Konon, lima ribu naskah cerpen masuk ke sayembara yang digagas Bunda Asma Nadia ini. Keluarga besar FLP serempak turun gunung untuk berkompetisi. Saya cukup tahu diri, selain saya bukan anggota FLP, jam menulis saya juga masih Senin-Kamis. Maka, bisa nyantel di urutan keempat lantas kemudian bisa kembali mengabadikan karya dalam buku yang sama bersama Bunda Asma Nadia, ialah sebentuk kebaikan Allah, Tuhan yang masih kerap saya selisihi segala aturan-aturanNya.
Dan inilah LIRIH, serepih cinta yang ditinggalkan karena ke-mutlak-an cintaNya.
L I R I H
Oleh: Wiwik Waluyo
"Cinta itu serupa cakrawala, Nduk. Langit dan bumi selalu
terpandang mesra, padahal jarak nyata menganga."
Riani mengangkat kepala. Setiap kali Mbok
memanggilnya dengan nduk, setiap itu
pula lorong gelap dalam ingatan jangka panjangnya akan bersinar.
"Nduk
itu hanya satu panggilan. Ndak
ada bedanya dengan orangtua yang memanggilmu dengan nak atau suami yang
memanggilmu dengan sayang. Sudah enam belas tahun sejak kamu pertama
kali datang ke sini, kamu selalu bertanya kenapa mbok memanggilmu dengan nduk? Kamu ndak suka Mbok memanggilmu seperti itu?"
Biasanya, Riani lekas menggeleng jika
pertanyaan Mbok sudah sampai di situ. Tetapi kali ini tidak. Riani menatap
wajah Mbok yang penuh kerut sepenuh perasaan.
"Seseorang, dulu sekali, dia memanggil
Riani serupa Mbok memanggil."
"Oh," Mbok meraih satu tangan Riani.
Menggurat lembut urat di punggungnya. "Itu hanya panggilan umum, Nduk. Semua orang di kampung sini memanggil
anak-anak perempuan, adik-adik perempuan atau istri-istri mereka dengan
panggilan nduk."
"Tapi Mas Wim ndak pernah mau memanggil Riani dengan nduk, Mbok. Padahal rasanya selalu terlindungi setiap kali
dipanggil seperti itu." Mata Riani yang sebening dan seteduh telaga
kini beriak. Mbok melihat sebuah kerikil kecil terlempar ke sana dan membuat
kecipak di muka airnya yang tenang. Perempuan tua itu memeluk erat Riani, lama.
***
Sepotong bulan sabit yang merangkak dari kaki
langit mengiringi langkah Riani memasuki rumah. Dua permata jiwa menyalaminya.
Mencium punggung tangan dan pipi. Riani baru melepas keduanya
ketika iPhone-nya berdering.
“Tadi transfer satu juta, Ri?”
Seorang di seberang bertanya tanpa salam
terlebih dahulu.
“Iya, seperti biasa, untuk Imah.”
“Lho, Imah kan sudah wisuda bulan lalu?
Lagipula, bulan depan dia akan menikah. Kupikir sudah cukuplah kamu membantunya
selama satu dekade ini.”
Riani berpikir sesaat sebelum akhirnya
memutuskan, “Ya sudah, setelah ini kamu alihkan untuk anak asuh di pantimu,
terserah siapa.”
Orang di seberang mengakhiri teleponnya
setelah mengucapkan banyak terimakasih pada Riani. Riani termenung panjang.
Memorinya surut ke liang penyimpan ingatan. Setetes bening mengalir, membelah
pipi langsat Riani yang mulai ditumbuhi noda penuaan. Riani sudah tak muda
lagi. Empat puluh dua usianya. Tetapi secuil rasa tentang seseorang dari masa
lalu yang memanggilnya nduk, mengikut
sepanjang usianya bertambah. Menggenang setiap Mbok memanggilnya dengan sebutan
itu.
Nduk...
Bahkan, walau hanya mengingatnya saja, Riani
masih bisa dengan jelas merasakan getarannya, kasih sayangnya, perlindungannya.
