yang berjalan tergesa menabrakmu dari belakang. Kekacauan kecil segera terjadi.
Tapi kau membereskan semuanya secepat orang membuang ludah. Kau kembali
melangkah. Gadis itu membuntuti.
“Masakan
Tionghoa, bisa?”
Kepalanya
mengangguk mantap. Maka ke dalam sebuah kedai Tionghoa kalian singgah. Kau
memesan seporsi nasi dengan sup hi piu.
“Aku
i fu mie saja, Paman”
Tidak
ada yang salah. Semua orang menyukai i fu mie. Jika ada kesalahan adalah
apa yang dikatakan gadis itu kemudian.
“Ibuku
sekarat karena kanker. Anehnya, kondisinya selalu lebih baik jika siapapun
meloloskan keinginannya untuk menyantap seporsi i fu mie. Apakah i fu mie
yang panjang dan liat itu benar bisa memanjangkan umur, Paman?”
Kau
tak bisa lagi menahan diri. Apa yang baru saja diucapkan gadis ini melemparkan
dirimu ke masa lalu. Dahulu, kau pernah mendapat pertanyaan serupa dari seorang
gadis teman dunia maya saat kalian kopdar di sini. Ya, tepat di Kota
Lama ini. Kau bahkan masih mengingat, kalian menyantap i fu mie setelah kau
mengantarnya berkeliling Kota Lama dengan sepeda.
"Apakah i fu mie dan
panjang umur hanya mitos milik kaum Tionghoa, Edgar?" Begitu dahulu tanya
temanmu. Dan sekarang, gadis di hadapanmu ini menanyakan hal yang kurang lebih
sama.
“Baiklah
Arimbi, sekarang waktunya kau memberi tahu, untuk motif apa kau ada bersamaku
saat ini?”
Manik
matanya yang sempat redup kembali cerlang. Namun, terlalu banyak hal yang ingin
ia kabarkan malah membuatnya bingung dari mana harus memulai. Jarinya mengetuk-etuk
meja membentuk irama tak tentu. Tiba-tiba saja ia jadi amat gelisah.
“Aku sudah
dua puluh lima tahun membuat syair dan membacakannya di sembarang
tempat, pinggir jalan, taman-taman juga panggung-panggung seperti tadi kau
melihatku. Aku sudah tua, tapi tatapanmu seolah-olah mengesankan aku ini
Rangga yang masih begitu tampan.”
Kau
memasang raut serius. Tapi dia tertawa. Gelisahnya terbang bersama nyaring tawa
yang tak bisa ia tahan.
“Paman
tetap saja masih narsis dan blak-blakkan seperti dahulu."
"Hem?
Dahulu kapan? Apa kau sudah pernah bertemu denganku sebelumnya?"
"Pernah.
Bukan aku, tapi ibuku. Kata ibu, Paman sangat mengesalkan karena terlalu ceplas-ceplos.
Ternyata ehm, kebenaran itu baru saja
kubuktikan."
Pelayan
datang dengan dua cangkir teh krisan. Kau mendekatkan satu cangkir ke
hadapannya. Uap panas meliuk, naik ke wajah dan membelai-belai pipinya yang
sehalus pualam. Kau gemas sekali dengannya. Ingin menyangkal tuduhannya kalau
kau sudah tak senaif dahulu, namun kau urungkan. Responmu yang narsis
dan blak-blakkan tadi hanya karena kau tertular kemudaannya. Begitu alami,
begitu polos.
Pelayan
kembali datang dengan sup hi piu dan i fu mie yang aromanya membuat
fokusmu tersirap ke sana. Kau memang belum mengisi perut dengan
makanan berat semenjak pagi, kecuali bercangkir kopi dan berpotong-potong ganjel
rel[3] yang
kau celupkan ke dalamnya.
“Aku
tidak keberatan mendengar ceritamu tentang i fu mie dan ibumu sembari
aku menyantap sup perut ikanku, Arimbi.”
Dia
mengaduk teh dan menyeruputnya perlahan. Di luar, kemeriahan Festival Kota Lama
kembali meriap. Pengunjung segebyar gemintang. Dentam musik mulai terdengar
dari panggung utama. Ada artis gaek Ibukota yang manggung sebentar lagi. Tapi
kau dan Arimbi malah tersesat di belantaranya hati.
“Ibuku,
dia perempuan berwajah badak yang bego dan ke-bego-annya ia
bawa sampai sekarat.”
Kau
menghentikan kunyahanmu. Kata badak dan bego menjebloskan ingatanmu jauh ke
masa muda saat kau senang menggunakan kata-kata itu. Saat sekarang sudah
berumur, mendengar anak muda menggunakan kata itu justru membuatmu ingin
menceramahinya.
“Sebaiknya
kita tidak kurang ajar terhadap orang yang melahirkan kita ke
dunia, Arimbi.“
Dia
tetap menyantap i fu mienya dengan lahap, sama sekali tak terusik dengan
teguranmu. Alih-alih menanggapi, ia mengeluarkan secarik kertas lusuh dari
dalam tas, mengangsurkannya padamu.
