ROMANTIKA
LUKA
Oleh:
Wiwik Waluyo
1
Agustus
1999, Luka...
Suatu
masa di hampar kebun kopi Ermera
di
bawah sinar bulan yang lolos dari daun-daun kopi robusta
bersama
lolongan anjing, panjang merintih perih
tahu
waktu akan menyembelih damai mimpi.
Aku
berjalan terhuyung memanggul beban sejarah dan cinta yang belum usai
bersama
orang-orang
hewan-hewan
peliharaan
juga
tekad-tekad yang menggumpal sekental darah merah dan seputih tulang Indonesia.
Prajurit
berjaga tiada boleh leka
Senjata
siaga secemas angin malam yang mencubit-cubit kulit kedaulatan
Di
depan, truk berbaris siap mengangkut pengungsi-pengungsi yang bergemeletukan
gigil perpisahan.
Kakiku
terseret di atas tanah yang telah banyak meresap darah manusia dalam
perang-perang saudara
Terus
berjalan mengoyak hening malam yang lebih mencekam dari tembakan-tembakan
ke
Barat
Ke
perbatasan yang akan mengantarkan jasad ke pangkuan Ibu Pertiwi yang tak lelah
mengaum-aumkan integrasi.
Adalah
air mataku yang berjatuhan di sepanjang jalan terjal referendum ini
Bukan
aku bimbang berlari ke haribaan Ibu yang wangi melati
Tapi
ini soal perasaan yang kadung terbiasa bersama di bawah kolong langit yang
selalu mendung
bersama
belahan jiwaku yang tertinggal di Timur
ia
memilih tegak di tanah yang anyir luka sepanjang usia.
Ialah
tertuduh sebagai pengecut
Pembelot
Pemberontak
Pelantak
mimpi-mimpi NKRI harga mati.
2
September
1999, Sunyi...
Belum
satu purnama ketika bendera merah putih diturunkan dari langit Timur Timor
bersama air mata yang bandang.
Jalan-jalan
lengang
Plang-plang
tumbang
Bangunan-bangunan
suram bertahta mambang
Bahasa
ibu hilang melayang-sumbang.
Dan
aku, yang dikandung dalam rahim peperangan
Terlahir
tepat saat Mario Lemos Pires tunggang langgang dari tanah ini
Ibu
Pertiwi memapahku
menyanyikan
lagu kemenangan dan merawat mimpi-mimpi perdamaian hingga dua tiga usiaku.
Aku
mencintai tanahku serupa aku mencintai gadis yang berjalan tersaruk-saruk
ranting kopi kering
ia
telah meninggalkan Ermera
meninggalkan
sunyi yang paling sunyi dan mengempasku ke dalam teks buku sejarah.
Inilah
kisah bangsa yang terpecah belah
referendum
membumbung angkara
jiwa-jiwa
terantai
jasad-jasad
terbantai
bumi
hangus kepul asap melambai-lambai.
Aku
terberai,
jantungku
lerai.
Ruhku
cepat terbang menyusul ke Barat
Ke
dalam dekapan Ibu yang hangat
Gadis
itu harus tahu
Masih
ada merah dan putih yang tercetak jelas
di
dadaku.
Medan,
29 Maret 2016
Untuk
Shabrina Ws, sahabat yang selalu membersamai jiwa-jiwa terluka di Timur sana…
*Syair di atas termaktub di dalam buku Kumpulan Syair-syair Keindonesiaan, Interlude, Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah meninggalkan komentar. Mohon untuk selalu berkomentar dengan bahasa yang baik dan tidak SARA, ya.