Nduk adalah satu kata yang mewakili
seribu keromantisan di dunia.Tidak. Ini bukan tentang cinta yang lain. Bukan
tentang cinta terlarang. Bukan tentang mendua apalagi perselingkuhan. Riani,
sejauh kesuksesannya sebagai pengusaha salon muslimah, ia tetap wanita
konservatif yang menjunjung segala nilai adiluhung. Tidak ada ruang untuk
perselingkuhan pada diri Riani.
Rumah tangga Riani mulus bersama Wim selama
enam belas tahun ini. Si Mbok, perempuan yang melahirkan Wim adalah teladan
nyata wanita yang akan masuk surga dari pintu bakti pada suami. Riani ingin
seperti itu. Tak peduli seberapa jauh Wim meninggalkan rumah untuk ambisi dunia
yang ingin dikejarnya, Riani tetap setia.
Pernah pada suatu masa, Riani merasa Wim tak
pernah benar-benar mencintainya. Wim tak pernah meminta pendapatnya sebagai
istri, untuk urusannya yang sepele apalagi urusan pentingnya. Wim selalu
menomor satukan teman-temannya di atas kepentingan rumah tangga, apalagi
kepentingan Riani. Rumah bagi Wim tak lebih sebagai halte. Riani mengurus dua
putri mereka seorang diri. Dari pagi hingga gelap hari. Wim bahkan tak pernah
sekadar menelepon, memastikan apakah anak-anak sehat. Apakah ibu dari
anak-anaknya cukup istirahat?
Riani bertahan. Hingga setengah dekade
pernikahan, Riani disapa oleh masa lalu. Seorang yang memanggilnya nduk, yang pernah begitu melindunginya,
yang pernah begitu membuatnya jatuh cinta.
"Anakmu berapa, Nduk?"
Bastian nama pria itu. Dia bahkan masih
memanggil Riani dengan Nduk.
Membuat Riani ingin menangis bila tak mengingat mereka sedang berada di
restoran pusat kota. Lalu untaian kata mengalir deras seperti hujan pertama
setelah musim kerontang panjang. Terus hingga ke tepiannya.
"Bapak wafat persis setelah kamu
menanyakan hal penting bagi masa depan kita, Nduk. Aku tak menjawab apapun saat
itu. Hanya ada ibu dan adik-adik yang butuh pengganti Bapak. Aku pulang sebelum
memberikan pilihan apapun padamu. Itu salahku. Tapi aku selalu berdoa kamu
baik-baik dan bahagia. Kamu sudah mendapatkan itu, kan, Nduk?"
Riani mengangguk, pelan. Dia juga tersenyum
walau hanya sekuntum kecil. Sekuat ego Riani untuk menginjak realitas rumah
tangganya dan meraih bayang indah di hadapannya, senyatanya Riani tak pernah
benar-benar mampu berpaling. Riani hanya sanggup mengatakan terimakasih atas
doa Bastian padanya. Jika ada kesalahan, itu karena Riani memberikan nomor kontaknya
kepada pria masa lalu itu.
"Kamu sehat hari
ini, Nduk?"
Dan, pesan-pesan singkat itu segera membajak
hati Riani yang kemarin tandus. Hujan perhatian yang jarang bahkan hampir tak
pernah didapat dari Wim menyejukkan hari-hari Riani.
"Seharusnya aku
memintamu menunggu saat itu ya, Nduk. Kadang aku masih membayangkan bagaimana
rasanya belajar hidup menjadi satu denganmu."
Jika ada pintu yang paling disenangi setan
untuk dimasukinya, itu adalah pintu khayal di belakang kata seandainya.
Dan apa kata Bastian tadi, belajar
menjadi satu? Oh, itu sungguh sebuah cita-cita paling luhur yang pernah
mereka perjuangkan. Bahwa ayah Bastian menjadi sebab keduanya tak jadi menyatu,
itu sama sekali tak membuat Riani marah. Riani tak menyalahkan Bastian karena
ia yang memilih takdirnya sendiri. Ia yang menerima Wim tak lama setelah
Bastian pergi. Dan Riani mengerti, setiap pilihan melahirkan konsekwensi. Ia
harus menerima paket lengkap Wim termasuk ketika Wim mengabaikannya.
