tersiar di Detik.com pada Ahad, 12 Juli 2020 |
“Bagus
tidak?”
Kupandangi gambar sketsa, sebuah payung berwarna biru yang tergeletak di sudut.
Mungkin di sudut ruang, atau di sudut musim yang jari-jari hujan dipatahkan
terik kehidupan.
“Bagus.” Jawabku singkat sembari menyeruput kopi. Kebiasaan ngopi yang
tertular darinya, dia yang mengirim gambar payung itu. Ya, kami berbicara di
sebuah aplikasi perpesanan. Aplikasi yang meringkus jarak, aku di bagian Barat
dan dia di Timur Indonesia.
“Kau sedang malas komentar ya?”
Ah. Ini belum pukul empat pagi, energiku penuh terisi. Mana
mungkin aku malas berkomentar terhadap dia. Segala sesuatu tentang dia adalah
prioritas.
“Jangan prasangka buruk.” Balasku enteng.
“Ya kau biasa komen panjang lebar. Sekarang cuma jawab bagus. Tak usah
menghibur.”
Kujauhkan gelas kopi. Kutekan tombol bergambar mikrofon di ponsel, kujawab
pesannya dengan suara.
“Kau kan tahu aku hanya ahli soal besi. Memilih besi, membakarnya, memukulnya
berkali-kali, membakar lagi, memukul lagi sampai jadi dia barang baru sesuai
pesanan. Seputar itulah yang kukuasai. Yang selain itu, apalagi soal buku, itu
perkara sangat intelek. Jadi, gambar yang kau kirim tadi, calon sampul buku
puisimu itu, pastilah bagus. Itu menurutku. Entah menurut teman-temanmu.”
Pesan suaraku terkirim. Setengah menit kemudian dia membalas.
“OK. Trims.” Begitu teksnya. Terbaca jengkel dan aku tertawa membayangkan bibirnya
bersungut-sungut di sana.
“Btw, di tengah mengedit naskah, charger-ku
meledak kemarin sore.” Pesannya datang lagi.
“Sekarang?”
“Laptopku mati total.”
“Siang nanti minta temani masmu untuk beli yang baru.”
“Kau pikir beli laptop sama dengan beli gorengan?”
“Beli charger. Siapa suruh beli laptop?”
Oh, dia itu penulis, pengarang, penyair, tapi emosinya jelek
sekali. Kendati aku tahu dia melakukannya tidak dengan sembarang orang.
Khalayak mengenalnya sebagai perempuan gigih, mandiri, dan selalu berpikir tiga
belas kali atau lebih sebelum memutuskan sesuatu. Kabar baiknya (atau malah
buruk?), sederet karakter baiknya itu lenyap bilamana berhadapan denganku.
Seolah-olah dia selalu butuh pertimbanganku. Padahal dia tahu, aku bukan sama
sekali sosok yang serba tahu. Tetapi tetap saja dia begitu.
“Laptopku ini laptop tua. Aku sudah pernah cari ganti charger-nya
tapi susah.” Balasnya kemudian. Disusul lagi, “Tapi nggak apa. Aku bisa garap
naskah di warnet nanti. Di depan rumah ada warnet.”
“Anggap saja ke warnet itu pergi ke kantor.”
“Benar juga.”
“OK. Selamat ngantor.” Ucapku singkat.
“Tahu nggak?”
Ya Tuhan, kupikir ucapan selamat ngantor tadi akan
dia jawab dengan trims dan pembicaraan kami usai, ternyata belum. Aku
hafal mati perangainya, jika dia bertanya tahu nggak, artinya akan
banyak kalimat susulan berupa pemberitahuan.
“Di sebelah warnet ada ruko yang kosong.”
“Lalu?” Singkat tanyaku.
“Aku bacakan doa-doa itu ruko. Supaya terbeli kapan hari
nanti.”
“Apa rencanamu?”
“Akan kubuat toko buku yang menampung kenangan.”
Aku terbius. Perempuan ini, sejak pertama kami saling
mengenal puluhan tahun lalu memang sudah aneh. Dia suka berbicara pada foto,
pada sendal, pada pohon, juga pada dirinya sendiri yang katanya dirinya di masa
lalu. Dia bisa tiba-tiba menangis di bawah kolong meja tanpa alasan yang jelas.
Dia pernah pula tiba-tiba menuduhku sedang bernostalgia dengan mantan hanya
karena kuunggah tempat favoritku di masa lalu. Dan, akibat tuduhan itu dia
menceramahiku seolah-olah aku penjahat kelamin yang akan menyelinap dan berjinjit
pergi ketika istriku sedang pulas-pulasnya tertidur. Meski aneh, tetap saja
kudengar khotbahnya hingga tuntas. Sudah kubilang, aku tak bisa mengelak
darinya. Dia akan selalu penting untukku. Istriku tahu itu.
Dia, perempuan aneh itu dahulu ngambek berpekan-pekan ketika
kuputuskan untuk meninggalkan kota kami dan memulai hidup baruku sebagai
seorang pengusaha pandai besi di sebuah kota di Barat Nusantara. Katanya tidak
marah, tapi mati-matian dia menghindar berbicara denganku, menolak teleponku,
membiarkan pesan-pesanku dilahap angin. Kuberikan dia waktu untuk berbicara
dengan dirinya sendiri. Entah dirinya yang mana -dirinya yang saat itu atau
yang di kehidupan sebelumnya atau dirinya yang akan datang-, yang jelas, perlahan dia mencair.
Waktu menyembuhkan, katanya. Aku kurang sepakat. Bukan waktu
yang menyembuhkan, tapi dirinyalah yang telah berhasil meluas-luaskan hati. Dan
kami mulai berbicara lagi, hingga detik yang terdetak sekarang ini.
