Ahad pagi-pagi
sekali, seorang teman di kota seribu ruko mengunggah rekamannya ketika melintas
di sebuah jalan menuju pusat kota itu.
Sepi sekali, begitu captionnya. Aku mencermatinya dengan saksama. Jalan menanjak
setelah belokan itu, gedung-gedung yang tampak di depannya, aku pernah ratusan
kali melewati jalan itu, berbilang tahun yang lalu.
Hatiku berdesir, sentimentil
terpengaruh ingatan yang sekonyong-konyong berkelebatan. Bagi sejarah hidupku,
kota itu adalah tempat bertahan. Sewindu yang seolah- tak bisa kemana-mana. Tak
memiliki pilihan-pilihan untuk mengambil jalan lain kecuali tinggal dan diam.
Alih-alih berpagut
lebih lama mengenangkannya, benakku beranjak. Melompat-lompat. Dari satu tempat
ke tempat lain yang pernah kusinggahi. Pada ujung persinggahan-persinggahan
itu, bibirku menggurat senyum untuk sebuah tempat yang nyaman sekarang ini. Meski
nyaman bagiku akan berseberangan bagi jamaknya orang, ya, karena aku menempati
sebuah rumah panggung yang berdiri di atas kolam. Dengan pemandangan sekeliling
petak-petak kebun dan sungai kecil ditingkahi suara arus sungai yang jatuh di
bendungan. Ini hanya rumah papan berdinding triplek dan anyaman bambu di
beberapa bagiannya. Tetapi aku bersyukur. Tak terkirakannya rasa syukur itu.
Kau tahu kenapa
aku sebersyukur ini?
Karena aku yakin
ini hanyalah persinggahan yang juga sementara. Kelak, kau akan menjemputku. Mungkin
dengan kapal yang di air atau yang di udara. Atau kapal di luar angkasa yang bentuknya tak
kutahu seperti apa. Yang kutahu, setelah bersamamu, tak akan ada lagi tempat
untuk singgah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.