Riani masih wanita normal. Hatinya masih berdesir
bila disapa Bastian. Bibirnya masih melengkungkan senyum bila diingatkan
sesuatu oleh Bastian. Dan matanya yang
gelap juga masih bisa berpendar bila
membaca serangkai doa Bastian untuknya. Riani merasakan jiwanya utuh, juga
penuh. Dan segala sesuatu yang penuh akan mencari jalan ketumpahannya. Riani
menyadari itu. Karenanya ia melepas simcard
dan menggantinya dengan yang baru. Melepas sepotong cinta karena rasa
takutnya pada sang pembuat hidup jauh lebih besar.
Dering iPhone
memberai semua masa lalu dari benak Riani.
"Ri, sorry
lupa, undangan kawinan Imah sudah di aku. Sebenarnya dia pingin banget ketemu
kamu. Keluarganya juga mendesak."
Sejak Riani melepas sepotong cinta yang tumbuh
dalam diamnya, Riani memiliki sebuah kebiasaan baru. Ia akan mengeluarkan
sedekah setiap kali bayangan Bastian hadir dan menyelipkan rindu pada bilik
hatinya. Semakin besar rindunya, maka semakin besar sedekah yang ia keluarkan.
Kebiasaan itu telah satu dekade Riani jalani.
Terakhir ia keluarkan sedekah itu tadi, sepulang dari rumah Mbok. Dan Imah, gadis
kecil yang terancam tak dapat meneruskan sekolah selepas SD, sekarang sudah
lulus kuliah berkat sedekah cinta Riani.
"Ri, keluarga Imah cuma ingin tahu
siapa malaikat penolong mereka selama ini. Mau ya ketemu mereka?"
Riani menimbang sejenak sebelum akhirnya
mengiyakan. "Oke, kita datang bareng ke sana."
***
Wim pulang dari luar kota. Kesenangannya jika
di rumah adalah duduk di beranda yang teduh kembang wundani merah jambu hasil
tangan dingin Riani. Riani membuatkan secangkir teh. Tapi sering, teh itu
dingin telantar hingga barisan semut hitam menemukan cawan tempat pesta pora.
Dan Wim, ia terus sibuk dengan gadget
yang berjajar di meja dan batang racun yang terselip di bibirnya.
"Besok ada acara, Mas?"
"Hem?" Mata Wim tak beralih dari gadget sementara bibirnya mengepulkan
asap, "Mau ke mana?"
Riani mengajak Wim ke pernikahan Imah. Wim
berpikir sambil jemarinya terus bergerak di layar gadget. Asap rokok meliuk di udara, Riani menepisnya lalu melongok.
Wim sedang asyik main instagram.
"Waduh besok, ya? Mas sudah ada
janji turnamen kecil. Gimana, Sayang?"
Riani tersenyum tipis, sangat tipis. Tapi
tipis dan tebal senyumnya tak jadi masalah sebab Wim tak akan benar-benar
melihatnya.
"Nggak apa, aku bisa datang sendiri, Mas
golf saja."
***
Saat pernikahan Imah, akhirnya Riani datang
bersama May, sahabat yang selama ini menyalurkan transferan sedekah dari Riani
sekaligus pemilik sebuah panti sosial. Riani sudah bertemu Imah tadi. Betapa
gadis itu beserta keluarganya yang hanya buruh tani mengulang-ulang terimakasih
pada Riani. Sepuluh tahun dibantu, baru sekarang bisa bertemu.
“Ternyata, ada laki-laki yang juga hobi sedekah
kayak kamu, Ri," ucap May disela mereka menyantap hidangan.
"Masih banyak orang baik di dunia ini,
May. Jangan terlalu pesimis walau setiap hari menonton berita televisi."
May terbatuk kecil. Ia tahu Riani tak suka
dipuji-puji. "Tapi yang ini beda, Ri. Karena laki-laki itu juga menyantuni
satu anak sepertimu. Sampai anak itu berhasil dan sekarang menjadi mempelai
prianya."
