Malam, Tobi…
Aku duduk di teras yang harum sedap malam, sendirian. Mamak
melemparkan baju hangat seperti membuang anak kucing nakal ke tepi jalan. Aku memakainya. Walau sebenarnya yang kuingin
bukan hangat dari sepotong baju tebal itu, tapi dari bertemunya dua jiwa yang
sama menyimpan cinta.
Adakah kau menganggap aku berlebihan jika tiba-tiba
kukatakan aku kembali demam dan mengigau? Ah, aku jadi tertawa sendiri. Getir. Satir.
“Tenanglah, Anna. Jika langit bisa menggantung tanpa tiang,
maka semestinya harapanmu juga.”
Aku jadi terngiang ucapanmu. Pada waktu yang lalu, saat
menghiburku sebab terjatuh pada rerimbun olokan teman-teman. Apa kau masih
mengingat apa impian yang membuatku dihantam peluru cemooh dari segala penjuru,
Tobi?
Kau pasti sudah lupa.
Tapi tak apa, aku tak keberatan bahkan walau harus terus
mengulangnya.
“Aku ingin menjadi penulis. Seperti penulis Lima Sekawan
yang buku-bukunya selalu kita rebutkan."
Itu impianku. Dan seisi kelas bertepuk tangan sambil
mencibir. Bahwa impianku keterlaluan. Bagaimana mungkin membuat buku yang
menjadi rebutan jika tulisan tanganku tampak seperti cacing kelaparan? Kuingat, masih sangat kuingat olokan itu, Tobi. Masih kubiarkan
hatiku berpura-pura lemah agar selalu kembali kukenang dukunganmu yang selalu
berhasil menguatkan. Lebih menguatkan dari ramuan telur ayam yang dikocok
bersama madu hutan yang selalu dicekoki Mak saat sakitku.
Malam ini, di bawah bulan yang masih sangat muda, kukirimkan
kabar bahwa impianku sudah hampir menyentuh pintu gerbang keberhasilan. Aku
nekad mengikuti sebuah lomba menulis cerita. Tak tanggung-tanggung,
seratus lima puluh tujuh halaman berhasil kuselesaikan disela mengurus ladang jeruk dan kebun sayur Paman Lintar. Bayangkan, Tobi, ada di
daftar dua puluh besar dari tiga ratusan naskah, oh, aku menangis setengah harian sambil menyingkirkan gulma di antara kol yang berumur tiga minggu. Dan di sana, kuharap kau turut
merasakan kebahagiaan ini, Tobi.
Aku tak sabar lagi menunggu naskah ini menjadi salah satu
dari tiga yang terbaik. Lalu, maafkan aku, akan kutulis namamu di halaman
persembahan terimakasihku. Teruntukmu, Tobi, yang membuatku mengerti bahwa
harapan selalu bisa menggantung tanpa tiang.
Terimakasih, Tobi…
Sepucuk rindu kutanam, di bawah pepohon jeruk yang sedang
harum-harumnya, di bawah sinar bulan yang menggodaku untuk terbang, kepadamu…
#30HariMenulisSuratCinta Hari ke-5
syalalalaa syalalaaa *efek nonton pidio*
BalasHapus-ikavuje
dia mulai lelah :D
HapusWaaa...suka sama surat-surat Anna buat Tobi! :D
BalasHapusmakasih sudah mampir dan suka surat-surat Anna buat Tobi, kakak Manda :)
BalasHapussaya jatuh cinta pada surat-surat ini
BalasHapus