![]() |
Foto dari google. |
Bunda Julie, apa kabarnya di sana?
Di sini, oh, anakmu yang ini sudah empat tahun lalu
meninggalkan Batam dan sekarang di Medan, dan Medan sekarang ini begitu
basahnya oleh hujan yang pekat oleh kerinduan.
Bun, apa kabarnya bunda di sana? Aku kangen bunda. Ah, bunda
pasti tertawa dari nirwana, bahwa aku modus saja mengatakan kangen pada Bunda.
Bunda tahu, lebih dari tahu, kehidupan seringkali
terlalu keras bagi hati seorang wanita. Ah, salah, aku tidak seharusnya menuliskan
itu. Walau bunda setuju tapi aku tahu bunda tak suka mengeluh. Apakah aku tak
boleh sedikit saja mengeluhkan sesuatu?
Tak boleh, ya? Oh, baiklah, biar secarik tisu mengeringkan
airmataku.
Bunda Julie, aku kangen bunda panggil aku ‘Nak’. Aku kangen
ada wanita tua yang lembut hati dan menganggapku anak, seolah-olah aku ini
anakmu sungguhan. Aku begitu tersentuh ketika bunda yang bergelut dengan
penyakit harus bersusah-susah berjalan ke pasar dan belanja segala macam
manisan basah dan kering, juga keripik talas yang sangat banyak.
“Kamu kan lagi hamil, pasti suka yang asam-asam, kan?”
Oh, bunda, aku rindu ketegaran yang selalu bunda alirkan
untukku. Walau hanya satu kalimat lewat personal message; Kamu harus kuat,
untuk anak-anakmu.
Bun, bunda lihat aku kuat, kan? Apa? Masih kurang kuat?
Aku tak mungkin bisa berdiri serupa bunda yang tegak di atas
bara. Aku bahkan menjadi begitu kering dan layu seumpama daun-daun maple
sewarna kuning pucat yang luruh diterpa sedesir angin sore di kota yang kumuh
oleh kepedihanmu, kotanya Mozart dan Bethoven meniti karir mereka. Arsitektur kesedihanku
tidak serumit kisah berpalingnya hati sang Diplomat yang tertawan seorang wanita politikus yang rakus kuasa. Lusuhnya hatiku hanya karena
sesederhana urusan rindu.
Ah, aku rindu.
Aku rindu pada cinta dan kasih sayang, Bun. Rindu itu
seolah-olah mampat dalam tiap pembuluh arteri sehingga otakku tumpul. Aku tak
bisa fokus mengerjakan apapun. Rindu ini benar-benar membuatku lusuh. Dan bunda
adalah kampium dari kerinduanku.
Bunda Julie, pada ujung hari yang basah ini aku berkunjung
ke rumah bunda. Sanctuary of Julie. Rumah bunda sudah sangat berdebu. Sudah hampir
tiga tahun bunda pergi. Maafkan aku yang beruraian airmata sepanjang menelusuri
cagar-cagar warisanmu yang artistik. Yah, ketegaran bunda begitu artistik. Aku harap
aku menjelma lebih kuat setelah ini.
Bunda, dari sana bunda tahu sepotong rinduku. Aku yakin
bunda tak lekas memerintahku untuk menyingkirkan rindu-rindu itu serupa bunda
gegas menyingkirkan tiap lembar daun maple yang menutupi bangku di tepian
sebuah jalan di pinggir kotanya bunda, dahulu.
Nak, Tuhan tak pernah salah menuliskan kisah, tak pernah keliru menyetel waktunya dan tak pernah ceroboh menata alurnya. Sedikit sabar akan membuatmu mengerti, semua telah terangkai dengan pas dan sempurna.
Bunda Julie, terimakasih untuk malam ini. Peluk jauhku untuk
Bunda…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.