Menulis
fiksi itu tetap pake teori, jangan asal. Sudah sok toy, bego lagi.
Dasar muka badak. Tadinya pingin E biarin, tapi sayang
kalo punya temen begonya sampe kebawa mati.
“E
itu inisial nama Paman, bukan? Paman Edgar?”
Kerongkonganmu
seperti disambar bumerang. Rahangmu mengencang. Kau mengingat
sesuatu. Sesuatu sepele yang tak pernah benar-benar kau lupakan. Tentang teman,
tentang kenaifan masa muda dan tentang karya-karya yang masih mentah.
Dan, ya
Tuhan! Ini tentang gadis yang kau bonceng mengelilingi Kota Lama sambil kau
lirihkan bebeberapa bait syair picisan. Lalu kau mentraktir gadis itu
dengan i fu mie dan ia menanyakan apakah i fu mie bisa
memanjangkan umur?
Kau
ingat sekarang, gadis yang kau bonceng itu datang dari Ibukota. Kalian berteman
di dunia maya awalnya. Dua belas tahun lalu. Gadis itu sering
mengatakan puisimu tak terpahamkan, dan ia selalu meminta pendapatmu atas
cerpen-cerpen yang ia posting di
blognya. Ya, gadis itu senang sekali membuat cerpen. Lalu semua
kegembiraan itu raib saat suatu ketika kau jail memberikan komentar seperti
yang tertulis pada secarik kertas lusuh itu. Padahal sungguh maksudmu bukan
itu.
“Itu
benar aku. Tapi aku tak bermaksud seperti itu, Arimbi.”
“Ya,
ya, aku mengerti. Sebab selera humorku selalu lebih baik dari ibu.”
“Oh,
benarkah dia ibumu?! Apakah kau benar-benar putri Julia?”
Dia
hampir tersedak. Sejurus kemudian senyumnya mengembang, “Terima
kasih Paman masih mengingat nama ibuku. Aku sudah berumur lima tahun saat
ia berkunjung ke Semarang yang sesungguhnya untuk mencari alternatif pengobatan
tumornya. Tapi ibu beruntung, ternyata kalian sempat bertemu dan Paman
memboncengnya berkeliling Kota Lama. Juga mentraktirnya seporsi ie fu mie."
Dia menggigit bibir bawah sambil menahan senyum saat mengatakan kalimat
terakhir. Sementara kau selayak kiper yang kebobolan gawang. Bagaimana bisa kau sampai
tak tahu Julia itu sudah menikah dan tengah berjuang melawan sakit?
"Paman
tak perlu merasa bersalah," ujarnya datar. "Ibu memang merahasiakan
statusnya karena ia sama sekali tak bahagia dengan pernikahannya. Aku tidak
bermaksud kurang ajar, tapi faktanya ayahku memang brengsek. Berulang-ulang
ayah mengkhianati ibu. Tapi ibu bertahan. Dan kupikir, penyakitnya itu sebab
ibu terlalu nelangsa dengan sikap ayah yang tak kunjung berubah. Ibu jadi melarikan
kesakitannya ke dunia maya dan juga menulis kisah-kisah fiksi yang indah.
Sayangnya, ibu terlalu sensi. Walau
ia sudah pernah bertemu Paman, tetap saja ia merasa Paman jahat saat menyebutnya
si muka badak.”
Dia
meremas kertas lusuh itu dan membuangnya ke dalam mangkuk bekas sup hi piu-mu. Kau
menjauhkan piring dan mangkuk kosong itu. Lalu menyulut sebatang rokok dan
mengisapnya dalam. Sedalam perasaan yang kembali kau selami. Syahdu suara Ruth
Sahanaya yang menembang lagu Memori dari panggung utama, benar-benar menjadi
latar yang menggetarkan hati.
“Sampaikan
maafku untuk ibumu. Aku sungguh tak pernah bermaksud menghinanya dengan
kalimat-kalimat kasar itu.” Kau mengatakan itu dengan jujur, dan dia
menggeleng pelan.
“Bukan
salah Paman. Walau sejujurnya dulu aku juga benci dengan orang yang asal
nyeplos itu.Tapi setelah aku tahu cerita yang sebenarnya, diam-diam aku
mengetikkan nama Paman di mesin pencarian google
dan, yah, akhirnya aku jadi segala tahu tentang Paman.” Dia mengatakan itu
dengan manja seolah-olah kalian ayah dan anak yang baru bertemu setelah sekian
lama berpisah.
“Aku
terharu ketika akhirnya tahu bahwa celaan muka badak yang bego itu datang dari penyair ternama Semarang. Pantas
saja ibu mencetak dan menempelnya di ruang menulisnya. Oh, seandainya Paman
tahu seberapa besar perjuangan ibu untuk menjadi badak yang cerdas, siang-malam ibu berusaha untuk itu dan abai pada
penyakit yang semakin menggerogoti tubuhnya.”
