”Mengapa Ayah tidak naik pesawat saja ke Mekkah?
Itu akan lebih mudah.” Ujar sang putra kepada ayahnya.
”Saat air laut naik ke langit, ia akan
kehilangan rasa asinnya untuk menjadi murni kembali.”
“Apa?” tanya sang putra tidak mengerti.
“Air lautan menguap saat ia menuju langit. Dan saat
air laut menguap, ia akan menjadi tawar. Itu alasan mengapa lebih baik menempuh
perjalanan haji dengan berjalan kaki daripada mengendarai kuda. Dan lebih baik mengendarai
kuda daripada naik mobil. Dan lagi, lebih baik naik mobil daripada naik pesawat
terbang…”
Di atas
adalah cuplikan dialog Reda dengan ayahnya dalam film lawas Le Grand Voyage
(2004). Reda terpaksa menuruti kemauan ayahnya untuk menjadi supir sepanjang
hampir lima ribu kilo meter, dari Prancis menuju ke Mekkah.
Saat beristirahat di suatu tempat,
sembari membungkus diri dalam selimut dan menyeruput teh, Reda yang sebenarnya
tak akur dengan sang ayah bertanya soal kenapa lelaki tua itu tak menempuh cara
haji paling mudah saja? Dan, seperti di atas itulah jawaban sang ayah.
sumber dari google.
Le Grand Voyage menyeret saya pada
sebuah jalan setapak menuju ke dalam diri. Semenjak kecil, saya senang
bermonolog. Semisal mempertanyakan mengapa Allah jadikan saya anak yang kurus
hitam dan kutu-an ^_*,
serta seribu mengapa dan kira-kira tentang apapun yang saya alami.
Mendengarkan suara batin dan
mengurai pesannya di antara banyak suara lain yang berisik memerlukan sebuah
keterampilan. Itu kata Kristiane Backer mantan VJ MTV Eropa yang kemudian
meninggalkan glamour kehidupan setelah bertemu Allah (mualaf). Saat membaca
kisahnya di buku A Thousand Miles of Faith, pada bagian yang saya tulis perlu keterampilan tadi, saya merasa cocok sekali. Dan saya telah berlatih untuk
itu sejak kanak, tepatnya ketika Ibu meninggal dunia dan saya harus punya Ibu
sambung (tiri) setahun kemudian.
Kepala saya riuh suara-suara
selepas menonton Le Grand Voyage yang sederhana namun sarat makna. Dari kepala,
suara-suara itu merambat turun ke hati. Saya coba mengurai suara-suara untuk
menemukan pesan –walau barangkali hanya sekelumit- yang akan menguatkan makna
diri sebagai seorang hamba.
Yup, saya menemukannya. Bukan,
bukan saya menemukannya namun Allah berkenan menajamkan pendengaran batin saya
untuk menangkap pesan itu. Sebuah pesan amat luhur. Bahwa perjalanan suci yang
ditempuh oleh seorang hamba dengan segenap hati yang lapang oleh cinta dan ke-rida-an,
ialah perjalanan yang akan memurnikan hati dari segala kotoran yang tak layak
dibawa menghadap Allah sang Maha Suci.
Jangan salah menyangka. Saya tidak
menganjurkan teman-teman berjalan kaki menuju Baitullah seperti saudara kita Mohammad
Khamim Setiawan yang luar biasa dari Pekalongan itu. Bukan. Yang saya maksudkan
adalah, ada banyak sekali peluang ‘memurnikan hati’ saat menuju ke tanah suci
bila kita melakukannya secara backpacker.
Saya ambil contoh dari perjalanan
rombongan Umrah backpacker (Ubepe) Air Asia 6-16 Mei lalu (grup Musahefiz). Studi kasus saya pilih dari kejadian yang menimpa Tour Leader (TL) grup ungu, Pak
Rudy. Pak Rudy ini dipilih oleh tim Musahefiz
sebagai TL, bukan Pak Rudy yang mencalonkan diri. Sebelumnya, tiket Pak Rudy
juga diurus oleh tim Musahefiz.
Kita sepakat bahwa tiada seorangpun
yang maksum setelah nabi terakhir. Dan kita amat paham, kita ini makhluk
yang lemah dan terkadang khilaf. Maka, apakah pantas kita kecewa hingga melabel
tim Musahefiz dengan sebutan ‘nggak becus’ atau ‘tega-an’ atas sebuah
kekhilafan tidak membelikan makan-minum Pak Rudy selama penerbangan saat
memesan tiket secara online?
Tim Musahefiz bahkan menyadari hal
ini jelang keberangkatan dan mempersilahkan jamaah untuk memesan saja makan
minum saat di udara dengan biaya yang nantinya akan diganti oleh mereka. Tapi
terkadang kita selalu berpikir dan bersikap dengan nafsu. Sehingga, kekhilafan
yang sudah dimohonkan maaf itu tetap terasa sebagai sebuah kepahitan yang tiada
taranya.