Riani mulai tertarik dengan kisah May.
"Bukan sinetron, kan, ini?"
"Ya ampun, Ri. Imah sudah lama cerita
tentang ini. Kata calonnya, mungkin kalau dulu dia enggak kerja angon domba di peternakan milik si bapak
entah siapa itu, dia enggak bakal bisa lanjut sekolah sampai sekarang bisa
punya peternakan sendiri."
Riani mengawang. Rasanya tak percaya dua anak
manusia dengan kesamaan sejarah bersanding di pelaminan. Tapi, bukannya Tuhan
memang sebaik perencana?
Riani baru akan melanjutkan santapannya ketika
sudut matanya menangkap sesosok kharismatik berjalan ke arah pelaminan. Sosok
itu, walau rambutnya mulai sewarna tembaga, tetapi Riani tetap belum lupa.
Bahkan ketika tubuh yang dulu gagah sekarang tampak susut kekurangan berat
badan, sungguh Riani juga belum lupa.
Riani buru-buru meletakkan sendoknya. Lekas ia
pamit pada May yang kebingungan. Riani segera menghilang sebelum sosok itu
melihatnya dan membuka kembali lembaran yang susah payah ia khatamkan. Namun, baru saja ia menutup pintu mobil,
seseorang mengetuknya dari luar.
"Surat untuk Ibu," seorang remaja
berlalu setelah memberikan sebuah amplop putih. Riani membuka amplop itu.
Gemetar tangannya saat menarik isinya ke luar. Dan matanya mengembun bahkan ketika
baru membaca satu kata.
Nduk...
Maaf kalau dulu aku
mengganggumu hingga perlu kamu berganti nomor. Aku salah. Tak akan kuulangi
setelah ini.
Jauh-jauh hari, aku
berharap bisa bertemu denganmu saat resepsi 'anak-anak kita' hari ini. Jangan
kaget, Seno 'anakku' sudah lama bercerita tentang Imah yang memiliki 'ibu'
bernama Riani. Aku yakin itu kamu, Nduk. Tapi kamu pasti menolakku. Jadi hanya
kutitipkan apa yang ingin kusampaikan di kertas ini.
Aku menyayangimu, Nduk.
Dulu dan tak berkurang sampai hari yang sekarang. Kita memang tak punya takdir
bersama. Namun 'anak-anak kita' memilikinya. Rekam jejak hati kita terlakon
pada mereka. Aku akan terus berbagi, terus membelah diri dalam kebaikan karena
itu satu-satunya jalan penebus dosa dari cinta yang tak bisa kuhentikan. Dan
kamu, Nduk, teruslah menjadi istri dan ibu yang hebat bagi anak-anakmu. Allah
merahmatimu.
Salam,
Bastian.
Kertas surat itu terlepas. Bulir-bulir kristal
berlesatan jatuh dari mata Riani dan pecah di pipinya. Lirih Riani menelusuri
perjalanan hatinya seiring mobil yang mulai dilajukannya. Tak perlu May,
Bastian dan siapa pun tahu apa yang dirasakan Riani.
Riani menangis. Untuk sebuah cinta yang masih
serupa warnanya. Bukan Riani kehilangan cinta meninggalkan Bastian begitu
cepat. Dahulu, ia menerima Wim karena sebuah kebutuhan. Ia harus menikah dan
melahirkan anak-anak yang akan mengisap ASI-nya. Agar hilang benjolan dan nyeri
yang selalu menjalar di dada. Riani tak bisa menunggu Bastian.
Riani bersyukur benjolan di dadanya sembuh
setelah memiliki anak. Dan ia menginsafi, sikap Wim adalah ujian untuk kembali
mensucikan dirinya. Riani menyeka air matanya. Dari audio, tembang Lirih milik Ari
Lasso mengalun selembut hatinya mengeja cinta yang tersimpan di palung jiwa.
Aku menangis
Mengenangmu
Segala tentangmu
Kumemanggilmu
Dalam hati ini…[]
thanks for sharing mbak
BalasHapussuka cerpen ini
BalasHapus