Cerpen ini tayang di Majalah Paras edisi 149/Mei 2016. Selamat membaca ^_^
NOSTALGIA
Oleh : Wiwik Waluyo
"Terlambat!”
Oh
sial!
Ege menggerutu. Rahangnya
mengeras menahan kesal. Ia berbalik. Tanpa pilihan ia meninggalkan konter check in sebuah maskapai penerbangan
yang sudah ditutup persis lima menit sebelum kedatangannya.
Ege melangkah keluar
gedung terminal keberangkatan. Sebuah bus melintas di hadapannya. Ege mendapat
ilham. Ia cepat-cepat memanggil sebuah taksi dan meninggalkan bandara Adi
Sucipto. Taksi melesat ke Jalan Perintis Kemerdekaan dengan kecepatan penuh.
Dan di sebuah pool bus lintas
provinsi inilah ia berada, pada akhirnya.
***
Kenang duduk nyaman di
sebuah bangku kayu. Ia mengacuhkan suara-suara gaduh yang berasal dari pedagang
air mineral, pengamen serta hiruk pengantar dengan penumpang di pool bus ini. Fokus Kenang lurus pada
buku di hadapannya. Ia sungguh tak menyadari, seorang pria berkaca mata hitam
yang berdiri di salah satu pojok mengamatinya semenjak tadi.
Petugas mempersilahkan
penumpang naik. Kenang tidak terburu-buru. Pria di pojok terus mengawasinya.
Saat Kenang bersiap, pria itu juga sigap bersiap. Langkah mereka bersamaan
mencapai pintu hidrolik. Keduanya berhenti. Dan terdiam.
"Naiklah,
Kenanga!"
Kenang terkejut oleh
suara bariton yang memerintahnya. Cepat ia berbalik badan dan terpana dengan
sesosok pria yang berdiri tegap di hadapannya.
"Kenanga. FE awal
dua ribuan, pernah indekos di Jalan Bimokurdo!"
Oh, Kenang terkejut
lagi. Pria ini dengan tepat menyebutkan identitasnya. Kenang memiringkan
wajahnya. Dahinya mengernyit. Ia akan memohon pria entah siapa ini untuk
membuka raybannya agar ia
mengenalinya.
Namun pria itu kembali
mendahuluinya. Tidak dengan kata-kata. Tapi dengan dua langkah mundurnya yang
sangat kharismatik. Ketenangan sikapnya bersinergi dengan gerakan kepala yang
seolah-olah menginstruksikan pada Kenang tanpa perlu bantahan lagi; "cepat
naik atau kau tertinggal bus!".
Sungguh, itu
benar-benar membuat perut Kenang mulas.
***
Bus mulai merangkak
meninggalkan pool. Kenek membagikan snack. Dari belakang kemudi, sopir tua
berambut dan berkumis putih yang tebal melintang sangar memutar lagu oldies. Scorpion dengan Wind of Changes mengalun dan mengayun
hati Kenang yang duduk di bangku nomor satu. Bangku kesukaannya sejak dahulu.
Sebab matanya akan dimanjakan dengan lukisan yang disajikan alam selama bus
melintasi sebelas provinsi, dari Yogyakarta sampai Sumatera Utara.
Kenang melirik ke
bangku nomor tiga. Pria mengagetkan itu ada di sana, sibuk dengan laptopnya.
Disebelahnya duduk seorang gadis muda. Entah siapanya. Tapi Kenang bersyukur
pria itu tampak serius sendiri dan tak terlalu akrab dengan gadis di
sebelahnya. Oh, Kenang merutuki diri sendiri. Memangnya apa urusannya dengan
pria itu akrab atau tidak dengan siapapun di dalam bus ini?
"Boleh duduk di
sini?"
Ups…
Tahu-tahu, pria itu sudah berdiri jumawa di lorong bus. Dia menunjuk bangku
kosong di sebelah kenang. Tepatnya bangku yang sengaja dibayar Kenang agar
tidak siapapun duduk di sebelahnya karena ia ingin menikmati perjalanan ini tanpa
orang lain di sampingnya.
"Boleh?"
Pria itu mengulang
pertanyaannya. Satu tangannya terayun dan membuka raybannya. Kenang mencermatinya.
Satu detik.
Dua detik.
Ya
Tuhan.... Kenang mengingat sesuatu. Ia memekik tertahan. "Abang
Bombom?!"
Pria itu mendaratkan
tubuhnya di kursi kosong sebelum mendapat persetujuan Kenang. "Dua belas
atau tiga belas tahun, kumaklumi kalau ingatanmu payah. Selain tentu aku jauh
bertambah kurus. Dan seharusnya kau tak lagi memanggilku dengan Bombom!"
Kenang tersipu. Benar.
