Laman

Jumat, 10 Agustus 2018

Berpisah



“Kenapa pergi?”

“Aku nggak pergi.”

“Tapi menghilang.”

“Bukan hilang juga.”

“Menjauh…”

Lengang.

“Kupikir, kita bisa berteman secara normal, seperti jutaan pasang teman lain yang bisa saling sapa kapanpun. Kenapa harus menjauh?”

“Bahkan, aku nggak pernah merasa menjauh.”

“Berhentilah bersikap aneh.”

Dia terkekeh, “Langit malam yang sering kau pandangi juga aneh, kok. Coba, dalam sekali lihat, bintang gemintang yang kau pandang sekarang itu bukan bintang sekarang, toh? Ada bintang ribuan tahun lalu, jutaan bahkan miliaran tahun lalu sesuai berapa jaraknya dalam kecepatan cahaya. Bahkan boleh jadi, bintang yang terpandang sekarang itu sudah mati, nggak ada lagi di sananya. Kita lihat dia ada padahal dia nggak ada. Ada dan nggak ada jadi kayak nggak ada beda, kan? Aneh mana aku dibanding langit malam?”

 “Aku berteman dengan manusia bukan dengan langit malam.”

Dia terkekeh lagi. “Apakah kau masih berdoa setiap menjelang tidur?”

“Aku bahkan selalu berwudhu, melafadz beberapa dzikir, berdoa sebelum tidur.”

“Kenapa harus selalu begitu?”

“Nggak usah tanya-tanya. Kau tahu bagaimana Allah menjaga orang yang melakukan itu sebelum tidurnya.”

“Kau juga masih percaya dua malaikat menjagamu ketika tidur?”

“Aku sangat memercayai itu. Tapi please, aku berteman denganmu. Kamu manusia bukan malaikat.”

Dia meruncingkan bibirnya. Bergaya merajuk. Detik berikutnya rajuk itu berubah tawa.

“Kenapa tertawa?” sebal kau melihatnya begitu. Seperti tak ada sesuatu yang salah.

“Dunia kita, ruang materi ini, bukankah begitu sempit? Dan mengekang? Sementara alam semesta begitu luas. Ruang bagi segala potensi energy yang amat tak terbatas. Dan di sana, hilang sekat-sekat, tembok-tembok ruang waktu. Kupikir, mengasyikkan sekali bila kita coba gaya pertemanan yang semacam itu. Eh, bukannya kita sudah sering berlaku seperti itu, ya? Tiba-tiba saja kau menemuiku ketika semenit lalu kau baru melintas di benakku. Dan sebaliknya. Dan untuk itu kau sebut aku cenayang.”

Sebenarnya, kau sedang malas berpikir. Tepatnya sangat lelah untuk berpikir. Tapi dia selalu begitu. Bila sudah membuka suara, percakapan akan menjadi beranak pinak hingga bercucu cicit. Dan sialnya, kau selalu tak pernah bosan, tak pernah kehabisan sabar demi mendengar ocehan-ocehannya yang membuat pusing itu.

“Hei, kau tadi yang bersusah payah mencegat perjalananku dan menggeretku singgah sebentar ke stasiun ini. Aku di hadapanmu sekarang tapi kau malah melamun. Hati-hati kau tertinggal keretamu, Tuan.”

Kau tatap wajah ovalnya yang terlihat sedikit pucat. “Aku hanya ingin kita berteman serupa orang kebanyakan berteman.”

Dia menggigit ujung bibir, menyeringai senyum, “Aku ingin kita berteman serupa segelintir orang. Seperti yang ada dalam kisah-kisah, dalam kitab-kitab klasik yang bersahaja, patuh, diam-diam namun saling bercengkrama dalam dunia energial. Bahkan, ketika kita telah benar-benar terkubur dari dunia ini, ruh kita masih akan saling mengenali, menyapa, oh, bukankah itu manis sekali?”

Dasar keras kepala. Kepalamu semakin berdenyut-denyut dibuatnya. Dari ruang kontrol, terdengar suara lonceng panjang menggema ke sepenjuru stasiun. Keretamu berangkat sebentar lagi. Dan dia masih tetap belum berubah pikiran. Ngotot menunggu dan menaiki kereta lain. Padahal kalian selalu bersama-sama sebelumnya.

“Keretamu hampir berangkat.”

“Kita selalu berangkat, pulang dan pergi bersama.”

“Kita sudah berlatih mandiri tiga hari ini. Dan seterusnya akan terbiasa. Percayalah.”

Kau menggaruk rambut, membuang muka. Kau tetap melihat ke arah yang entah ketika dia berkata sesuatu yang membuat hatimu seperti dicacah-cacah.

“Terimakasih sudah pernah begitu merisaukan diriku. Apakah aku terlambat, apakah aku tertinggal kereta, apakah aku mendapat kursi. Juga untuk penjagaan tanganmu di bingkai pintu kereta kalau-kalau kakiku tergelincir. Bahkan, emmm, aku merasa harus berterimakasih kau telah begitu telaten mendengar ocehanku. Walau kau hanya menanggapi dengan ‘mmmmh’, atau hanya dengan sebaris senyum, atau malah hanya diam tak berkomentar apa-apa sebab kau sudah terlalu lelah di penghujung hari itu. Sikapmu yang tak pernah menolak ocehanku, sungguh itu membuatku merasa aku ini bagian penting dalam hidupmu.”

Kau menatapnya tajam sekarang, “Akan selalu penting. Bagiku kau akan selalu penting.”

Pandangannya mendadak kelabu. “Yah, begitupun aku.”

“Tapi kenapa kau keras kepala tak ingin lagi menumpang kereta yang sama denganku, padahal sudah beratus-ratus hari kita melakukan itu bersama-sama? Kenapa harus pergi, harus menghilang, harus menjauh dariku?”

Peluit petugas berdengking panjang. Dia menarik lenganmu. “Lekaslah naik. Ini kereta terakhirmu atau kau akan tertinggal.”

Kau enggan bangkit.

“Aku tak pergi, tak menjauh. Kau hanya perlu mengasah lebih jernih hatimu. Aku tak kemana-mana. Dan satu hal lagi yang mungkin akan  membuatmu merasa lebih baik, aku berjanji tak akan salah stasiun ketika turun. Aku sudah hafal jalurku. Jalur yang sama dengan stasiun tujuan terakhirmu. Aku benar-benar berjanji untuk itu.”

Itu janji yang absurd, setidaknya di kepalamu yang sedang lelah berpikir. Namun, kau berusaha meyakini itu serupa pasien meyakini  kesembuhan setelah menelan pil dari dokter walau itu pahit.

Kau melangkah gontai pada akhirnya. Menuju keretamu. Sementara dia, mendung di hatinya berubah rinai di matanya. Alam menyokong kesenyapan itu dengan sebuah lagu pedih yang diputar penjaga stasiun. Menguar di setiap penjuru ruang. Merambati peron, menjalari rel baja, meriap ke pori-pori hati.

Berpisah, entah kapan lagi bertemu
Memandang, bayangan itu kian pudar
Berpisah, entah kapan lagi bertemu
Menyerah, tinggalkan mata yang membasah.

Andai bisa memilih, 
pasti kujadikan pilihan yang terakhir
Karena tak mudah hati, 
mengganti sang kekasih hati…*




Note: *lirik lagu 'berpisah' soundtrack film Mimpi Sejuta Dolar Merry Riana.

Rumah Karya, Isya 10 Agustus 2018, langit yang bersih tanpa gemintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.