Kita seringkali terlupa, bahwa jamu
yang pahit itu hakikatnya menyehatkan. Maka, atas kejadian yang menimpa Pak
Rudy, saya coba mengurai pesan dari suara-suara batin yang timbul tenggelam.
Memang iya kasihan sekali nasib
Pak Rudy. Sudah repot dan lelah menjadi TL, tak dapat makan pula. Memang sih
bisa pesan makan on board, tapi kan itu merepotkan dan ribet juga urusan claim
uang yang ‘tak seberapa’ itu. Eh, tapi bukannya itu justru berpotensi mengundang
rahmat dan kasih sayang Allah ya?
Lihat saja, Yulia yang duduk di
samping Pak Rudy spontan muncul naluri berbagi-nya. Lagi pula, Pak Rudy-nya
juga kelihatan kalem-kalem aja nggak kayak kita yang malah ribut. Nah jangan-jangan,
Allah memang merencanakan ini untuk membersihkan dosa-dosa yang masih melekat
pada diri Pak Rudy agar setibanya nanti di tanah suci ia sudah dalam keadaan murni.
Bahkan, kejadian tak mendapat
makanan ini berulang saat penerbangan pulang. Musahefiz emang kebangetan. Eh bukan,
jangan-jangan justru dari situlah Allah bisa menyematkan ke-mabrur-an umrah Pak
Rudy. Kita kan tak pernah tahu amal saleh, ibadah dan kebaikan-kebaikan mana
yang diterima oleh Allah selama kita umrah. Bisa jadi justru dari kelapangan
dan keikhlasan hati Pak Rudy menerima
ujian lapar saat terbang pulang itulah yang diterima Allah dan menyempurnakan
ibadah umrahnya?
Saya selalu mengasah keterampilan
mengurai pesan di antara riuh suara. Tak mudah. Namun bisa selalu dicoba. Prinsipnya
hanya satu, tiada kebetulan atas apa yang menimpa kita. Allah telah sempurna mengatur
dan segala apa yang ter-takdir pastilah baik untuk kita.
Bayangkan bila kita umroh regular. Sedikit
masalah kita bisa langsung komplain ke pembimbing dan pihak travel. Bila timbul
masalah lagi, kita bahkan merasa punya hak untuk berbicara sembari teriak persis
di hadapan wajah pucat pembimbing. Kita merasa bebas mengumbar nafsu amarah
karena merasa sudah membayar mahal, sudah merasa bahwa itu hak kita. Kita lupa
bahwa apa yang kita lakukan di luar ibadah ritual itu dapat mengurangi ke-ridha-an
Allah atas diri kita.
Bandingkan saat kita umrah
backpacker dengan budget miring. Kerikil dan sandungan-sandungan akan dengan
sangat mudah kita hibur dengan, “Sabar, ini backpacker.”
Pak Rudy menjalankan tugas sebagai TL, sepenuh jiwa menggawangi rombongan yang beristirahat di KLIA.
Dan perhatikan betapa
Allah menghampar karpet merah amal-amal yang berpotensi memurnikan hati kita. Dari
mulai berangkat, walau tak saling kenal, jamaah pria rela hati menolong jamaah
wanita mengangkatkan koper. Tak cukup sekali, setiba di Jeddah mereka akan
bantu angkat koper dari konveyor tanpa perlu tahu itu milik siapa. Lantas harus
menaikkannya lagi ke bagasi bus untuk nantinya diuturunkan lagi setiba di
hotel.
Bukankah ini karpet merah amal yang
berpotensi memurnikan kita, meluruhkan dosa-dosa yang kemarin dan tempo hari
kita cetak tanpa kita sadari? Bukankah sungguh uwow fasilitas yang
diberikan Allah untuk memurnikan diri bila kita berangkat ke Baitullah dengan backpacker?
***
Perjalanan Prancis menuju Mekkah
tidaklah mudah bagi Reda dan ayahnya. Reda yang berkata lantang pada ayahnya
karena salah menunjukkan jalan. Mobil yang tertimbun salju dan ayah yang
pingsan karena hypothermia, uang yang hilang, juga perselisihan yang selalu
dilakukan Reda dengan teriak dan ayah yang hanya diam. Itu semua sungguh
kejadian yang berpotensi untuk memurnikan seorang hamba dari kerak-kerak dosa.
sumber; google
Dan Pak Tua itu berhasil. Ia seperti
hamba yang disebut Allah dalam yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah. Irji’ii ilaa
rabbiki raadhiyatan mardhiyyah. Fadkhuli fii ‘ibaadi, wadkhulii jannati.
Finally, Pak Tua itu wafat
di tanah suci dalam keadaan diri yang telah murni.
Jd pwnasaran dengan film le grand voyage
BalasHapusSubhanallah apik ��
BalasHapus