"Jadi, di antara yang sudah terbit itu mana-mana saja yang sudah cair?"
Kemarin di sebuah kamar RS tempat ibu dirawat karena typus, adik saya
yang otak kiri dan kemistrinya terhadap uang cukup tinggi bertanya
tentang honor tulisan-tulisan saya.
Saya angkat bahu. Memang tak
tahu honor mana yang sudah cair/belum karena kebanyakan koran akan
membayar setelah ditagih dan itu belum pernah saya lakukan. Lagipula,
saya baru menulis sedikit. Nanti-nantilah, mudah-mudahan nggak lupa.
Terkesan nggak butuh uang?
Bukan begitu.
Kepsek Penulis Tangguh tempat saya belajar kerap berpesan, "menulislah untuk media yang menghargai penulisnya (honor layak)."
Saya faham, nasib penulis fiksi amat sedih di Negara yang sebelah mata
dengan sastra ini. Maka jika ingin memperoleh honor layak, menulislah
untuk media Nasional yang nggak perlu pakai drama urusan mencairkan
honornya.
Tapi, dinamika media Nasional itu juga penuh drama.
Kau seolah-olah bisa membuat cerpen yang lebih bagus dari yang pernah
terbit di sana. nyatanya, saat kau kirim sekali, lima, sepuluh, dua
puluh naskah yang kau anggap lebih bagus dan kau buat dengan otak
terperas dan otot terpelintir kesudahannya, ternyata naskahmu belum juga
diberi tempat. Pedih.
Saya bukan sedang pesimis. Tapi saya harus
memahami diri saya sendiri yang butuh menulis lebih dari kebutuhan
mendapatkan honornya. Sekali lagi, tolong jangan salah sangka. Saya
masih ibu-ibu yang melek uang dan doyan gratisan.
Tapi, ya, tapi, saya belum bisa menjadikan uang sebagai motivasi menulis dalam kondisi seberapa butuh uang pun saya.
Saya butuh menulis untuk melembutkan hati saya.
Ketika pagar saya berkarat akibat dikencingi orang mabok-judi setiap
malam, saya yang emosian ini sungguh ingin memaki dan melabrak mereka.
Tapi saya sekuat tenaga menahan diri. Sebab kalau tidak, orang-orang
dengan pengaruh NAPZA itu bisa kalap balik menyikat saya. Maka saya
perlu menulis (walau sekadar status FB) untuk melembutkan hati saya.
Lantas, saya butuh menulis untuk menyenangkan diri sendiri.
24 jam di rumah, tiga anak dengan tiga karakter, belum lagi ditambah
bapaknya yang kadang lebih rewel. Di antara pekerjaan-pekerjaan kerumah tanggaan berikut
kewajiban mendidik dan itu butuh konsistensi, saya harus tetap happy dan
satu caranya dengan menulis.
Dan lagi, saya butuh menulis
sebagai jembatan. Jembatan untuk menyeberangi kenyataan dan
realitas-realitas yang pahit kepada keindahan sebuah alam ideal.
Saya kadang getir dengan kenyataan seorang teman yang untuk menjajankan
bakso anaknya saja sulit minta ampun sementara teman lain dengan sangat
gamblang mempertontonkan kehidupannya yang serba indah dan mahal.
Realitas kesenjangan yang membuat saya bisa apa kecuali meramunya dalam
sebuah kisah. Yang kisah itu syukur-syukur membuat pembaca berkaca dan
berkontemplasi. Lebih paten lagi bila timbul sebuah kesadaran baru untuk
bersikap hidup yang menipiskan kesenjangan itu.
Ya, saya
menulis masih sebatas untuk itu. Untuk melembutkan hati, menyenangkan
diri, dan membangun jembatan termudah dan termurah menuju alam ideal.
Jadi, apakah saya tak masalah bila tak ada honor? Oh, sepertinya engkau
telah salah menyangka. Saya ini tetap juga ingin mencicipi honor
sesedikit apa dari puisi yang kemarin terbit di Radar Surabaya ini. ^_*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.