Dia Bombom. Edward Ghazali nama sebenarnya. Pria matang yang kala mudanya
sangat tambun dan membuatnya lebih populer dipanggil Bombom daripada Ege. Dua
belas tahun lalu saat Kenang baru kuliah tingkat dua dan Ege tingkat tiga,
mereka mudik lebaran dengan bus yang sama. Kenang di bangku satu. Ege di bangku
lima tepat di belakangnya.
Tiga hari tiga malam
waktu yang sangat cukup untuk mengubah status para penumpang menjadi sahabat
dan bahkan saudara. Begitu pula Kenang dan Ege. Mereka bertukar nama pada
mulanya. Lalu bertukar camilan, bertukan bacaan, dan di penghujung perjalanan
bertukar nomor ponsel.
"Jadi, gadis mana
yang sanggup membuat abang berpayah-payah diet sampai berubah demikian
fantastis?"
Kenang tak bisa
menutupi kegembiraan. Wajahnya jelas berseri. Sikap defensifnya kontan hilang
ditelan euforia pertemuan teman lama. Namun Ege, alih-alih menanggapi
pertanyaan Kenang, ia justru tetap kalem dan mengendikkan bahu.
"Kenapa kau lebih
tertarik membahas orang lain daripada membahas kita?"
Hah.
Kenang menyipitkan matanya. "Kita?"
Ege menelisik manik
mata Kenang. Perempuan di hadapannya ini masih tetap belum berubah. Dia selalu
pura-pura tak mengerti.
"Ya, kita. Kau
bisa bertanya, misalnya, apakah aku mencarimu setelah kau menghilang selepas
pertemuan terakhir di rumah kosmu? Atau... "
Ege menggantung
kalimatnya. Wajah Kenang sontak menegang. Ia tak siap dengan pertanyaan Ege
yang tiba-tiba menyinggung soal perasaan. Itu sudah lama sekali. Sudah satu
dasawarsa berlalu. Namun Kenang juga tak bisa memungkiri masih tetap mengingat
peristiwa itu sebaik Ege mengingatnya.
Kala itu, pada tahun
kedua persahabatan mereka. Setibanya kembali di Yogyakarta dari mudik, Ege
berkunjung ke rumah kos Kenang untuk memberikan oleh-oleh. Satu wadah sambal
kering teri Medan yang dicampur kacang. Ada pria lain bersama Kenang kala itu.
Namun Ege tak berbalik arah. Dengan gagah berani ia mengatakan, "sambal
teri buatan ibu, untukmu."
Kegagahan Ege membuat
laki-laki yang bersama Kenang marah. Kenang memilih pergi dan menghilang dari
Ege. Ia tak nyaman terus menerus dipaku prasangka oleh kekasihnya.
"Kau milikku. Aku
tak mau ada laki-laki lain yang menatapmu dengan segenap hatinya."
Kenang mendesah
mengingat itu. Namun sungguh ia tak ingin membahasnya lagi. Beruntung, dering iPhone milik Ege menyelamatkan tuntutan
pria itu atasnya. Ege menyentuh layar iPhonenya
dan segera berbicara dengan seseorang di seberang. Kenang mendengar Ege
mengatakan ia tertinggal pesawat. Hal ini dimanfaatkan Kenang dengan membelokkan
obrolan segera setelah Ege selesai dengan teleponnya.
“Jadi ceritanya tadi
abang tertinggal pesawat? Trus memutuskan pulang dengan bus, begitu?”
Ege kembali mencermati
wajah Kenang. Wajah yang sudah lama hilang dan sekarang muncul di hadapan. Ege
mengangguk mantap. “Tak seharusnya aku mengumpat saat tadi pesawat
meninggalkanku. Bukankah takdirku sekarang begitu menakjubkan?”
Takdir
menakjubkan?
Oh, Kenang membuang
pandangannya. Tak ingin lebih jauh terseret oleh sorot mata Ege. Kenang harus
mengingat bahwa perjalanan pulangnya saat ini adalah sebagai tawanan yang akan
menawar kebebasannya. Dan tak ada yang menakjubkan dari itu.
***
"Kau kenapa pulang
menumpang bus?"
Mereka duduk beralas
koran di anjungan kapal feri. Dari Merak menuju Bakaheuni. Kenang merapatkan
syalnya. Pertanyaan Ege kali ini sulit ia jawab. Bukan sulit. Hanya Kenang
merasa Ege tak harus tahu alasan yang sebenarnya. Mengingat betapa perjalanan
ini adalah dalam rangka melobi orangtua. Bahwa ia sungguh tak kesepian dan
apalagi menderita hidup sendiri pada usia matang seperti saat ini. Karenanya ia
merasa tak harus diselamatkan orangtua
agar statusnya berubah. Kenang berharap kepulangannya ini akan membuka hati
orangtuanya dan tak lagi berusaha menjodohkannya dengan pria entah siapa.
