2009 adalah tahun awal mula saya
memiliki blog di platform Multiply. Itu menjadi tahun kebangkitan menulis saya
setelah mati suri sejak 2001. Menulis apa? Menulis apapun yang menjadi kegelisahan
saya. Orang bilang itu curhat, silakan. Selain itu, saya kadang-kadang menulis
syair, kadang-kadang juga menulis cerpen sebagai sebuah produk olah batin.
Saat itu, menulis benar-benar
menjadi ajang bersenang-senang bagi saya. Mengungkapkan apa yang tersimpan dan
saya gelisahkan, lalu dibaca orang banyak, rasanya sudah cukup. Sangat cukup
membuat saya gembira.
Kegembiraan saya banyak terusik setelah saya berteman
dengan seseorang. Kita sebut saja dia Y. Y ini senang menulis syair dan cerpen
juga. Komentarnya sangat tidak umum. Kadang dia bilang cerpen dewasa saya hanya layak masuk Bobo. Dia juga bilang saya ini seorang bermuka badak yang so toy dan bego. Dan saya tak habis pikir kenapa dia repot sekali mengurusi cerpen saya seolah-olah cerpen itu akan saya layangkan ke meja redaktur
sebuah surat kabar.
Marahkah saya? Saat itu iya. Marah besar malah. Apalagi saya ini termasuk
golongan yang bapernya bukan main. Urusan komentar seperti itu berakibat fatal.
Kami tak lagi saling tegur setelahnya.
Bertahun-tahun kemudian, tepatnya
dua bulan belakangan, saya seperti diberi kesadaran oleh Allah. Tentang kenapa
saya dahulu ngambek berat kepada Y. Bahwa ada perbedaan antara saya dan Y dalam
memandang cerpen saya. Perbedaan itu adalah, saya memaknai cerpen itu cukup
sebatas sebuah karya batin. Hasil olah batin atas pembacaan saya terhadap diri
dan lingkungan. Dan itu selesai sampai di situ. Saya tak ingin cerpen itu ke
mana-mana, cukup saja di situ.
Sementara Y melihatnya berbeda. Y
melihat karya saya semestinya bisa diperbaiki secara teknik, didandani,
ditempel mana yang bolong dan dibuang kerikil yang menghambat jalan ceritanya
sehingga ia menjadi layak untuk dihadirkan ke meja Redaktur sebuah media.
Seandainya dahulu saya tidak ngambek
terhadap Y, barangkali saya akan cepat keluar dari zona nyaman. Ya, setelah tak
saling tegur, saya kembali ngeblog dan menulis dalam zona nyaman. Saya kembali
menjadi katak dalam tempurung yang menganggap tulisan saya sudah cukup bagus. Syair
dan cerpen cukup berasal dari olah batin dan hanya untuk kepuasan batin belaka.
Setelah Multiply wafat dan wafat pula kesenangan menulis saya, saya
sampai pada suatu pemikiran –sebagai IRT dengan tiga orang anak- bahwa saya butuh wadah
untuk kembali bereskpresi. Yang tidak hanya bisa memenuhi kepuasan batin tetapi
juga menghasilkan secara finansial. Uang. Itulah motif saya selanjutnya.
Apakah saya hina berniat menulis
untuk uang? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, agar bisa menghasilkan tulisan
yang ‘beruang’, itu sangatlah butuh kerja keras. Tulisan harus bagus dan secara
teknik harus memenuhi segala unsur-unsur pembangunnya, tak cukup hanya
mengandalkan tulisan apa adanya. Karena itu saya butuh belajar.
Masuklah saya ke grup penulisan.
Belajar menulis yang bagus. Yang ketika satu tulisan saya share, saya akan
mendapat masukan-masukan persis seperti dahulu Y melakukannya untuk saya.
Bagi
sebagian orang, hal ini dianggap telah menciderai proses menulis cerpen yang
sejatinya cukup sebagai hasil dari sebuah olah batin penulisnya. Menurut
mereka, biar penulis sendiri yang menemukan cela karya mereka untuk diperbaiki
kemudian. Penulis sendiri yang mengasah kepekaan batin sehingga semakin lama
karyanya semakin bagus.
