Dear, Tobi...
Aku akan bercerita tentang sebuah bangunan, yang terkadang megah serupa gedung di kota besar, kali lainnya begitu sederhana seperti rumah tua yang ringkih di pinggiran sebuah kota kecil yang senyap. Bangunan dan gedung-gedung itu, dahulu, sangat melimpah oleh harapan orang-orang yang datang ke sana.
Aku senang ke sana, mengantar harapanku, tentu saja. Beberapa tahun lalu, aku pernah berjumpa dengan seorang nenek. Kulit langsatnya mengeriput dan rambut tipis yang sewarna gading -pada dua kali pertemuan kami- selalu disanggul rendah. Telinga dan mulutnya masih dapat berkoordinasi dengan baik. Berjalannya juga masih gesit walau kelopak matanya sudah sangat cekung. Dari kelopak yang cekung itu aku melihat kedalaman cinta di bening matanya.
"Surat ke sembilan. Aku berharap akan sampai kali ini. Cucuku sudah besar sepertimu. Dia harus tahu siapa ayah kandungya sebelum kakiku tak sanggup lagi datang ke sini."
Mulanya aku kaget dengan nenek yang mengajakku bercakap soal pribadinya tanpa prolog apapun sebelumnya. Aku bahkan sedang mengoleskan lem di belakang amplop yang aku pegang. Tapi aku akhirnya mengerti, tabiat orangtua seringkali kembali seperti saat kita kecil. Kita berjumpa dengan orang entah siapa di ujung jalan lalu kita memamerkan gigi yang baru tanggal kepadanya. Memangnya, orang itu siapa? Nah, kurasa begitu keadaan nenek yang bercerita soal surat kesembilannya itu.
"Semoga Tuhan mendengar permohonanku. Kalaupun dia sudah tak tinggal lagi di alamat yang kukirimkan surat ini, semoga ada orang baik yang menyampaikannya."
Aku mendengar kecemasan yang terbalut permohonan dari bibir nenek itu. Dan aku tak bisa menahan diri untuk tetap diam seperti dinding-dinding yang terus merekam jutaan kisah para pengunjungnya.
"Kenapa orang itu meninggalkan putrinya?"
Nenek itu berhenti dari menempel perangko. Dia menatapku sekilas lalu tersenyum samar, "banyak orang sinting, penipu, culas tapi berpakaian seperti orang saleh di dunia ini. Sayangnya putriku mencintai orang seperti itu dan menjadi tuli juga buta. Penipu itu meniggalkan putri juga cucuku saat masih merah."
Oh, aku mengatupkan mulut dengan telapak tanganku. Aku terkejut benar-benar dengan kisahnya. "Lalu kenapa nenek sekarang mengiriminya surat. Bukankah dia brengsek?"
Nenek itu menghirup udara lalu mengembuskannya pelan. "Biar dia brengsek, dia tetap ayah dari cucuku. Cucuku harus tahu siapa ayah kandungnya. Walau putriku menolaknya, tapi aku tetap berpendapat manusia bukan seperti anak kucing. Siapa ayahmu, siapa ibumu, karena dari sana hidupmu berasal. Aku tak ingin menambah kerancuan isi dunia ini dengan hal yang dianggap kecil dan tak penting seperti yang dikatakan putriku."
Tobi, aku termenung lama. Sangat lama memahami maksud kalimat-kalimat nenek itu.
"Suatu saat kau akan mengerti," ucap nenek itu dan segera berlalu dari hadapanku. Dia menghampiri petugas penerima surat yang menyapanya dengan ramah.
Tobi, kau tahu, bangunan yang sangat berlimpah harapan yang kumaksud adalah kantor pos. Aku masih senang ke kantor pos walau tak lagi untuk mengirimkan surat kepadamu. Aku ke kantor pos, tadi, untuk menitipkan sepotong harapanku, cita-citaku. Aku mengirimkan satu buah cerita untuk sebuah sayembara bergengsi. Jangan tertawa, Tobi. Aku hanya berusaha dan menitipkan asa. Aku akan selalu ke kantor pos untuk menitipkan harapan-harapanku selanjutnya.
Dan kau? Kupikir surat yang setiap hari dijemput oleh PosCinta ini cukup sudah mewakili harapanku akan segala kebaikanmu di sana.
Bye,
-Anna
semoga Tobi, suatu hari nanti, bisa membalas suratsurat darimu
BalasHapus-Ikavuje
aamiin aamiin...
Hapus