"Ini hanya
perjalanan nostalgia, Abang."
Ege memanggil penjual
mie dalam gelas yang lalu lalang di sana.
"Untuk sebuah
nostalgia," satu buah cup
terjulur ke hadapan Kenang.
Kenang deja vu. Sekarang, tiba-tiba mata Kenang
memanas. "Abang sendiri kenapa pulang? Ini bukan sedang hari libur apapun,
bukan?"
Ege meletakkan gelas
minya. Ia menghirup udara Selat Sunda sebanyak paru-parunya bisa menampung. "Aku
mencarimu selama dua puluh empat purnama. Tapi kau hilang seperti disembur
lahar Merapi. Well, aku masih
laki-laki normal. Aku bertemu seorang wanita, kami jalan, dan sial dia menolak
kuajak menua bersama. Sekarang ibu memanggilku pulang. Aku harus pulang."
"Anak baik dan
berbakti."
Ege tersenyum samar
mendengar itu. “Tapi setelah bertemu denganmu sekarang ini, aku mendadak
berniat menjadi anak yang nakal.”
“Jangan mulai cari
perkara, Abang!"
Ege mensedekapkan kedua
tangannya di dada. "Oke," katanya dengan tatapan yang bertambah
intens kepada Kenang. "Anggap saja aku pria brengsek karena dulu tak
sungguh-sungguh berjuang mencari dan mendapatkanmu. Anggap juga aku anak
durhaka karena berniat lari dari perjodohan yang sudah diatur ibuku. Tapi
kupikir aku bisa bertaubat setelah ini. Semuanya pantas bila kita bisa bersama,
Kenang.”
Kenang terenyak dan sebentar kemudian terkekeh
kesal, “jangan ngaco. Abang pikir aku masih sendiri?” tanya Kenang mengelak.
Bagaimanapun bahagianya berjumpa kembali dengan Ege, tapi tetap ia tak ingin
merusak apa yang sudah disusun oleh keluarga pria yang sekarang justru
tersenyum di hadapannya ini.
Ege mengambil alih mi
gelas dari tangan Kenang. Ia lantas meraih kedua tangan Kenang dan meletakkannya
di lantai kapal, “belum ada satu pun cincin melingkar di jarimu, Kenang. Aku
akan mencari satu dan memasangkannya di jari menismu, segera setelah kita
sampai di Medan.”
Kenang menarik
tangannya. Ia melempar gelas mi yang memang sudah tandas isinya ke dalam tong
sampah. Gelas mi itu terkulai serupa pikiran Kenang. Sungguh tak sanggup Kenang
pikirkan, akan ke mana nasib melemparkannya di kemudian hari, setelah ini.
***
Bus terus berjalan
melintasi Lampung. Lalu menerabas hutan angker Lahat juga tebing dan
jurang-jurang yang menganga senyap. Saat melintasi Danau Singkarak, Sumatera
Barat, bus berhenti pada sebuah restoran apung. Hari sudah petang menjelang
malam.
Kenang membangunkan Ege
dengan tepukan kecil di lengannya. Pria itu mengucek matanya. Menguap lagi. Dan
rasa kantuk membuatnya kembali jatuh tertidur. Kenang meninggalkannya. Ia
bergegas menuju toilet lalu mushola. Lalu memesan seporsi sate dan kesadarannya
muncul; teman seperjalanannya belum turun.
"Turun atau abang
akan kelaparan sepanjang malam ini?" Kenang membuang bantal dalam dekapan
Ege. Ege menggeliat. Ia merentangkan tangan dan mematah-matahkan lehernya ke
kiri dan kanan. Hal pertama yang membuat kesadaran Ege terjaga adalah harum
wewangian bayi yang menguar dan kuat menusuk penciumannya.
"Kau mandi
malam-malam begini? Harummu itu belum berubah juga."
Ada kebahagiaan magis
yang tiba-tiba menelusup hati Kenang. Secuil kebahagiaan sebab pria ini masih
menyimpan aroma kayu putih yang selalu ia bubuhkan setiap kali dari kamar
mandi, selama di perjalanan, semenjak dahulu. Kenang membuang perasaan magis
itu. Ia lekas turun untuk menyantap satenya. Ege membuntutinya.
"Pesankan nasi
goreng. Aku ke belakang dan salat dulu."
Salat?
Pria itu, baru bermimpi
apakah dia gerangan?
***
Dahulu, jika bus sudah
masuk wilayah Sumatera Utara, hati Kenang akan gembira. Namun saat ini sangat
jauh berbeda. Apalagi supir tua kembali menyetel tembang-tembang golden moments. Lagu-lagu yang hanya
membuat syahdu. Beruntung bus sudah memasuki Kabupaten Batubara, Sumatera
Utara. Kenang berkemas. Sebentar lagi ia sampai.