Saya memahami ini sebagai proses
pengendapan karya. Ketika saya membaca cerpen lama saya, maka saya akan geli
dan malu karena itulah proses batin yang diolah dengan teknik ala kadarnya.
Sementara saat ini sangat banyak komunitas yang secara sukarela saling
mengoreksi, sehingga penulis dapat melipat waktu
yang sedianya dipakai untuk mengendapkan karya, bisa segera memperbaiki
karyanya setelah menerima masukan-masukan.
Salahkah hal ini? Bagi saya tidak.
Karena saya pemula. Saya harus membuat cerpen saya memikat secara batin juga
teknik penulisan agar Redaktur mempertimbangkannya untuk dimuat. Karena tujuan
saya sekarang adalah uang.
Cerpenis sekelas Sungging Raga atau Guntur Alam
mungkin tak perlu ribet dengan tetek bengek urusan setting, plot apalagi isu
lokalitas dalam karya sebab mereka sudah punya nama. Barangkali, bila Redaktur
membaca nama mereka saja sudah bergetar hatinya dan loloslah cerpen mereka.
Kemudahan itu tak berlaku buat saya
dan banyak pemula lainnya. Saya tak hanya butuh terus mengolah batin namun juga
perlu kerja keras mengemas produk batin itu dengan indah. Maka please jangan
judge usaha saya dan teman-teman sebagai intervensi terhadap sebuah kemurnian
karya dan hanya menjadikannya teks yang kehilangan ruh. FYI, masukan teman-teman itu tak lantas semua harus dipakai. Terserah masing-masing pemilik hak paten, pemilik jiwa karya tersebut. Cocok ambil enggak ya no problem. Itulah bukti bahwa mental kami pantang menyerah bukan mental gotong royong walau gotong royong itu sejatinya sangat mulia pada zaman elu-elu gue-gue ini.
Lalu, Sungging Raga menulis dalam blognya
bahwa apa yang dilakukan grup penulisan seperti akan memasak bersama. Seseorang
datang membawa bahan mentah lalu ramai-ramai berdiskusi akan membuat menu apa
dan sebaiknya bahan apa yang dibanyakin atau tak usah dipakai.
Kenyataannya, hey, apa yang kami
lakukan tidaklah seperti itu. Yang kami bawa bukan bahan masakan tetapi sudah
dalam bentuk hidangan. Teman-teman dalam grup tinggal mencicipi saja hidangan
itu. Apakah garamnya kurang, apakah penyajiannya sudah apik, apakah garnishnya
sudah pas, atau tak jarang hidangan yang kami bawa sudah sangat lezat dan
menggoda selera walau hanya melihatnya saja. Perfect tanpa perlu ditambah
dikurangi.
Ya, begitulah kami. Kami bukan datang ke grup dengan bahan
mentah yang belum diapa-apakan sehingga terkesan kami ini tidak modal secara
personal. Semua dikerjakan berkelompok. Dan produknya disebut sebagai produk
kerja kelompok. Buat saya pribadi, bila berkelompok akan semakin mengasah
kepekaan jiwa dan menguatkan batin, kenapa harus sendiri dan menyepi? Buat
saya, kalau berkelompok akan memberi inspirasi, dan ilmu yang dibagi menjadi
amal, kenapa saya harus setia dengan kesendirian?
Mau berkelompok ataupun sendiri
menyepi, saya tetap setuju bahwa sejatinya sebuah karya tetap harus menampilkan
pesan-pesan batin penulisnya. Bukan semata teks kosong yang apabila dimuat dan
atau menang lomba hanya akan dilabeli secara kejam oleh pihak tertentu bahwa itu hanyalah teks yang telah kehilangan ruh.
Redaktur membaca nama mereka saja sudah bergetar hatinya dan loloslah cerpen mereka.eeng jangan ah sekedar nama hiiks
BalasHapusya mudah-mudahan nggak begitu, mb naq. Tapi baca cerpen kompas dua edisi terakhir rasanya pening juga ya :D
Hapusaku pun terus nulis dan belajar untuk nulis lebih baik lagi meskipun belom jodoh buat punya buku sendiri, huhuhu
BalasHapussalam,
kesya