Dia
tertawa getir nyaris tersengal ketika mengatakan itu. Dan kau cepat-cepat
menggilas ujung rokok ke dasar asbak lalu mengulurkan tangan dan menyentuh
tangannya yang dingin.
“Maafkan
aku, Arimbi. Aku sungguh-sungguh tak tahu kehidupan rumah tangga ibumu. Dulu
kami hanya berbicara tentang karya, selalu tentang karya. Ibumu hebat. Aku
melihat potensi besar pada dirinya. Kecuali aku, semua temannya hanya
memuji. Apa yang kulakukan hanya demi membuat ibumu tetap di tempatnya. Terus
belajar dan tidak cepat puas."
Dia
memasukkan i fu mie terakhir ke dalam mulutnya, mengunyah perlahan sambil
memandang wajahmu yang menyesal dengan tatapannya yang penuh maaf.
“Aku
mengerti. Karena itu aku merancang perjalanan ke Semarang untuk menemui
Paman. Aku mengecek semua media sosial Paman dan bersyukur melihat jadwal Paman
manggung di Pasar Malam Sentiling ini. Entahlah, aku merasa harus menemui
Paman dan bertanya adakah seorang yang terus melarikan
diri dari kenyataan akan hidup dalam ketenangan?”
“Karena
aku menulis Eskapis?”
“Karena
Paman yang mencungkil keberanian ibu untuk bangkit dan berlari dari
kenyataan," dia berhenti untuk meneguk ludahnya dengan susah payah
dan kembali berbicara. “Kenyataan dikhianati juga digerogoti kanker kronis, ibu
tetap tak peduli. Dua belas tahun ia berlari demi menjadi badak cerdas seperti yang Paman inginkan. Moktika, novelis best
seller yang tak pernah menampilkan identitas sebenarnya, apakah Paman
pernah mendengar namanya?”
Kau
lekas mengangguk. Beberapa novel Moktika diadaptasi ke layar lebar, mana
mungkin kau tak tahu tentangnya.
“Dia
ibuku.”
Kau
diam untuk beberapa waktu. Kemeriahan Festival Kota Lama teringkus oleh
gempitanya hatimu.
"Aku
menemui Paman untuk sebuah permohonan. Kupikir Paman akan bisa
menghentikan ibu dari pelarian dirinya. Betapa
pun megahnya cara ibu melarikan diri, ibu tak akan pernah tenang
apalagi sehat bahkan sesering apapun dia operasi, terapi, apalagi sekadar
menyantap i fu mie. Ibu harus berdamai dan menerima kenyataan
hidupnya yang tak sempurna. Ibu tak bisa tutup mata dengan pengkhianatan ayah.
Aku sedih melihat ibu sekarat. Aku sangat berharap, Paman sebagai teman lamanya
mau bersekongkol denganku demi kesehatan ibu. Aku tak ingin ibu mati
muda."
Kalimat
terakhirnya membuatmu deja vu. Kau masih bisa merasakan sayatan-sayatan
luka akibat ditinggal ibumu yang mati muda. Sekarang kau amat mengerti
perasaan gadis ini.
"Paman,"
panggilannya mengentak lamunanmu. "Terima kasih traktirannya.
Perutku benar-benar penuh dan aku perlu mencari toilet."
Wajah
pucatnya tersamar senyum yang sangat manis. Dia melangkah.
Meninggalkan tas, buku Eskapis, juga seremas kertas yang
kedinginan di mangkuk bekas sup hi piu-mu.
Lima
menit.
Tiga
puluh.
Satu
jam.
Dia
tak kembali. Kau membereskan tas dan barang-barangnya. Kau bertanya pada
petugas toilet wanita dan memintanya mengecek bilik satu persatu. Tapi dia
tiada.
Kau
mencari ke tiap sudut gelaran Festival Kota Lama. Ke jubelan penonton konser
musik di panggung utama, panggung seni di Kampoeng Jawa dan Kampoeng Belanda, stand
barang antik, stand batik hingga lapak pelukis sketsa wajah namun semuanya
nihil. Kau memutuskan untuk berhenti mencari ketika matamu menangkap segerombol
orang berkeliling di tempat parkir sepeda-sepeda tua.
Sebuah
sepeda ringsek bagian belakangnya. Dan kelopak-kelopak bunga bertabur di
sekelilingnya. Sebuah sketsa wajah terpasang di stangnya yang bengkok. Kau
cermat menatapnya.
Astaga, dia Arimbi.
Samar
kau mendengar orang berbicara.
"Siang
tadi, gadis ini minta dilukis lalu minta diantar keliling Kota Lama dengan
sepeda. Kecelakaan membuat kepalanya terbentur aspal. Napasnya berhenti
saat diantar ke rumah sakit."[]
senang bacanya :))
BalasHapus