Kenang melihat Ege juga
berkemas. Entah apa yang akan dia lakukan. Rumah orangtuanya ada di kota Medan.
Dan itu masih tiga jam perjalanan lagi. Bahkan lihatlah, pria aneh ini sudah
berdiri di lorong dan membopong ranselnya dengan lapang bidang dada yang dia
busungkan. Kenang hanya bisa menatapnya aneh. Dan Ege memahami arti tatapan
itu.
"Begini Kenang,
kau pasti akan takut dan menganggapku kesurupan Lionel Richie jika tiba-tiba kutanyakan
padamu 'hello, is it me you're looking
for?' Apalagi kalau aku sampai kesurupan Andy William dan mendadak merayumu
dengan lagu 'the sweet love story that is
older than the sea'. Tapi Kenanga, setidaknya aku bisa mengikut apa
kata Doris Day. 'Que sera-sera, whatever
will be, will be... Jadi biarkan aku ikut turun bersamamu."
Kenang menggeleng. Berulang-ulang
menggeleng sebagai penegasan ia tak mengijinkan Ege berbuat konyol. Tidak akan
pernah itu terjadi.
***
Di simpang Inalum, dua
anak manusia frustasi mempertahankan pendapatnya masing-masing. Pada akhirnya
Kenang tak bisa menghalau keteguhan Ege. Pada wajah pria itu menggurat
keseriusan yang khidmat dan membuat Kenang sinting menghadapinya.
"Tolong jangan
konyol." Kenang mengatakannya untuk yang kesekian kali. Tapi Ege masih
tetap sama keras kepalanya.
"Aku ikut turun
denganmu justru karena tak ingin mengakhiri hidupku secara konyol. Sudahlah.
Biarkan kutemui orangtuamu. Setelah itu kubawa kau ke depan ibuku dan aku bisa
terbebas dari niat mulia ibuku untuk menjodohkanku dengan gadis entah
siapa."
Rasanya, Kenang ingin
sekali meninju Ege lalu berteriak di kedua telinganya sampai ia pekak. Betapa
Ege keterlaluan. Betapa pria itu menjungkir balikkan perasaannya dan betapa
Tuhan sangat terlambat telah mempertemukan mereka kembali.
"We may delay but time will not,
Kenang."
Ege mengatakan itu
seolah bisa membaca pikiran Kenang. Namun Kenang acuh. Lekas ia memanggil becak
dan menaikkan barang-barangnya. Dengan menguatkan-nguatkan perasaan Kenang
berujar setengah bergetar.
"Kita sudah benar
terlambat, Bang. Sebab aku pulang juga dalam rangka memenuhi panggilan dan
hajat orangtuaku, seperti hajat ibumu memanggilmu pulang."
Secepatnya Ege terpaku.
Kelu. Beku.
***
Ege tak bisa
berbasa-basi lagi. Sesampainya di rumah ia lekat menatap wajah tua ibunya. Tak berkedip. Wajahnya penuh harap,
memohon ibunya untuk meninjau kembali rencana perjodohan atasnya dengan seorang
perempuan anak dari sahabat lamanya. Sang ibu tak bisa berkata-kata sebab
rencana pertemuan sudah disusun rapi. Namun perempuan tua itu beranjak. Ia
masuk ke kamar Ege. Mengambil selembar foto dari lemari Ege.
"Dengan gadis ini
kau akan dipertemukan, apakah ibu harus meninjau ulang?"
Ege habis akal.
Selembar foto itu, adalah foto berusia lebih dari satu dasawarsa. Mengabadikan
dirinya dan Kenang, di dalam sebuah bus lintas provinsi dan pulau. []
Meski di akhir ending bisa dibaca, tapi dari awal membaca sudah laru banget. Keren Mbak. ^_^ Cuma itu lho, namanya di narasi jadi Kenang jadi berasa cowok. Hehhh Kenapa tidak disamakan kenanga baik dinarasi juga percakapan.
BalasHapusWaaaaaaa aku pernah menulis kisah seperti ini jaman di MP dulu, tapi beneran dari kisah nyatanha temenku sendiri
BalasHapusLalu mbak wiwik sekarang menuliskannya dengan sangat apik. Ini kereeeeen
Wah bagus mbak, ceritanya mengalir mengajak berimajinasi menulusuri jalan mulai dari Yogya, merak, bakau heni sampai danau Sngkarak .. tapi kok Padangsidimpuan gak kesebut yaaa .., trus lewat dan dipotong nyampe ke Medan. Dan ternyataa ...
BalasHapus