“Woi. Kau masih hidup kan? Sudah kubilang jangan pergi
selagi kita ngobrol.”
Aku tersium. Lama terlengung tanpa membalas membuatnya mengomel.
“Hidup-hidup. Merdeka! Gimana tadi cerita toko buku?”
“Aku ingin jual beli buku bekas. Pengunjung boleh konsultasi
akan membaca dan membeli buku apa. Misal sedang patah hati, aku akan memberi rekomendasi
buku apa yang cocok. Tapi, kalau ingin menitipkan kenangan, mereka boleh taruh
saja. Dan pengunjung lain bebas mengambilnya.”
Pesan panjangnya membuatku menggaruk tengkuk. Meski aku
paham wataknya yang senang bergelung dengan kenangan, tetap saja membaca kabar
bahwa ia akan merealisasikan gagasannya itu membuatku bergidik.
“Tokomu akan kumuh oleh kenangan.” Balasanku ini berarti aku
menghanyutkan diri ke dalam imajinasinya. Tak mengapa, sekali waktu meladeninya
berbicara perihal kenangan adalah bentuk upaya menyenangkan hatinya.
Menyenangkan hati seseorang adalah kebaikan. Aku beryukur bahkan sebelum Subuh,
Tuhan telah menghampar ladang kebaikan untukku.
“Tak akan kumuh. Nanti kusediakan kotak.”
“Seberapa luas kotakmu untuk menampung ratusan kenangan? Aku
bahkan berpikir akan mengeposkan kenanganku dari sini.”
“Kirimlah. Tapi jangan besar-besar.”
“Sejak kapan ada larangan untuk kenangan?”
Dia tak langsung membalas. Mungkin dia berpikir kalimatku
benar belaka. Bagaimana pula toko yang menerima kenangan membatas-batasi
ukuran. Seandainya dia tahu, bahwa kenangan yang kupikul lebih besar dari
Gunung Kerinci, tentulah habis tokonya tertimpa hanya oleh kenanganku.
“Terserah kau saja.” Akhirnya dia membalas. Disertai gambar sebuah toko bercat
kuning dengan pintu terbuka dan dua pot kembang di depannya. Dari luar nampak
buku-buku tersusun di dalam rak. Di atasnya tertulis dengan huruf kapital TOKO
BUKU KOLIBRIE.
Alih-alih bertanya apa makna kolibrie,
aku usil membalasnya, “Aku datang membawa kehancuran, apa buku yang kau
rekomendasikan?”
“Sebelum memberimu buku, aku akan membuatkanmu teh lemon, lalu kita makan nasi
hangat.”
Aku tergelak. Selalu itu sarannya. Tahun lalu ketika aku digelandang polisi
terkait indikasi jual beli besi ilegal dan sialnya suaraku terdengar risau
ketika dia meneleponku seusai pemeriksaan, dia menyarankanku untuk makan nasi
hangat itu.
Syukurlah kalau kau tak terbukti. Lekas pulang, makan nasi
hangat. Nasi hangat akan memperbaiki perasaanmu. Begitu perintahnya kala itu.
Ajaibnya, kuturuti pula perintah itu dengan baik dan benar serupa murid yang
terancam dikeplak guru bila salah menyebut butir-butir Pancasila. Jika beberapa
menit kemudian dia kembali menelepon dan menangkap kesan suaraku yang sudah
normal, entah apakah itu berkat nasi hangat, atau karena memang sebenarnya
tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan dalam hidupku. Diciduk polisi, itu
biasa saja buatku. Aku tahu aku tak bersalah, kenapa gundah?
“Semua orang berwajah sedih akan kau suguhi nasi hangat?” Tanyaku cemas. Dia
memang dermawan sejak kecil.
“Tidaklah.”
Sedetik aku lega membaca jawabannya. Detik berikutnya aku
mencelos. Sebab katanya, “Mungkin ada yang kubuatkan mi rebus dengan irisan
cabai dan sawi, mungkin cokelat panas, mungkin roti isi.”
Astaga, dia akan membuka toko buku
atau warung makan sih?
Kubalas pesannya dengan gurau. “Dua hari buka toko, kau akan
diserbu abege berwajah murung. Dan kau kasihan, kau tak tega, kau suguhi
mereka cokelat panas juga biskuit. Kau mengajak mereka bercerita lalu perasaan
mereka membaik. Sambil tertawa-tawa mereka melenggang pergi, lupa beli buku. Oi,
pintu surgamu benar-benar terbuka lebar.”
“Kau yaaa, macam tak pernah muda
sajaaa.” Ikon wajah orang mengamuk dia sertakan.
Aku tertawa. Bersamaan istriku ke
luar dari kamar menuju ke kamar mandi. Istri paham tabiatku. Pagi sebelum Subuh
begini, aku pasti sedang berbicara pada dia. Dia yang kusayang tak kurang
serupa aku menyayangi ibu juga istriku. Sebab dia adalah separuh aku.
Dia saudara kembar siamku. Saat
terlahir, kami memiliki organ hati masing-masing namun hati kami saling
menempel bersama tulang dada. Cerita ibu, perlu belasan dokter dan operasi
delapan jam untuk memisahkan aku dan dia. Meski kehidupan selanjutnya menjauhkan kami
serupa ini, tetap saja, kami tak pernah benar-benar berjauhan. Dia akan selalu
penting bagiku. Begitupun katanya, aku selalu utama bagi dia.
Percakapan-percakapan sebelum Subuh itu berakhir dengan
pengusirannya, “Ya sudahlah sana, aku mau buatkan kopi untuk mas.”
Selalu begitu. Dia yang memegang kendali. Dan aku rela hati menuruti.[]
Simalungun, tengah tahun 2020
Untuk
Shabrina Ws, telah kusemai sepotong mimpimu dalam prosa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.